Terkait pernikahan Andra, Naira kira Ardian datang hanya untuk mengantarkan undangan saja. Ternyata ada batu dibalik udang, dia meresmikan dirinya sebagai pegawai paruh waktu di kafe sekaligus mengajak Naira mencari baju yang akan dikenakan oleh Naira besok sore. Dan tentu saja, Lia menyetujuinya dengan semangat. Menurutnya, baju yang dipakai saat menemui orang tua Ardian, tidak bisa dikenakan untuk acara pernikahan besok.
Alhasil, Naira terdampar di sebuah pusat perbelanjaan. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik ke kamar ganti karena Ardian terus-terusan menolak semua baju yang dia kenakan. Naira sudah sangat kesal sebenarnya, dia bukan tipe wanita yang betah bolak-bolik ruang ganti untuk mencoba banyak baju, tapi mengingat Ardian sangat membantu di kafe tadi siang, Naira tidak jadi marah-marah.
Hingga saat dia keluar dari kamar ganti, dia tidak menemukan Ardian di sofa yang tadi didudukinya. Entah laki-laki itu menghilang kemana. Namun baru saja Naira akan kembali mengganti bajunya, Ardian sudah muncul di hadapannya dengan sebuah dress berlengan berwarna biru pucat ditangannya. “Cobalah, sepertinya cocok untukmu.”
Tanpa banyak berkata-kata, Naira lantas mengambil dress itu dari tangan Ardian dan bergegas mengganti bajunya. Benar saja, mata Ardian itu benar-benar ajaib, dress dengan bagian bawah yang mengembang sepanjang lututnya benar-benar pas sekali. Dia lantas keluar dari kamar ganti dan menemukan Ardian sudah kembali duduk di sofa. “Bagaimana menurutmu?”
Ardian diam sejenak, kepalanya berkali-kali berusaha meyakinkan alam bawah sadarnya bahwa yang dihadapannya ini memang sangat cantik. Jadi cepatlah bicara sebelum jadi canggung karena otaknya masih mencerna apa yang dilihatnya. “Baiklah, ambil itu. Kalau ada yang kau sukai dari dress yang sudah kau coba, ambil saja.”
Naira menggeleng mantap, “Tidak ada, aku suka ini.” Naira tersenyum sumringah. Dan Ardian berusaha mati-matian menjaga degup jantungnya tetap normal karena senyum merekah itu. “Baiklah, aku tunggu di depan.”
Naira lantas menemukan dirinya sudah membawa pulang satu buah dress baru, sepatu baru dan pouch baru. Gratis. Dibayar oleh Ardian. Laki-laki itu sedang sibuk dengan ponselnya saat Naira muncul. “Sudah selesai.”
Ardian menoleh, “Mau jalan-jalan sebentar?” Naira lantas mengangkat pergelangan tangannya dan menemukan jam sudah menunjukkan pukul setengah 8 malam, “Baiklah, kau mau kemana?”
Ardian hanya diam tidak menjawab, tapi tangannya sukses meraih tangan Naira dan menuntunnya masuk mobil. Tetap masih dalam diam, Ardian mengendarai mobilnya dengan tenang. Meski ganti jantung Naira yang berisik, dan Naira baru sadar bahwa dia tidak menolak digandeng Ardian. Ardian lalu menghentikan mobilnya tepat di sebuah kawasan festival makanan, ditambah dengan adanya pasar malam, suasana semakin ramai. “Kita makan dulu, aku lapar.”
Naira mengikutinya dan berhenti pada sebuah restoran Korea all you can eat. Kembang api sudah berkali-kali memeriahkan langit malam saat mereka memasuki restoran itu. “Kau ingin makan apa?” tanya Ardian sebelum memesan, “Kau pilih saja, aku memakan apapun yang kau makan.”
Mengabaikan Ardian yang berurusan dengan pesanan, Naira memilih duduk di salah satu meja tepat di sebelah jendela. Restorannya cukup ramai, semakin meriah dengan tawa dan suara daging yang menempel pada panggangan. Belum lagi suasana di luar, kembang api, pertunjukkan musik tradisional dan lain sebagainya.
“Setelah ini kita bisa melihat kembang api.” Ucap Ardian tiba-tiba saat dia ikut duduk di seberang Naira. Naira hanya mengangguk sambil mengarahkan padangannya ke jendela, “Ramai sekali.”
“Ini festival Naira, bukan kuburan.” Ucap Ardian yang setengah terkekeh.
“Apa kau sering jalan-jalan ke tempat-tempat seperti ini?”
“Aku perlu inspirasi untuk tulisanku.” Naira lantas mengangguk. Mereka diam lagi, saling tenggelam dalam keramaian itu, hingga makanan mereka disajikan, barulah ganti garpu dan sendok yang memecah suasana.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” Naira membuka suara yang dijawab dengan anggukkan oleh Ardian, meski Naira ragu, tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya, “Apa kau benar-benar serius denganku?”
Ardian memandang Naira dengan tenang, meski Naira tau, ada emosi yang berkecamuk di mata laki-laki itu. Naira pernah jatuh cinta, dan tentu saja pernah dicintai seseorang. Melihat tatapan Ardian saat ini, Naira sebetulnya tidak memerlukan jawaban, sudah terpancar jelas diwajahnya. “Aku tidak main-main dengan semua perkataanku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
First Euphoria
Teen FictionAku memutuskan untuk bangun hari itu, dan menjadikan mimpi-mimpi itu sebuah kenyataan. Jadi hari itu aku berdiri di hadapannya, dan menawarkan seluruh nyawa dan tubuhku padanya, untuk hidup bersamaku, selamanya... - Penulis