Agak kurang sopan rasanya jika kugambarkan gadis cantik periang itu dengan lingkar dada dan pinggulnya. Cukup repsentatif jika kugambarkan postur gadis berkerudung itu dengan fisika sederhana: h=1,65 dan m=51, masing-masing dalam satuan internasional. Maka menurutku, ia adalah gadis tinggi yang ramping.
Ia secantik kembang di padang bakung yang merekah sempurna di tengah hamparan hijau. Matanya, yang bening seperti tatapan kenari muda, selalu menyiratkan kejujuran dan keluguan yang murni. Dibalik tatapannya yang jernih itu, senantiasa tersimpan siluet kepolosan yang tak ternoda oleh dunia. Setiap kali ia tersenyum, akan terjadi dua hal. Pertama, di pipinya akan terbentuk lembah yang dalam, lesung pipit yang memesona. Kedua, senyumnya memiliki kekuatan magis yang mampu menghentikan waktu; jarum jam seolah mogok, cecak di dinding terpana, dan semua mata tertuju padanya. Orang-orang terperangah, yang sudah melongo makin melebar lagi mulutnya, hingga batas paling maksimal yang diizinkan oleh rahangnya.
Namun yang paling menawan dari semua itu adalah bahwa ia tidak pernah merasa cantik, bahkan tidak peduli dengan kecantikannya. Sebuah kesederhanaan yang begitu langka, yang membuatnya semakin memikat. Bocah yang naif, begitu pendapatku pertama kali aku melihatnya. Ah, tidak, bocah naif yang cantik. Ia muncul di Klub Voli Cempaka ketika aku masih kelas satu SMP, dan tak perlu waktu lama baginya untuk menjadi primadona klub. Senyumnya yang tulus dan pesonanya yang alami membuat setiap orang di sekitarnya merasa terpesona, seolah keberadaannya adalah cahaya yang menerangi ruangan.
Pertama kali aku dan Faldi melihatnya pun kami juga gugup. Jujur saja, ia adalah gadis tercantik yang pernah kami temui. Tak berlebihan bila kami menatapnya, tak berkedip. Ia tersenyum. Parasnya bagaikan sebuah lukisan yang setiap goresannya bercerita tentang kecantikan yang abadi.
"Mita, itulah namaku!" Ialah yang memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepadaku. Tak mengherankan mengapa ia yang memperkenalkan dirinya terlebih dahulu sebab ia memang tak bisa diam macam gasing. Sejak kami bertemu, ia sudah menjadi sahabat dekatku dan Faldi.
Mita adalah orang yang baik dan ramah. Yang spesial dari dirinya adalah ia adalah tipe orang yang mulutnya tak bisa diam, seolah-olah ada peternakan kata di mulutnya. Ia adalah orang yang supel, gampang bergaul dengan siapa saja. Semua orang pun juga senang bergaul dengan gadis cantik yang ramah dan cerewet. Ia senang dengan sejarah, senang dengan dongeng, senang dengan kisah Mahabarata, Ramayana, dan kurasa favoritnya adalah kisah Rahwana, Rama, dan Sinta.
"Tidakkah kau tahu betapa absurdnya kisah cinta mereka?" Tanyanya padaku suatu ketika. Cinta memang absurd, sebuah pengetahuan umum yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah manapun.
Ayahku adalah seorang dokter yang juga nasionalis dan berbudaya. Ia memiliki lemari rak buku yang besar. Disana, selain dari pelbagai buku kedokteran dan buku-buku lainnya yang mungkin tak akan pernah kupahami isinya, adapula buku tentang masa pemerintahan orde lama, orde baru, reformasi, ataupun kisah seorang pensyair tanah air, Wiji Thukul, Chairil Anwar, kisah pahlawan macam Bung Tomo, dan adapula hikayat-hikayat klasik, kisah seribu satu malam. Salah satu yang kubaca adalah kisah mahabbarata yang telah ku khattamkan puluhan kali. Aku hendak menjawab sebelum ia akhirnya kembali menyerocos.
"Rahwana begitu mencintai Sinta. Ia rela menyabung nyawanya demi Sinta!" Ia melanjutkan dengan berapi-api. Aku sebenarnya sudah tahu kisah cinta yang 'hampir' berbalas dari Rahwana dan Sinta. Hanya saja demi kesantunan, kudengar saja apa yang hendak gadis cantik itu katakan.
"Sayangnya Rahwana adalah seorang Raja yang dikenal dengan keburukannya bersikap. Rahwana merupakan anak dari hubungan gelap Resi Wisrawa dan Dewi Kaikesi. Anak haram, tuduh orang-orang dengan kejamnya. Ia terlahir sebagai makhluk setengah raksasa setengah brahmana. Konon, ia terlahir dengan sepuluh kepala. Sepuluh kepalanya itu memiliki kekuatan-kekuatan yang hebat dari kesepuluh tokoh tersebut" Ia menjelaskan panjang lebar. Setiap ia menjelaskan, tangannya selalu bergerak, menunjuk, melambai, seolah-olah tangannya itu juga bercerita. Mita adalah tipikal orang yang jika sudah dewasa nanti akan mendidik anaknya dengan dongeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Gravitasi
Science FictionBahkan sebelum aku hafal betul nama panjang dari ayahku, lelaki itu telah memberikanku sebuah bola, bola yang mungkin tak akan pernah kulupakan. Sebuah bola dengan warna kuning, biru, dan putih. Kemudian, di tengahnya tertulis kata dengan gaya yang...