28. Ingat-ingat Pesan Mama

25.9K 2K 125
                                    

Menjadi kebahagiaan bagi orang lain berarti menerima bahagia untuk diri kita sendiri.

- Kata Nara sih ini nasehat dari Fikar -

-------

Hari itu bisa jadi adalah salah satu dari sedikit hari yang tak bisa dilupakan oleh Nara. Meski kadang ada perasaan bahwa dirinya seakan menjadi bayangan dari sosok Ayu, tapi kebahagiaan yang terpancar dari wajah dan mata pasangan paruh baya itu membuat Nara turut pula berbahagia. Kecemburuan dan rasa tak nyamannya menguap begitu saja. Ia ingat, suaminya pernah memberi nasehat, bahwa menjadi kebahagiaan bagi orang lain berarti menerima bahagia untuk diri kita sendiri.

Mama dan Papa Ayu pun begitu bersemangat meladeni Lila bermain. Kata beliau berdua, banyak sekali kemajuan yang dicapai Lila. Lagi-lagi Nara mendapatkan pujian setinggi langit dari dua orang yang tadinya sempat membuatnya berburuk sangka. Ia bahkan tak lagi sungkan memanggil keduanya sebagai Mama dan Papa.

Menjelang pukul tiga, gawai Nara berdering. Nama 'Mas Fikar' terbaca di layarnya.

"Assalamualaikum, Na."

"Waalaikumussalam, Mas. Udah selese acaranya?"

"Alhamdulillah. Ini aku sekalian asar dulu ya, Na, setelahnya segera ke situ. Kamu sama Lila gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, semua happy, Mas. Lila malah nggak mau bobok siang, asik main sama kakung dan putinya."

"Alhamdulillah. Ya sudah, aku sholat dulu ya, Na, sudah adzan."

"Iya, Mas. Hati-hati pulangnya ya."

Pembicaraan baru berakhir dua detik. Tapi gawai Nara kembali berbunyi. Panggilan dari orang yang sama dengan sebelumnya.

"Gimana, Mas? Ada yang kelupaan kah?"

"Enggak, Na. Cuma pengen bilang, aku kangen kamu, Na."

Tut tut tut.

Nara diam. Bengong.

Tak sampai setengah jam berikutnya, Fikar telah kembali berkumpul bersama orang-orang yang disayanginya. Jarak rumah mertua dengan kampus tempatnya seminar memang tak jauh.

Lila menyambut sang papa dengan rentetan cerita tentang keasyikannya menghabiskan waktu bersama kakung dan putinya. Mama Ayu tak mau kalah, ia begitu bersemangat menyampaikan satu per satu kemajuan cucunya, tak ketinggalan pujian setinggi langit kembali tertuju untuk Nara. Begitu pula dengan papa Ayu, dengan gaya yang lebih tenang khas pria yang sudah makan asam garam, ia menunjukkan pada Fikar bagaimana perasaan mereka berempat hari ini.

Nara tak turut bercerita, ia hanya tak lepas tersenyum dan sesekali tertawa. Memberi kesempatan pada kedua orang yang lebih sepuh untuk mencurahkan segala isi hati pada menantunya, yang hanya satu dan untuk selamanya. Rasa haru menyusupi setiap sudut hatinya hingga ke sela-sela.

"Lila kok bau acem cih? Belum mandi ya? Sore ini mau mandi sama siapa nih?" Fikar menggoda putri kecilnya.

"Sama Puti. Nanti habis mandi mau main ayunan sama Kakung. Sambil makan, tapi yang nyuapin Papa Fikal ya."

"Duh, Mama nggak laku nih. Nggak disebut sama sekali sama anak cantik mama. Huhuhu." Nara berpura-pura menangis sedih.

"Kan Mama udah tiap hali nemenin Lila, apa-apa sama Mama. Kasian Mama. Sekalang Mama istilahat aja bial Mama nggak capek."

"Masya Allah. Lila pintar sekali." Kedua eyangnya menyahut bersamaan, berebut memeluk si cucu kesayangan.

Fikar terkekeh. Dari tempatnya berdiri, ia melempar tatapan penuh terima kasih pada istri barunya. Eh, istri baru ya?

Mendadak Mama (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang