7. Pelukan Hangat

41.3K 2.6K 120
                                    

Ada kalanya, melepaskan beban yang terasa berat dengan curhat pada orang yang tepat itu bisa menjadi obat. Apalagi ditambah bonus pelukan hangat.

***

Empat hari kuliah sambil momong bocah berlalu dengan lancar. Nara mulai terbiasa dengan kondisi tersebut. Beruntung, mendekati ujian akhir semester, praktikum sudah selesai, jadi sejauh ini Lila bisa tetap bersamanya. Para dosen pengajar pun bisa memaklumi, sebab papanya si bocah sudah terlebih dahulu menemui dan menjelaskan kondisi sebenarnya pada rekan-rekan seprofesi di fakultas yang sama. Termasuk tentang hubungannya dengan Nara.

Hari kelima. Rampung kuliah, Nara dan Luli duduk sejenak di kantin, menunggu Fikar yang belum selesai mengajar. Lila terlihat menikmati bolu kukus dengan lahap di pangkuan Nara.

"Eh, bocah ini anaknya Mas Fikar kan? Kok ikut kamu sih?" Seorang mahasiswi bersama dua orang temannya masuk ke kantin. Begitu melihat Lila, tanpa basa-basi ia menghampiri Nara, nyolot sambil menunjuk-nunjuk Lila.

"Mas Fikar siapa?"

"Mas Fikar dosen arsitektur lah."

"Maaf, apa pantas memanggil dosen dengan sebutan Mas?" jawab Nara sopan.

"Halah, tau apa kamu! Tapi bocah ini bener anaknya Mas Fikar kan? Kenapa ada sama kamu?"

"Apa ada hak Anda untuk tau?" Nara mulai berani.

"Heh, kalo ada orang nanya, jawab aja. Kamu baby sitternya ya? Kalo mau momong bocah nggak usah dibawa ke kampus juga kali. Caper banget."

"Dari mana Mbak tau kalo ini anaknya Mas Fikar?" Luli turut bersuara.

"Ya pokoknya tau lah. Kamu kenapa ikut manggil Mas, ngefans juga?" Gadis yang ternyata 'penggemar'nya Fikar itu tak kalah galak pada Luli.

"Astaghfirullah. Saya nggak perlu ngefans buat bisa deket sama Mas Fikar. Saya sudah deket, bahkan dari sebelum saya lahir. Dia kakak kandung saya. Mbak kalo nggak tau ceritanya nggak usah nuduh orang sembarangan. Teman saya nggak seperti yang Mbak bilang. Keberadaannya justru sangat membantu buat Mas Fikar, dan itu bukan urusan Mbak!" Luli mulai tersulut emosi.

"Halah, pake ngaku-ngaku. By the way, kamu bener cuma jadi baby sitter anaknya? Yakin bukan karena punya kepentingan deketin bapaknya? Bapaknya masih muda lho, ganteng, pinter, mapan, duda pula. Bener cuma mau momong anaknya aja? Dibayar berapa sih kamu?"

Sungguh, hati Nara teramat sakit mendengar rentetan kalimat yang keluar dari bibir mahasiswi itu. Dia sadar diri bahwa dia bukan orang yang beruntung secara finansial, tapi ia juga tak serendah itu.

"Maaf, Mbak. Silakan Anda hina saya, meski saya nggak tau apa sebabnya. Tapi tolong, jangan di depan anak kecil. Dia nggak tau apa-apa. Dia taunya cuma, saya adalah mamanya, karena saya mirip dengan mamanya yang sudah meninggal. Dan satu lagi, meskipun saya miskin, saya tak serendah yang Mbak tuduhkan."

Mahasiswi itu terdiam. Kaku. Mungkin ia merasa malu.

Nara beranjak, menghampiri Ibu Kantin, kemudian menyodorkan satu lembaran merah, dan dengan gegas berbalik arah. Ia memeluk erat Lila dalam gendongannya. Luli mengekor di belakang dengan perasaan yang bercampur aduk.

"Mbak, kembaliannya."

"Nggak usah, Bu. Mohon maaf kalau saya bikin keributan di sini."

"Nggak lah, Mbak. Semua yang di sini juga tau siapa yang tadi mulai bikin rame. Terima kasih ya, Mbak. Sabar saja, jangan dimasukkan hati," jawab Ibu Kantin.

"Iya, Bu. Terima kasih banyak."

Nara tak bicara sepatah pun lagi. Luli cukup mengerti apa yang dirasakan sahabatnya saat ini, ia hanya mengikuti saja ke mana Nara melangkah pergi. Mereka tiba di area parkir dosen sepuluh menit sebelum jam mengajar Fikar habis. Menunggu, dengan Nara yang masih tetap membisu.

Mendadak Mama (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang