| B

58 11 1
                                    

Suasana hati Naira masih buruk hingga pagi harinya. Dirinya sarapan dengan setengah hati tanpa membalas sapaan ayahnya yang sudah siap berangkat ke kantor, pun saat ayahnya bertanya apa yang membuat wajahnya lusuh seperti baju yang belum disetrika, dia hanya menjawab sekilas sambil menggigit roti bakarnya.

Belum sampai 10 menit sarapan hambar itu berjalan, biang dari segala unek-unek Naira tiba. Membawa 2 anaknya yang baru berusia 3 tahun dan satu tahun untuk dititipkan kepada ibunya. Namun karena pemandangan Naira muncul di rumah orang tuanya adalah pemandangan yang jelas sangat menarik perhatian, seketika keponakannya yang berusia 3 tahun itu berlari menuju meja makan untuk menghampiri Naira.

“Astaga... keponakanku sudah besar, kau sudah sarapan belum Ken?” kekesalan yang masih berlangsung itu sedikit memudar, tidak ada yang tidak suka anak kecil bukan? Bocah laki-laki itu mengangguk penuh semangat sambil terus memeluk Naira.

“Apa kau sangat merindukan tante Naira?” Lia mendadak muncul dari belakang Naira dan langsung bertatap muka dengan Kenzo, bocah itu langsung tersenyum lebar, “Onti Ala!” Kemauan Lia untuk dipanggil onti Ara, meski harus berakhir jadi onti Ala lantaran bocah ini masih belum fasih menyebut huruf R, tapi tidak apa-apa, menurutnya itu terdengar imut.

Keponakan-keponakan Naira mengenal Lia. Meski hanya sesekali Lia bertemu mereka, terutama saat ada acara besar atau acara keluarga lainnya atau memang Naira sendiri yang mengajaknya, Lia sudah pasti akan dikelilingi keponakan-keponakan Naira. Kenzo langsung bergerak-gerak ingin turun dari gendongan Naira dan beralih pada Lia.

“Ah rupanya ada kau Lia, bagaimana kabarmu?” Kemal yang tadi tidak langsung menuju meja makan melainkan menaruh barang-barang anaknya di salah satu kamar, segera mengambil tempat di salah satu sudut meja makan.

“Kau belum sarapan nak?” tanya Kazuo pada putera keduanya sambil fokus membaca koran, Kemal mengangguk sambil menuangkan segelas susu yang baru diambilnya dari kulkas, “Iya, aku tidak tega meminta Nora membuatkan sarapan, meski dia sempat memaksa.”

“Wah, kau terbaik kak, suami teladan.” Lia ikut menimpali obrolan sarapan pagi ini sambil bermain dengan Kenzo. Kemal membalasnya dengan ekspresi ‘jangan meragukan diriku’ sambil mengacungkan ibu jarinya kepada Lia, mengabaikan Naira yang menatapnya dengan jijik.

“Jam berapa Nora akan kemari? Aku tidak tega membiarkan dia melakukan pekerjaan rumah dengan kondisi mabuk seperti itu. Apa istrimu baik-baik saja? Kau kan dokter.” Soraya ikut menimpali obrolan kecil itu sambil menggendong anak kedua Kemal.

“Dia baik-baik saja bu, hanya mualnya saat pagi hari agak parah dibanding saat dia hamil Kenzo dan Naika. Agak sulit makan juga, tapi dia memaksa dirinya tetap makan meski akhirnya harus dimuntahkan lagi.”

Soraya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan anaknya. Sementara Naira hanya diam tanpa meladeni ucapan kakaknya sedikit pun. Kemal yang menyadari hal itu segera meletakkan gelas susunya dengan sedikit keras. “Kinara Adhyaksa, kau bahkan tidak menyapa kakakmu pagi ini setelah hampir 3 bulan kau tidak pulang ke rumah.”

Naira menatap kakaknya lamat-lamat. Jika bukan karena Kemal adalah saudaranya, tidak sedang dalam suasana sarapan yang menyenangkan dan ayahnya tidak berada di meja makan, mungkin Naira tidak akan segan-segan untuk menancapkan garpu ke tenggorokan kakaknya.

Naira menunjukkan senyum yang jelas dibuat-buat olehnya sambil menatap kakaknya dengan tatapan penuh telepati, awas kau Kemal, jika tatapan Naira bisa bicara, mungkin bunyinya seperti itu.

“Oh selamat pagi kakakku yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Apa kabarmu pagi ini?”

Kemal menyipitkan matanya sambil menerka-nerka, apakah adiknya demam pagi ini? “Kau sudah punya pacar?” tanya Kemal lurus-lurus, hingga ayahnya yang sedang fokus membaca koran mendadak berdehem lalu melipat korannya. Ibunya yang tadinya berdiri di sekitaran dapur mendadak juga ikut duduk di meja makan, sementara Lia menatapnya dengan tatapan penuh interogasi. Sungguh, Naira ingin membunuh kakaknya saja.

“Belum, kenapa kau begitu terobsesi dengan urusan hidupku?” sekilas terdengar ibunya mendesah kecewa, ayahnya mengalihkan perhatiannya dengan meneguk kopi paginya. “Hanya mengingatkan, kau sudah 28 tahun, sebentar lagi 30, ayah dan ibu sudah tua. Aku tidak bilang mereka akan segera mati, tapi setidaknya berilah mereka kesempatan untuk bisa melihat anak-anakmu.” Lagi, Kemal mengatakannya lurus-lurus, seakan setiap kalimatnya tidak menyisakan beban untuk orang yang jadi bahan pembicaraan.

Naira diam, tidak tau harus menanggapinya bagaimana. Dia tau sudah berkali-kali ayahnya turun tangan lewat kakaknya dalam urusan kecil nan rumit yang sebagian besar manusia hidup di dunia ini menggantungkan setiap hembusan napasnya pada sesuatu yang kita sebut dengan cinta. Naira sendiri tidak begitu tertarik untuk memiliki sebuah hubungan, dia bahkan tidak lagi merasakan getar-getar aneh bak remaja polos dan lugu yang baru saja terserang virus cinta monyet, tidak meski trauma masa lalunya sudah lewat bertahun-tahun, walau kadang-kadang trauma itu masih mengganggunya. Baginya, mengurus kafe dan toko kue masih menjadi prioritas hidupnya, dan dia belum siap menambah daftar prioritas baru.

Tapi rasanya benar juga apa kata kakaknya, dia sudah mulai menua, pun orang tuanya. Ayahnya sudah beberapa kali jatuh sakit, dan disaat-saat itulah ayahnya meracau tentang kematian dan meluncurkan ide paling gila menurut Naira, menikah. Menurut ayahnya, dia baru bisa mati dengan tenang jika Naira sudah menikah.

First EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang