Sepertinya sisa-sisa hujan deras kemarin malam justru menyisakan peristiwa janggal di pagi harinya. Entah apa yang salah dengan sarapan Naira, tepat saat Lia sedang memutar gatungan pintu yang bertuliskan ‘tutup’menjadi ‘buka’, Naira mencetuskan sebuah pertanyaan yang membuat Lia sedikit tidak habis pikir. “Apa aku boleh meminjam novelmu?”
Lia sedang semangat mengelap pintu kaca, menghilangkan embun yang memburamkan pintu hingga pintu itu bening kembali. “Tentu saja, kau mau pinjam yang mana?”
“Ardian.” Sahut Naira singkat yang justru membuat Lia mengerutkan keningnya, menatap ke arah pelataran parkir, dan tidak ada penampakan batang hidung Ardian di sana, justru malah seorang pengantar koran baru saja melintas depan kafe mereka, apa Ardian sudah berubah profesi jadi loper koran? “Maksudmu bos?”
Naira berjalan mendekati Lia, “Novel karya Ardian, aku mau meminjamnya.” Lia mengerutkan keningnya semakin dalam, lantas menggerakkan tangannya dan menempelkan punggung tanganya ke kening Naira, “Tidak panas.” Lalu Lia menatap Naira prihatin, “Apa kau sedang sakit Nai?”
Naira memutar bola matanya, dia sedang serius sekarang, “Tidak, aku ingin membacanya.”
“Tapi kau kan tidak pernah membaca novel.”
Naira berdecak, “Sudahlah, nanti aku akan ke tempatmu meminjam beberapa buku. Sekarang, siap-siap berangkat ke kampus. Semangat mahasiswa!”
Lia mengalah saat semua peralatan bersih-bersih yang dia pegang direbut begitu saja oleh Naira, sementara Lia sudah menjauhi pintu dan bergegas mengambil tasnya. “Baiklah, aku pergi dulu.”
Naira mengangguk semangat, “Pergilah, nanti aku akan mentraktirmu makan malam.” Lia lantas meninggalkan kafe dan menghilang dari pandangan Naira. Tidak bisa Naira menahan senyumnya, dia sangat senang melihat Lia berangkat kuliah.
Sementara ini masih terlalu pagi dan pastinya belum akan banyak pelanggan, Naira lalu menggantikan posisi Lia membersihkan seluruh sudut ruangan kafe yang bernuansa cokelat dan abu-abu itu. Setelah Naira yakin ruangan itu sudah cukup bersih, Naira bergerak menuju mesin kopinya. Dia benar-benar baru dalam hal dunia per-kopi-an sebenarnya, tapi dia banyak belajar soal kopi serta cara menggunakan mesinnya. 2 hari yang lalu, Hana yang menurut penuturan Ardian itu tergila-gila pada Rayi, baru kembali dari jalan-jalannya keliling Indonesia. Dan hari ini wanita itu sudah berjanji akan mengunjungi Naira.
Bau kue kering yang dipanggang mulai tercium ketika Hana, wanita dengan tinggi semampai dan rambut tergerai indah itu memasuki kafe. Dia langsung berjalan menuju ke salah satu kursi tinggi di dekat meja kasir. Ya kursi itu memang hanya diduduki oleh orang-orang yang dekat dengan Naira, jarang sekali ada pelanggan yang duduk di sana. Naira membuat tempat itu sedikit mirip bar, di sebelah kanannya terdapat mesin kasir dan 3 pasang kursi yang letaknya berhadapan.
Hana bahkan sudah membuka toples yang terjejer rapih di tengah-tengah meja saat Naira kembali dari dapur.
“Kue di milikmu memang yang terbaik.” Ucap Hana tepat saat pintu dapur itu menutup. Naira segera berbalik saat mendengar suara yang tentunya tidak asing. Wajahnya langsung sumringah saat menemukan Hana duduk disana.
“Akhirnya kau tiba!” Naira bergegas memeluk wanita itu dan menempati kursi tinggi di sebelahnya. “Bagaimana kabarmu? Apakah jalan-jalannya menyenangkan?”
Hana menghabiskan kue kering itu dan menepuk-nepukkan kedua tangannya untuk menghilangkan sisa remahan kue di jari-jarinya. “Pertama, ijinkan aku mengunyah kuemu sampai habis.”
Jawaban itu diladeni dengan anggukan penuh semangat dari Naira, Hana lalu menelan kue di dalam mulutnya dan melanjutkan percakapan, “Kedua, kapan kau akan pergi jalan-jalan? Ayolah, kau harus keluar dari daerah ini sekali-sekali.”
Naira terkekeh mendengar ajakan jalan-jalan dari Hana yang sudah kesekian kalinya. “Kau tau betul aku satu-satunya yang bisa mengurus tempat ini, jadi bisa kau bayangkan jika aku tidak ada.”
Hana lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kan ada Lia, dia bisa membantumu.”
Naira mengangkat bahunya, “Tidak bisa, dia mahasiswa sekarang.” Hana membulatkan mulutnya dan seketika matanya berkilat-kilat senang, “Benarkah? Dia kuliah sekarang?”
Naira mengangguk mantap, segera saja Hana nyaris melompat dari kursi saking senangnya, “Aku tau ini konyol, tapi mendengar Lia kuliah rasanya aku senang sekali, dan sepertinya hariku akan berjalan baik. Aku tau dia akan jadi orang sukses setelah lulus nanti.”
Naira mengangguk mantap, “Benar, dia akan menggantikanku suatu saat nanti. Oh ya, kau mau minum apa?”
Hana mengusap-ngusap kedua telapak tangannya, “Apapun yang biasa diminum oleh Lia, aku ingin merayakannya.”
Naira hanya tertawa dan menuju dapur, menyiapkan apapun itu yang biasa diminum oleh Lia. Setelah minuman yang diminum oleh Lia itu tiba di hadapan Hana, wanita itu lantas memotretnya dan mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya, “Semangat kuliahnya… MABA, aku merayakannya untukmu. Cukup, dan… kirim.” Hana menekan layar ponselnya sekuat tenaga.
“Kau…”
Suara seorang laki-laki tiba-tiba mengagetkan Naira dan Hana, suara yang tidak asing bagi Naira, apalagi bagi seorang Hana. Seketika mereka berdua menoleh menatap sumber suara yang ternyata berasal dari 2 orang pria berkaos, yang satunya mengenakan masker, yang satunya mengenakan kacamata. Sementara yang bermasker masih mematung sembari satu jarinya menunjuk ke arah Hana dan yang berkacamata hanya bisa menggaruk kepalanya. “Kau memang ditakdirkan bersamanya.”
“Wah… Rasyid? Kau kah itu?” ucap Hana sambil menutup mulutnya tidak percaya, “Astaga aku tidak percaya kita bertemu lagi.”
Naira sudah mengerti situasi ini, mengingat Ardian sudah menyampaikannya kemarin. “Kalian berdua duduklah."
“Astaga Naira, kau juga mengenal mereka?”
^^^
“Jadi… aku adalah teman baikmu, lalu mereka berdua adalah temannya Kemal yang suka tebar pesona itu dan sekarang kau dijodohkan dengan Ardian?”
Hana bertanya sambil menunjuk ke arah Rayi, Ardian dan Naira bergantian. Di satu sisi Rayi sudah mati-matian menjaga kesabarannya yang sudah mencapai tahap kritis. Di sisi lain, Ardian santai-santai saja menikmati minumannya, dan terakhir, Naira yang harus menjawab semuanya.
“Yap, tepat sekali.” Naira bahkan tidak menyangkal kalimat Hana yang menyatakan dia dijodohkan dengan Ardian. Apakah ini sebuah penerimaan? “Wah dunia ini kecil sekali. Dan kau Rasyid, nama panggilanmu adalah Rayi?”
“Ya sangat kecil jika kau terus membuntutiku!” ucap Rayi ketus, mengabaikan pertanyaan Hana terkait masalah nama panggilannya. Hana menoleh padanya dan menatapnya melotot, “Kau bilang apa? Aku membuntutimu?”
Rayi berapi-rapi mengiyakan hingga membuat Ardian menutup satu telinganya. Sementara Naira hanya menunduk memainkan gelasnya, ini tidak akan mudah, Hana bukan tipe yang mudah mengalah. “Aku sudah bilang padamu, aku memang ingin ke Sumatera untuk urusan pekerjaan, lalu kenapa juga kau ada di sana?”
Rayi tidak mau kalah, “Aku juga ada pekerjaan di sana. Aku bahkan tiba duluan dibanding dirimu.”
“Aku bahkan tidak tau kalau kau juga mau kesana…”
“Haish sudah cukup!” suara tinggi Ardian memutus perdebatan itu sampai mengagetkan Naira. Mereka bertiga sontak menatap Ardian.
“Hana, kau sedang apa disini?” tanya Ardian tiba-tiba. “Aku? Tentu saja untuk mengunjungi teman baikku yang nyaris berjamur karena sibuk menjaga kafe” jawabnya polos. Naira justru memilih diam dan membiarkan Hana saja yang bicara.
Ardian lalu menghembuskan napasnya, “Jadi Rayi, kau bisa berhenti menuduh dia mengikutimu. Wanita ini kebetulan datang untuk mengunjungi Naira saat kita juga berencana kemari hari ini.”
Hening, semua terdiam, hingga Naira berdehem dan menatap Rayi, Ardian sudah bilang kalau Rayi ingin meminta bantuannya dan akan datang hari ini, “Jadi Rayi, apa yang bisa kubantu?”
Rayi segera menormalkan ekspresinya, merangkum kedua tangannya di atas meja, “Ah, jadi dalam waktu dekat ini galeri seni milik salah satu komunitas fotografi akan mengadakan pameran. Dan aku diminta untuk memberikan workshop singkat soal fotografi. Aku sendiri menjadi salah satu panitia acara dan… aku bertanggung jawab untuk masalah konsumsi.”
Naira mengangguk, “Oh aku mengerti, lalu?”
“Lalu, sebenarnya workshop ini tidak akan sampai melewati waktu makan siang, jadi kami butuh sesuatu untuk coffee break. Karena makanan buatanmu sangat enak saat acaranya kak Andra, bisakah kau membantuku untuk acara ini? Kebetulan salah satu orang penting yang mendanai organisasi ini akan datang, dan berdasarkan info yang beredar dia sangat suka kue, jadi aku benar-benar butuh bantuanmu untuk memberikan yang terbaik.”
Naira tersenyum lebar, tentu saja dia tidak akan menolak tawaran menarik ini. “Tentu saja bisa, tapi dengan satu syarat.” Rayi mengangguk, “Apa syaratnya?”
“Pastikan kau mengenalkanku pada tamu pentingmu itu. Barang kali tamu pentingmu tertarik untuk membeli kue buatanku, lagi.”
Rayi lalu tertawa, “Tenang saja, urusan itu bisa…”
“Tidak boleh!” bentak Ardian tiba-tiba, Naira mengerutkan keningnya, “Memangnya kenapa?”
“Kau tidak boleh berkenalan dengan laki-laki manapun di sana. Cukup jelas statusmu itu milikku kan?”
Naira terkejut dengan sikap Ardian, mengingatkan dia pada trauma masa lalunya. Tapi dia cepat-cepat menata hatinya dan berusaha terus meyakinkan dirinya kalau dihadapannya adalah Ardian, berkali-kali merapal kalimat yang pernah diucapkan Ardian bahwa seberapa besar pun kemiripannya, akan selalu ada perbedaan. Benar, orang itu tetap orang itu, dan Ardian adalah Ardian. Mereka tidak sama.
Di sisi lain, Hana sudah menganga tidak percaya, dan Rayi nyaris tersedak liurnya sendiri. Sementara yang bicara, hanya menatap mereka bertiga dengan tatapan ‘apa? ada masalah?’
“Aku bahkan belum bilang kalau orang itu jenis kelaminnya laki-laki.” Ucap Rayi dengan sangat polos.
“Tapi benarkan dia laki-laki?”
Rayi mengangguk. “Ya, salah satu pengusaha muda yang sukses.”
Hening, tidak ada jawaban. Tidak ada yang bisa dibantah. Naira sendiri masih terkejut dengan situasi dan atmosfer yang terasa aneh ini, jadi dia benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.
“Ya ampun Naira, kapan-kapan saja lah aku mengunjungimu lagi. Aku tidak akan mengganggu waktu kencan pagi menjelang siangmu ini. Aku pergi dulu.” Hana sudah berdiri dari kursi dan meraih tasnya lalu berjalan mendekati pintu. Namun belum sampai wanita itu membuka pintunya, Hana berbalik, “Rasyid atau Rayi, apa kau akan terus berada disana mengganggu mereka?”
Tanpa menunggu jawaban Rayi, Hana sudah keluar dari kafe dan menghilang dari pandangan mereka bertiga. Sementara Rayi hanya bisa menahan senyumnya dan mencoba pamit. “Mmm Naira, maafkan aku karena tidak bisa menjanjikanmu apapun. Aku tidak ingin kak Ardian murka. Jadi aku permisi dulu, silahkan lanjutkan perbincangan kalian.”
Dan Rayi pun juga ikut meninggalkan kafe itu. Ardian hanya diam masa bodoh, sementara Naira sudah kesal setengah mati. Lantas laki-laki itu menatapnya heran, “Apa?”
Melawan degup jantung yang belum berakhir karena ke-posesif-an Ardian tadi, Naira memilih mengalihkan topik, “Ada apa kau kemari pagi-pagi?”
Ardian lantas meletakkan sebuah undangan di atas meja, Naira bahkan tidak menyadari jika laki-laki itu datang membawa undangan tadi. Naira membuka undangan tersebut dan menemukan nama Andra dengan calon istrinya. Ah, jadi aku diundang?
“Acaranya besok sore, datanglah denganku.”
Naira meletakkan undangan tersebut di atas meja, “Kalau aku tidak mau?”
Ardian hanya mengangkat kedua bahunya, “Aku memaksa."
“Kenapa harus?”
“Kan sudah ku bilang, kau kekasihku. Jadi pergilah ke acaranya Andra bersamaku. Akan sangat aneh kalau kita datang terpisah.”
Entah Naira mendapat keberanian darimana, tapi sepertinya sebagian dirinya sudah tidak bisa menunggu. Secercah rasa takut yang sejak tadi dia sembunyikan akhirnya mulai menyergapi seluruh tubuhnya dari kepala sampai kaki.
“Ardian, boleh aku minta satu hal? Aku akan ikut jika kau mengabulkan permintaanmu.”
Ardian sedikit terkejut, tapi baiklah, lebih baik mengabulkan sebuah permintaan daripada Ardian harus datang sendiri ke acara pernikahan Andra, tanpa Naira. “Apa?”
Naira lalu menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap kekuatan dari setiap jengkal udara yang dia bisa hirup.
“Aku tidak tau apakah kau sudah tau masa laluku atau belum. Jika belum, aku berjanji suatu hari aku akan menceritakannya padamu. Tapi jika sudah… mungkin Kemal sudah menceritakannya padamu, aku mohon…”
Lagi-lagi Naira menarik napas sedalam-dalamnya, dadanya terasa begitu sesak. Debur jantungnya belum juga mau mengalah, bersamaan dengan setiap memori lama yang masih berkecamuk jika luka lama itu kembali terbuka. Naira lalu menatap Ardian lekat, berharap Ardian dapat membaca atau menerka isi hati Naira saat ini.
“Aku mohon… jangan terlalu posesif padaku. Itu… sedikit membuka luka lama.”
Dan saat itu lah sebutir air mata mengalir di wajah Naira. Naira buru-buru mengusap wajahnya dan sedikit terkekeh, “Maafkan aku, seharusnya aku…”
Dan jantung Naira semakin bertalu-talu saat dia menyadari bahwa dia sudah berada dalam dekapan Ardian. Ardian lantas mengelus puncak kepala Naira dan satu tangannya menepuk-nepuk punggung Naira. Naira tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan saat ini. Dalam posisi ini pun dia bisa mendengar detak Ardian yang juga tidak karuan. Naira terus mencoba menarik napas dalam-dalam, yang malah membuat paru-parunya dipenuhi aroma seorang Ardian. Saat itulah, Naira merasakan ketakutannya menguap, semua resah dan gelisah terangkum bergumul jadi satu dan hancur jadi debu yang menguap. Naira tidak tau jika pelukan Ardian bisa menjadi sebuah obat penenang.
“Aku minta maaf atas sikapku. Aku berjanji akan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi kau harus percaya padaku, siapapun dia laki-laki yang pernah melukaimu, aku bukan dia dan tidak akan pernah melukaimu.”Hai... apa kabar? Sudah lama aku gak update cerita dan baru update sekarang. Maaf karena belakangan lagi hektik banget dengan urusan real life. Aku harap kalian masih belum bosan sama ceritaku. Selamat lebaran bagi teman-teman yang merayakan 😊
- Tara
KAMU SEDANG MEMBACA
First Euphoria
Teen FictionAku memutuskan untuk bangun hari itu, dan menjadikan mimpi-mimpi itu sebuah kenyataan. Jadi hari itu aku berdiri di hadapannya, dan menawarkan seluruh nyawa dan tubuhku padanya, untuk hidup bersamaku, selamanya... - Penulis