12. Tentang Dia

30.7K 2.1K 82
                                    

Semestinya, menikmati waktu berdua adalah indah, bukan malah embuh.

***

Untuk pertama kali setelah Ayu pergi, Fikar bisa sejenak terlepas dari Lila. Selama dua pekan, hampir setiap saat pikirannya terikat pada Lila. Tiga hari pertama menyandang status duda menjadi hari-hari yang berat dalam hidupnya yang selama 27 tahun berjalan nyaman dan lurus saja. Namun masa terberat justru Fikar rasakan ketika harus memutuskan untuk menikahi Nara.

Keberadaan gadis 19 tahun di rumahnya sore itu mengubah segalanya. Ia yang baru beberapa hari menduda, mendadak harus menikah untuk kedua kalinya. Lagi-lagi semua demi Lila. Bermodal pengetahuan minim tentang Nara yang didapat dari adiknya, ia membulatkan tekad dan dengan gagah berani mendatangi ibu Nara untuk meminta izin menjadikan si anak sulung itu sebagai istrinya.

Sejatinya ada rasa bersalah dalam diri Fikar. Nara masih sangat muda, menjadi istri saja dia mungkin masih gagap, ini malah langsung didaulat menjadi ibu bagi anaknya. Ditambah lagi ada mendiang istri yang meski sudah tiada tetap saja membayangi langkah Nara.

Maka usai perkuliahan siang itu, Fikar berniat mengajak Nara pergi. Berdua saja tentu. Ia ingin menyenangkan Nara, apapun yang diminta perempuannya itu, ia akan berikan.

"Na, mumpung cuma berdua, kamu ingin pergi ke mana gitu? Atau mungkin ada yang kamu mau beli. Bilang saja, aku siap menemani ke mana pun kamu mau."

"Eh, apa sih, Mas?"

"Aku ingin nyenengin kamu, Na. Kan baru kali ini kita punya kesempatan berdua saja tanpa Lila. Katakan saja, Na, kamu ingin apa?"

Fikar menghidupkan mesin, disusul pendingin udara, lalu perangkat audio. Perlahan mobil bergerak menjauhi lapangan parkir fakultas teknik.

"Emm, saya nggak tau, Mas. Nggak pengen apa-apa. Dua mingguan nggak kerja dan bisa hidup lebih nyaman dari sebelumnya udah lebih dari cukup buat saya."

"Apa kamu bahagia, Na?"

"Saya sih apapun keadaannya selalu berusaha buat ngerasa bahagia, Mas."

Ada terenyuh menyelinap di hati Fikar. Gadis di sebelahnya itu seperti tak punya keinginan apa-apa. Keadaan telah memaksanya untuk terbiasa menerima hidup apa adanya.

"Na, keadaanmu sudah beda dengan dulu. Sekarang ada aku, yang insya Allah akan selalu berusaha menjagamu, membahagiakan kamu."

"Mas ni ngomong apa sih ah? Saya nggak suka suasana yang melow-melow gini. Mending Mas nyanyi aja deh."

"Hehe, sebenarnya aku serius, Na. Tapi baiklah kalau kamu maunya aku nyanyi. Kamu mau lagu apa?"

"Eh, Mas habis kesambet apa sih? Biasanya mana mau saya suruh-suruh gini?" Nara terheran.

"Kata siapa? Bukannya malah aku yang tiap hari nurutin maunya kamu, Na?"

"Eh, nggak gitu juga kali ah. Mas ini sukanya ngebalikin deh."

"Iya deh iya, maaf. Jadi mau dengar aku nyanyi nggak?"

"Dih, pengen banget ya didenger?"

Fikar tak menjawab lagi. Jarinya sibuk menyentuh layar di kiri setir, memilih satu lagu dalam playlist. Tak menunggu lama, suaranya yang memang enak didengar telah menyapa kuping Nara.

She says, we've got to hold on to what we've got
It doesn't make a difference if we make it or not
We've got each other and that's a lot for love
We'll give it a shot

Wooo, we're half way there
Wooho, livin' on a prayer
Take my hand, we'll make it I swear
Wooho, livin' on a prayer

Mendadak Mama (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang