Ardian lalu sedikit tersenyum, "Ayo." Dia lalu membalikkan badannya dan menuntun jalan menuju mobilnya yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Pakai sabuk pengamanmu. Aku tidak perlu membantumu untuk memakainya kan?"
Naira bergegas memakai sabuk pengaman itu sambil setengah cemberut yang justru malah ditertawakan Ardian. "Kenapa kau tertawa?"
Ardian hanya menggeleng dan tertawa menjawab pertanyaan Naira sambil terus melajukan mobilnya. Setidaknya Naira sudah tidak terlalu marah terkait insiden tadi. Walaupun suaranya masih terdengar ketus saat bicara, tapi kini lebih baik. Namun, bukan Ardian dan Naira kalau tidak berdebat, dunia tidak lengkap tanpa adu mulut mereka. Baru saja memasuki supermarket, mereka sudah berdebat apakah akan menggunakan satu atau dua trolley.
Perdebatan itu akhirnya dimenangkan oleh Ardian dan membawa satu trolley. Selang beberapa saat, mereka berdebat soal minuman yang akan disajikan besok, Ardian menginginkan minuman kaleng saja, tapi Naira memaksa membeli jus buah. Perdebatan berakhir dengan imbang, jadi baik minuman kaleng maupun jus, dua-duanya dibeli.
Dan masih banyak perdebatan lainnya hingga kapan mereka akan membeli daging saja jadi bahan perdebatan. Sayangnya, trolley belanjaan yang awalnya hanya mendengar perkelahian mereka, sekarang justru lagi-lagi menjadi objek dari perdebatan sengit itu. Mereka sudah bergerak memasuki lorong bahan-bahan kue saat Ardian dan Naira saling berebut ingin mendorong trolley belanja.
"Ini bagianku, aku yang akan membuat muffin, aku yang memilih bahannya, jadi aku yang mendorong trolleynya!"
Ardian tidak mau kalah, "Astaga Kinara! Aku laki-laki disini, jadi kau pilih saja bahannya dan aku akan mendorong trolleynya, apa kata orang kalau aku menyuruhmu untuk mendorong trolley sementara aku santai-santai saja?"
"Kau kan tidak menyuruhku, tapi aku yang mau!"
"Sudah, kau pilih saja bahan-bahan yang kau butuhkan. Aku yang mendorong trolleynya."
Malas berdebat lagi, lantas Naira berjalan meninggalkan Ardian di lorong itu dengan berpasang-pasang mata yang mengamati mereka sejak tadi."Naira! Kau mau kemana?" Ardian memberenggut sebal dan memutuskan mengikuti langkah kaki wanita itu yang sudah menghilang dari pandangannya. Belum sampai 5 langkah, Naira sudah muncul dengan trolleynya sendiri dan masuk ke lorong mereka berdebat tadi lalu mulai mengamati rak-rak itu, mengamati merek, berat bersih, bahkan potongan harga yang terpampang.
"Apa kak Andra menyukai cokelat?" jari tangannya bergerak menyusuri deretan tepung terigu di sana tanpa menoleh sedikit pun pada Ardian yang asyik mengamati pergerakannya dan tidak merespon pertanyaan Naira.
"Ardian! Aku bertanya apa temanmu menyukai muffin cokelat atau tidak?" lagi, berpasang-pasang mata disana kembali mengamati mereka.
"Apa kau tidak bisa mengecilkan volume suaramu itu?" Ardian yang sudah tersadar dari pesona Naira saat sedang mengamati rak tadi lalu mendekati Naira dan bicara dengan berbisik.
"Aku bertanya padamu dan kau tidak menjawab." Masih dengan volume suara yang sama Naira menjawab pertanyaan itu. Ardian lalu menghembuskan napasnya kasar, "Jadi apa pertanyaanmu tadi?"
"Kak Andra suka muffin cokelat tidak?"
Ardian lalu mengangguk cepat, "Ya ya ya... dia menyukai semua rasa, cokelat, strawberry, melon, anggur, jeruk, semuanya." Tangan Naira yang sudah bergerak untuk mengambil cokelat bubuk terhenti saat Ardian meluncurkan kalimatnya, "Apa maksudmu?"Ardian diam sejenak, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Ah tidak, dia suka muffin cokelat, abaikan kalimatku barusan. Aku akan pindah ke bagian sayuran, jangan terlalu lama disini."
Ardian berjalan menjauhi lorong itu lalu menghembuskan napasnya lega, "Astaga Tuhan, Kau sedang apa saat menciptakan Naira?" Ardian sendiri bingung apakah itu sebuah pertanyaan untuk sikap Naira yang menyebalkan karena suka marah-marah ataukah karena jantungnya yang tidak bisa tenang setiap dia ada di dekat gadis itu. Yang jelas, ini buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Euphoria
Teen FictionAku memutuskan untuk bangun hari itu, dan menjadikan mimpi-mimpi itu sebuah kenyataan. Jadi hari itu aku berdiri di hadapannya, dan menawarkan seluruh nyawa dan tubuhku padanya, untuk hidup bersamaku, selamanya... - Penulis