Mozaik 1: Keturunan Kedelapan

489 147 34
                                    

Seorang gadis berjalan melewatiku, acuh saja. Sekilas ia sempat menatap mataku, dan sulit kulukiskan makna pandangannya, seperti beribu kosa kata dari dimensi lain, melesat-lesat bagai untaian anak panah yang belum siap untuk kujamah. Lalu tanpa berkata, tanpa senyum, bahkan tanpa mereda langkahnya, ia melewatiku begitu saja. Agaknya aku tak nampak dalam mata gadis yang selalu memancarkan semburat anyelir ini.

Pun meskipun ia berjalan seolah-olah tak ada aku disana, gadis itu masih tetap menjadi daya tarik yang memikat, selalu berhasil merebut perhatianku hingga ia menghuni setiap bayang-bayangku. Hidupku selama ini telah aku jalani dengan upaya keras menentang arus, namun gravitasi yang ditebarkan oleh gadis itu adalah sesuatu yang tak terelakkan. Jujur saja, tanpa amplifikasi berlebihan, gadis itu senantiasa merajai pikiranku. Ia hadir dalam jelmaan putri dengan kelembutan, kelicikan, dan kerapuhan yang begitu memesona. Terkadang tanpa aku sadari, kelemah-lembutannya itulah yang seringkali membentuk kharismanya yang menakutkan menurut presepsiku, pararoks sederhana bertemakan romansa yang malu-malu. Terkadang, aku harus mengatur nafas, memberanikan diri untuk sekedar berkata 'hai' kepadanya.

Dalam lintasan hidupku, aku telah berbaur dengan beranekaragam orang. Aku telah menjalani banyak hidupku dengan dikelilingi oleh berandalan-berandalan yang melontarkan cela cacian seakan tanah lapang milik mereka sendiri. Aku tidak asing lagi dengan semua itu. Aku telah menggenggam keberanian yang tak tergoyahkan dalam menghadapi bising manusia. Sepanjang ingatanku, aku adalah seorang lelaki tak kenal takut yang menjalari wicara dengan mahir. Namun dihadapan gadis manis nan lembut itu, aku seolah-olah merasa kecil. Ketegasanku larut di hadapan pandangan teduh nan dalam yang seolah bisa melelehkan tembaga itu. Keberanianku lenyap, aku menjadi orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Terkadang aku menemukan sesuatu hal janggal yang agak menjengkelkan di dunia ini dan anomali yang kualami ini merupakan salah satunya. Padahal, aku sangat ingin bercerita banyak kepada dirinya. Merangkai kisah dalam kata-kata tentang indahnya hidup bagai sekumpulan camar yang mendekorasi horizon di ufuk Drini.

Aku hendak melangkah, kemudian ragu. Keraguan yang aneh dari seseorang yang tengah kasmaran dan menjadi turis dalam bidang asmara. Dalam kelesah ku yang sarat itu, sekonyong-konyong berhembus angin dari utara dengan tenang. Semilir nya meniup dedaunan yang pasrah diombang-ambingkan gelombang yang bertiup dalam kesunyian. Kemudian dedaunan itu tersapu, terlontar hingga menelisik rambut seorang lelaki yang terpekur macam kena tenung. Entah dari mana terdengar suara bisikan yang begitu halus, sehalus siulan merpati di parahyangan. Dedaunan itu membisikkan suatu pesan mistis ke telinga lelaki itu. Lelaki itu adalah aku. Tanpa kusadari, aku melangkah mantap dan memanggil namanya.

Ia menoleh. Meski masih tanpa senyumnya yang semanis gula derawa. Gadis ini tahu bahwa seseorang yang memanggilnya ini menyimpan rasa yang dipendamnya dalam jeruji kalbu. Ia tahu bahwa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu untuk membuat dirinya terkesan saja. Namun tanpa rasa sombong dan tanpa ia ingin menyakiti hati orang ini, ia pun akhirnya mengibarkan senyumnya.

"Iya, ada apa?" tanyanya seperti biasa, dengan suara lembut dan volume tidak lebih dari angka lima.

Aku mengeluarkan senyum terindah yang mungkin diukir oleh struktur wajahku. Meskipun aku selalu merasa diriku bagai Tom Cruise muda di pantulan cermin, selalu saja aku merasa berpenampilan buruk di hadapannya. Aku mencoba mencari topik pembahasan. Sadar bahwa waktu bersamanya akan menjadi perjumpaan yang pendek, gadis lembut ini bak menghadirkan tantangan untukku. Apalagi aku bukanlah tipe orang yang pandai berbasa-basi. Tapi aku akan berusaha.

"Bagaimana dengan persiapanmu mengikuti lomba tari?" tanyaku. Ah, basa basi yang terlalu klasik, kurang apik, dan sama sekali tidak kharismatik. Jika ucapan yang keluar bisa ditarik, ingin kubuang jauh-jauh kalimat rendahan itu ke Laut Jawa, dibawa gelombang menuju Kalimantan. Kukutuki diriku sendiri mengapa tak pandai bersilat lidah terhadap gadis ini.

Melawan GravitasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang