| H

6 2 0
                                    

Lia sedang merapikan cangkir sisa pelanggan kafe saat Naira masih tetap duduk diam di sudut lain ruangan. Matanya menatap keluar jendela, satu tangannya digunakan untuk menyanggah dagunya. Lia bisa bilang bahwa Naira sedang berpikir keras, walaupun dia tidak tau apa yang sedang Naira pikirkan.

Mungkin sedang berpikir mengenai pekerja paruh waktu? Mengingat besok Lia sudah akan memulai aktivitas kampus. Atau mungkin ada peristiwa yang terjadi antara Ardian dan Naira saat kemarin dia membantu kakaknya di pesta seseorang yang bernama Andra? Entahlah, Lia tidak bisa menebaknya.

Lia baru saja kembali dari dapur saat Naira menghampirinya di balik mesin kasir. Wajahnya tampak sedikit muram, tapi juga seperti kebingungan.

“Ada masalah bos? Sepertinya kemarin kau baik-baik saja, kenapa hari ini kau diam begitu? Aku sampai takut mungkin ada hantu yang merasukimu.” Ucap Lia sambil setengah tertawa yang dibalas dengan dengusan oleh Naira.

“Lalu ada apa? Pemandangan yang langka melihatmu duduk dipojokkan sana sambil melamun.” Naira masih diam, kali ini dia memilih duduk di kursi tinggi dekat mesin kasir.

“Aku pernah ada di ambang kematian, dan itu mengerikan.” Lia tidak paham kemana arah pembicaraan ini, tapi mari kita dengarkan saja. “Kau pasti tau kalau Ardian pernah mencoba bunuh diri.”

Rahang Lia nyaris jatuh ke lantai saat mendengarnya. Lia lalu menggeleng sekuat tenaga, dan gelengan itu justru membuat Naira kebingungan. Masa penggemarnya tidak tau?

“Yang benar bos? Kapan? Astaga aku baru tau.”

“Kau benar tidak tau?”

Lia mengangguk mantap, “Maksudku, aku tau bahwa dia pernah depresi. Tapi hanya sebatas itu, tidak ada yang tau kalau sampai dia nyaris bunuh diri.”

Naira lalu mengangguk perlahan, Ardian benar-benar berusaha menenggelamkan masa lalunya. Dia menutupinya dengan baik, tapi dia lampiaskan pada buku-bukunya. Ternyata Ardian lebih rumit dari yang bisa Naira bayangkan. “Ya kemarin dia sedikit bercerita padaku.”

Lia semakin merapatkan dirinya pada Naira, ekspresi keingin tahuannya tidak bisa ditahan lagi. “Lalu lalu lalu? Apa yang terjadi?”

Naira mengangkat kedua bahunya, “Masa lalunya rumit. Dan seperti yang aku bilang, aku pernah ada diambang kematian dan rasanya mengerikan, tapi dia justru ingin mati.”

Naira lalu mengambil salah satu toples kue dihadapannya, “Tapi kau bisa lihat sendiri, sekarang laki-laki itu masih hidup.” Lia mengangguk, ikut mengambil kue dari toples yang dipegang Naira, “Lalu apa lagi yang dia ceritakan?”

Naira diam lagi, kali ini lebih lama, dia seperti berpikir bagaimana cara dia menceritakan bagian ini. Tapi jelas sekali dia tidak bisa menahan diri, dia tidak bisa menyimpan semuanya sendiri, apalagi jika Lia sudah mulai bertanya. “Dia mencari alasan untuk bertahan hidup, dan dia menemukannya.”

Lia kembali menganga, seakan menemukan kepingan puzzle yang hilang, dia seakan bisa menyambungkan semua teka-teki. “Jangan bilang kalau…”

Kalimat Lia terputus, dia tidak melanjutkan, hingga Naira menoleh padanya. Lia lalu menepukkan tangannya ke udara dengan ekspresi kegirangan, dia benar-benar tidak bisa menahan diri, sementara Naira hanya menatapnya dengan ekspresi datar. “Astaga Nai, kenapa kalian lama-lama seperti tokoh utama novel penuh drama?”

“Maksudmu?”

Lia menegakkan posisi duduknya lalu berdehem, “Jadi apa dia mengatakan kalau kau adalah alasan dia bertahan hidup?”

Seketika wajah Naira memerah, kembali teringat kejadian kemarin malam. Sementara Lia sudah loncat-loncat kegirangan. “Jadi dia benar-benar berkata seperti itu?!”

Naira lalu menatap Lia serius, dia mencoba mengendalikan ekspresinya karena sudah terlanjur malu. Pipinya mungkin sudah tidak karuan sekarang. “Bisa kah kau tenang dan duduk?”

Lantas Lia duduk dikursinya, dia tidak ingin kena semprot Naira jika sudah dalam mode serius. Naira lalu berdehem, mengalihkan perhatiannya pada toples kue dimeja. “Dia bilang… aku salah satu alasan dia bertahan hidup. Meskipun aku tidak begitu paham maksudnya, tapi kemarin dia mengatakannya dengan serius.”

“Lalu apa jawabanmu bos?”

Naira mendesah, ini lah yang dari tadi menjadi beban pikirannya. Dia tidak tau harus mengatakan apa atau melakukan apa atau bagaimana jika nanti dia bertemu dengan Ardian lagi. “Aku tidak tau.”

Lia menghembuskan napasnya, “Kenapa kau tidak tau?”

