Kurasa, tak begitu sulit bagiku untuk menjelaskan ibuku yang berwatak keras itu. Ibu bukanlah tipikal seorang ibu lemah lembut yang sering muncul di sinetron azab anak durhaka. Ibu adalah seorang wanita yang mendidik anaknya dengan prinsip religius yang militan. Ia sukar untuk memuji anaknya, namun enteng dalam mengkiritik. Kritikannya adalah luapan emosinya yang sarat akan argumen yang tidak hanya empiris namun juga teoritis dengan presisi yang akurat sehingga semua orang yang dicercanya habis-habisan mulutnya akan terkunci seperti kena tambal lem castol. Yang lebih mengerikan dari semua itu, mata ibu seolah-olah hendak meloncat keluar ketika ia sedang panas-panasnya. Ibu adalah tipe orang yang jika ia marah dapat membuat orang tertunduk diam macam tiang gawang. Aku yang bertahun-tahun sebagai mangsa empuk luapan emosi ibu sudah menguasai ilmu patung sehingga jika ibu menggempurku habis-habisan pun aku tetap akan diam macam batu.
Meski sumbu emosinya pandai meledak, ibu adalah seseorang yang telah menjalankan kewajibannya sebagai orangtua dengan baik. Ibuku adalah lulusan farmasi UI dengan rekor yang cemerlang selama masih menjadi mahasiswa: summa cumlaude. Dengan keahlian yang dimiliki oleh ibu, dengan mudah ia dapat melanjutkan beasiswa ke luar negeri, melakukan riset dan penelitian, atau paling tidak membuat apoteknya sendiri dan menjadi kepala apoteker. Namun ibu malah melakukan manuver tak terduga. Ia mengikuti program pendidikan guru selama setahun, kemudian menjalani hidupnya sebagai seorang guru kimia. Alasannya adalah ia suka mengajar, suka memarahi, dan suka mendidik.
Di rumah, tidak ada pembantu. Itu karena ibu ingin menjadi fondasi dalam rumah tangga. Ibu adalah seorang wanita yang hidupnya hanya berkutat pada sekolah, buku, dan keluarga. Ibu menolak untuk mendatangkan pembantu ataupun asisten rumah tangga meski di usianya yang sudah tidak muda lagi ia sering digempur oleh perasaan lelah. Katanya, biarlah ia lelah. Lelah di sekolah ataupun di rumah ia rasakan sebagai euforia kemenangannya yang gemilang dalam menjalani kariernya sebagai seorang guru dan ibu rumah tangga. Idealis, sungguh idealis.
Menurutku, ibu adalah seorang wanita yang cantik. Ungkapan bahwa orang yang sering marah akan cepat tua hanyalah sekedar teori sok tay orang udik. Ibuku masih tetap cantik di usianya yang hampir lima puluh tahun. Kutaksir ibu dulu waktu masih muda mirip dengan Siti Nurhaliza saat remaja. Ayahku dulu pernah bercerita bahwa waktu masih muda dulu, ibu adalah 'kembang' yang lihai membuat hati laki-laki berdegup kencang. Namun ibu bagai mutiara di dasar lautan. Indah namun tak kunjung di dapatkan. Dengan lelaki tampan ia tak hirau. Dengan lelaki pandai ia tak acuh. Dengan lelaki yang tampan dan pandai pun ibu tidak peduli. Tak ada ombak tak ada angin ia kepicut pada ayah yang merupakan laki-laki dengan penampilan kampungan. Usut punya usut, ibu adalah seorang perempuan yang gampang jatuh hati dengan seorang lelaki yang religius dan pekerja keras. Ayahku salah satu contohnya.
Ayah tak ubahnya kakekku, Musini. Ia lahir di sebuah kampung yang bahkan tak ada seorang pun seantero Jawa Tengah yang tahu nama kampungnya. Ayah adalah seseorang yang sering gugup. Dulu ia adalah seorang yang latah, tabah, dan miskin makan tanah. Ayah pun adalah orang yang tidak begitu mengerti apa yang disebut cita-cita. Dulu waktu SD, ayah berkata bahwa ia ingin menjadi pulisi. SMP lain lagi. Terinspirasi dari Jim Morrison, vokalis legendaris dari grup band The Doors, ia bercita-cita menjadi penyanyi. Ia ingin membuat band dengan aliran rock dan sedikit gothic dengan sedikit cita rasa Nusantara: Dangdut. Kalau tidak, jadi musisi jalanan di pinggir Malioboro pun cincai. Masuk SMA, ia yakin bahwa panggilan hidupnya menjadi atlet voli. Ia yakin dengan hal itu karena menurutnya lompatannya macam belalang hendak kawin. Namun ternyata, ia lebih jatuh cinta kepada dokter di kampungnya yang telah memberikan pengobatan secara sukarela kepada warga yang menderita berbagai macam penyakit. Dokter Budi namanya, adalah dokter muda yang disegani dan dielu-elukan oleh warga kampungnya yang gagap akan ilmu pengetahuan. Pamornya bahkan mengalahkan seorang biduanita paling bohai sekalipun. Ayah berpikir suatu ketika banyak orang yang mengelu-elukan namanya layaknya superhero. Ayah memutuskan untuk hidup dengan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Aih, apa sih hal yang lebih baik dibanding menolong sesama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Melawan Gravitasi
Ciencia FicciónBahkan sebelum aku hafal betul nama panjang dari ayahku, lelaki itu telah memberikanku sebuah bola, bola yang mungkin tak akan pernah kulupakan. Sebuah bola dengan warna kuning, biru, dan putih. Kemudian, di tengahnya tertulis kata dengan gaya yang...