Jadwal tes memisahkan kami dari Mita. Gadis berparas ayu itu, mengikuti tes psikologi terlebih dahulu. Sedangkan kami, aku dan Faldi, memutar haluan menuju tes kesehatan.
Aku tak begitu senewen dengan tes kesehatan. Tidak ada yang menakutkan kurasa di tes kesehatan ini. Mungkin ada sedikit di tes darah. Jarum tusuk yang menurutku lebih besar dibanding ukuran aslinya membuatku panas-dingin. Faldi pun kulihat demikian, meski ia berusaha menutupinya dengan cengar-cengir macam kambing hendak kawin. Selain tes darah itu, kami tidak menemukan adanya kejanggalan di tes ini. Semua berlalu secara damai, tentram, tanpa anomali, dan tak ada klimaks nya sama sekali.
"Kencing kau kuning, tuh!" Ucap Faldi ketika aku membawa tabung kecil berisi urine ku. Aku mendengus.
"Berisik, kencingmu pesing! Mau muntah aku!"
"Kencingmu bau ketek!" Kami sudah akan memasuki masa SMA, tetapi kami seringkali mempermasalahkan hal remeh temeh yang biasa dipermasalahkan oleh anak SD. Itulah mengapa Mita seringkali menganggap kami sebagai laki-laki yang tak becus dalam melakukan beberapa hal.
"Bro..." Sahut salah seorang berwajah dekil di depan kami. Kuamati dari wajah dan caranya berjalan. Hanya dua detik memandangnya, langsung dapat kunilai bahwa anak di depanku ini adalah seorang perokok berat. Mungkin juga ia seorang pemabuk. Bulu hidungnya yang kebanyakan rontok itu pasti karena ia adalah penghisap lem kelas kakap. Rambutnya yang keriting dan kaku itu pasti karena rambutnya yang sering disemir dengan pewarna murahan. Jalannya yang pengkor itu pertanda bahwa kemarin malam ia terlibat pertempuran dengan geng motor. Ia menatapku tajam. Aku juga menatapnya tajam. Aku sudah terbiasa dengan orang-orang seperti ini. Tubuhnya kurus, tak begitu tinggi, aku dapat menghajarnya dengan satu pukulan jika ia hendak mencari perkara. Tidak, kuatur skenario dulu.
Skenario pertama, ia mendatangiku, menarik kerahku. Sebelum ia sempat buka mulut, aku hajar terlebih dahulu ulu hatinya. Ia akan terbungkuk-bungkuk kesakitan, kemudian kuselesaikan dengan hook ku yang mengenai dagunya. Ia pingsan, aku menang. Jika ia masih dapat bangkit, kukeluarkan jurus pamungkasku, salto seperti barongsai yang pernah kulihat di salah satu perumahan hokkian. Cincai.
Skenario kedua, ia mendatangiku, menarik kerahku, mengancamku "Kamu kalau berani tak habisi!"
"Oh"
"Kamu sok jagoan tak jotos!"
"Oh"
"Hajar!"
Ciat! Buak! Buk! Buak! Buk!
"Ampun! Tadi saya hanya bercanda!" Kata orang itu memelas. Pelipisnya bengkak karena terkena overhand hook ku, knockout.
"Baiklah."Skenario ketiga.
"Wah, kamu pasti Pangeran keturunan Sultan Jogja, Harist Mujahiddin itu, ya!? Sudah kuduga Anda begitu tampan!"Belum sempat aku memikirkan skenario ke empat, ia sudah berdiri di hadapanku. Matanya yang tadi menatap tajam lebih rileks. Namun mataku masih mengancamnya. Bertahun-tahun berada di dunia gelap para remaja membuatku was was dengan sebuah raut yang palsu, kamuflase dalam bertingkah. Ia tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang rapi namun kuning. Aku tak menyangka, wajah berandalannya berubah menjadi menyenangkan. Benar kata orang bijak bahwa kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilannya.
"Bro, ingat aku gak?" Tanyanya polos.
Aku mengamatinya lekat-lekat. Faldi pun melakukan hal yang sama. Meski telah memutar memori hingga batas ingatan, aku tidak mengenalinya. Aku mungkin pernah melihat orang ini sekali, waktu aku berdesakan dengan ratusan calon pendaftar lainnya. Faldi pun kurasa juga melihatnya kala itu. Namun kami tak pernah kenal anak yang sedang meringis seperti kuda lumping ini. Siapa orang berandalan ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Gravitasi
Science FictionBahkan sebelum aku hafal betul nama panjang dari ayahku, lelaki itu telah memberikanku sebuah bola, bola yang mungkin tak akan pernah kulupakan. Sebuah bola dengan warna kuning, biru, dan putih. Kemudian, di tengahnya tertulis kata dengan gaya yang...