Naira diam lagi, dan Lia sepertinya bisa paham kenapa Naira banyak berpikir belakangan ini, dia juga lebih banyak diam meskipun tetap suka marah-marah. “Dia menggantungkan hidupnya padaku tepat disaat aku benar-benar dalam posisi tidak ingin terlibat hubungan apapun dengan laki-laki. Aku tidak siap.”

Tatapan Naira ganti menerawang ke pintu kafe, ada ketakutan dan keenganan disana yang berusaha dikubur Naira dalam-dalam. “Aku takut jika nanti, aku juga menjadi alasan dia bunuh diri lagi. Kau tau aku benar-benar kesulitan membangun lagi sebuah kepercayaan pada seseorang. Aku tidak tau apakah aku akan bisa luluh atau tidak kali ini.”

Lia mengerti, Naira benar-benar belum bersedia kembali membuka hatinya. Setelah semua yang pernah Naira lewati di masa lalu, dia belum benar-benar pulih dari kekecewaan dan ketakutannya. “Apapun yang kau alami di masa lalu, biarlah itu menjadi mimpi buruk saja. Kau punya masa depan, kau berhasil melewati semua ini sampai sekarang.”

Kalimat Lia seperti menampar dirinya. Bukan hanya sekali ini Naira menyerah untuk mencoba memulai masa depannya, berkali-kali pula Naira menghindari laki-laki yang ingin memulai hubungan dengannya. Naira tidak bisa menahan bayang-bayang kejadian masa lalu yang masih menghantuinya sampai sekarang. Hingga tanpa sadar dia menggulirkan setetes caran bening dari matanya. “Apa aku boleh…?”

Dan air mata itu mengalir lagi, semakin banyak hingga Naira tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Naira lalu memeluk Lia dan menangis. Seperti awan yang sudah tidak bisa menahan beban air lagi dan meneteskan hujan, setelah sekian lama Naira akhirnya kembali membuka luka lama itu dan menangis. Meski selama ini dia terlihat baik-baik saja, tapi Naira sungguh menutupinya. Hanya Lia yang selama ini menjadi tempatnya menangis.

“Tentu saja boleh bos, kau boleh bahagia, kau boleh mencintai dan dicintai sekali lagi.”

^^^

Sore itu Ardian datang agak terlambat dari biasanya. Dan tidak seperti biasanya juga, laki-laki itu tidak duduk di tempat biasa, tapi malah langsung duduk di kursi tinggi dekat meja kasir. Naira masih sibuk di dapur saat laki-laki itu datang, ada pesanan kue kering sehingga Naira harus turun tangan membantu. Laki-laki itu sesekali melirik ke arah pintu saat Lia harus bolak-balik ke dapur meja kasir. Jelas sekali dia menunggu Naira keluar.

Tapi karena Ardian sepertinya juga sedang sibuk, kacamata itu tidak copot dari hidungnya. Matanya setajam elang fokus mengamati laptop, membaca ulang setiap tulisan, menekan papan ketik berulang kali hingga setengah jam kemudian, Naira akhirnya selesai dengan urusan di dapur.

Ardian langsung mengamati Naira yang sedang meregangkan tubuhnya dan tidak menyadari kehadiran laki-laki itu. Bahkan saat lelah pun Naira tetap cantik. Yap, batin Ardian tidak malu-malu lagi mengakuinya. “Sepertinya kau lelah sekali.”

Naira terperanjat dan nyaris jatuh karena kehilangan keseimbangan, saat itu posisinya sedang menekuk satu kakinya ke belakang dan berdiri dengan satu kaki. Matanya seketika membulat melihat Ardian mengamatinya.

“Kenapa kau disini? Biasanya kau akan duduk di ujung sana.” Ucap Naira ketus, Naira masih tetap berdiri diam di tempatnya, dia tidak ingin jantungnya berdebur hebat jika menghampiri laki-laki itu. Masih terbayang-bayang percakapan kemarin malam soalnya.

“Apa kau bisa membantuku?” ucap Ardian sambil menurunkan kacamatanya. Jika Tuhan ingin menunjukkan kekuasaan-Nya lewat wujud manusia, maka Naira jamin, Tuhan menciptakan Ardian dengan amat sunguh-sungguh. Bahkan hanya dengan baju lengan panjang kebesaran, rambut setengah acak-acakan seperti baru bangun tidur, Ardian tetap terlihat tampan. Tidak bisa dipungkiri lagi, Naira nyaris gentar melihat wajah seperti itu. “Apa?”

Ardian menunjuk laptopnya, “Membaca apa yang aku tulis.” Naira berpikir sejenak, “Berapa halaman?” lantas Ardian melihat ke arah laptopnya, “Kau hanya perlu membaca sekitar 5 halaman.”

Naira menghembuskan napasnya bersamaan dengan angin yang juga berhembus hingga bel di depan pintu kafe sedikit bergemerincing. “Baiklah, tunggu disini sebentar. Kau mau minum apa?” Ardian tersenyum sambil menaikkan kedua bahunya, “Apapun yang kau sediakan. Asal jangan racun.”

Naira lantas berbalik menuju dapur, tentu saja untuk membuat minuman tanpa racun. Plus, meredam jantung yang tidak karuan. Tidak sampai 5 menit, Naira sudah kembali dengan dua mug berwarna abu-abu ditangannya. Dia lantas meletakkan mug itu di atas meja dan duduk berhadapan dengan Ardian.

First EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang