3. Syarat

42.8K 2.7K 280
                                    

Menikah itu meringankan beban, karena ada seseorang yang selalu siap menanggungnya bersama.

"Setidaknya meringankan beban bayar kuliah dan kost-kostan."
(Nara)

***

Pagi menjelang siang, suasana rumah Nara sungguh sejuk dan nyaman. Rerimbunan pohon mangga dan rambutan yang ditanam oleh mendiang ayahnya menghalangi sinar matahari yang menyorot area pekarangan.

"Jadi Nak Fikar ini mau menikahi Nara?!" pekik Ibu Nara saat Fikar menyampaikan maksudnya melalui sang bapak.

"Insya Allah demikian, Bu," jawab Fikar tenang.

"Masya Allah. Alhamdulillahi rabbil 'alamiin." Wajah ibu Nara mengguratkan kegembiraan yang tiada terkira. Berbeda dengan Nara, yang justru terkaget-kaget melihat reaksi ibunya.

"Loh, ibu kok malah seneng sih? Nggak ngerti apa kalo aku nggak siap. Duh." Keringat mulai menembus pori-pori Nara. Tegang.

"Jadi, apakah Ibu menerima maksud dan tujuan kami datang kemari?"

"Ya kalau saya tentu saja senang. Insya Allah Nara juga senang, karena dari dulu memang apa yang membuat saya senang, itu juga membuat Nara senang. Bener gitu kan ya, Nduk?"

"Ehk, engg... eh, i-iya, Bu. Iya," jawab Nara gugup.

"Maaf, Bu. Sebenarnya saya mengerti kalau Mbak Nara belum siap. Mungkin ada yang ingin Mbak Nara sampaikan, tapi nggak enak dan kurang nyaman jika di depan banyak orang. Saya mohon izin, jika boleh kami akan bicara dulu di luar. Maksud saya biar clear dulu semuanya, karena saya maunya Mbak Nara nyaman dengan pernikahan kami nanti," kata Fikar bijak.

"Oh, monggo. Silakan, Nak Fikar. Silakan. Biar kami nunggu di sini saja. Monggo bicara di luar dulu sama Nara ndak pa-pa. Saya tak sambil telpon paklik dari bapaknya, biar siap-siap jadi wali buat Nara. Soalnya adiknya masih SMP, siapa tahu ndak berani jadi wali nikah kakaknya." Usai bicara demikian, ibu Nara berbisik sejenak pada Nara. Entah apa.

Fikar mengambil langkah menuju mobil setelah terlebih dahulu menarik Luli untuk menjadi orang ketiga. Nara menekuri tanah yang dia jejak, mengekori Fikar yang telah masuk dan menyalakan mesin mobil serta pendinginnya.

"Gak usah tegang, Nar. Aku udah siap jadi adik iparmu kok," goda Luli melihat wajah Nara yang terlipat seperti baju habis diseterika.

"Kampret! Ini tuh gara-gara kamu juga tau nggak sih!" Sebutir kerikil melayang ke arah Luli yang sedang menarik kursi ke depan mobil.

"Ngawasinnya nggak di situ juga kali, Lul!" ucap Nara lagi.

"Takut kalian khilaf kalo aku terlalu jauh."

"Asem!" seru Nara sebelum tubuh ramping semampainya ditelan pintu Ertiga.

Nara gelisah, merasa tak nyaman duduk berdua saja dengan Fikar. Mungkin tak demikian jika pria di sebelahnya bukan seseorang yang baru saja melamarnya secara dadakan. Mungkin juga tak begitu, jika Fikar bukan dosen di fakultas tempatnya menuntut ilmu. Ditambah lagi Fikar selalu bicara dengan bahasa yang baik, benar, baku, juga formal. Sungguh bikin Nara kagok kelas berat.

"Bismillah. Maaf, adakah syarat dari Mbak Nara sebelum menikah dengan saya?" Fikar membuka pembicaraan. To the point, seperti biasa.

"Nggak! Nggak ada syarat apa-apa! Orang saya belum siap nikah sama Bapak." Nara cemberut.

"Saya kan cuma menanyakan syarat dari Mbak Nara untuk menikah dengan saya. Bukan bertanya Mbak Nara siap atau tidak siap menikah dengan saya."

"Plis deh, Pak. Jangan maksa! Pernikahan yang baik itu tidak dimulai dari suatu keterpaksaan."

Mendadak Mama (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang