01. Luka

49 3 0
                                    

Rhea

Ingin sekali aku melemparkan meja ini ke wajah cowok yang hanya berjarak lima langkah dariku itu. Sayangnya, ini tidak semudah yang aku bayangkan karena : 1. Aku tidak mempunyai kekuatan super untuk mengangkat meja, 2. Kalaupun bisa, aku harus membayar untuk meja yang kurusak, 3. Aku sangat mencintainya.

Lamunanku buyar saat cowok itu menatap ke arahku. Seketika itu juga aku memalingkan wajah dan melangkah ke luar kelas dengan kaki mengentak-ngentak.

Aku tidak peduli dengan apa yang teman-teman dan guru pengajar pikirkan tentang tindakanku itu. Mungkin bagi sebagian orang, aku kebelet untuk pergi ke toilet. Sebagian lagi mungkin berpikir ini adalah salah satu dampak PMS. Tapi, ini lebih buruk dari itu semua.

Bagaimana mungkin aku bisa tahan berada satu kelas dengan orang yang dulu sangat kucintai, tapi sekarang saat aku menatap dirinya aku harus merasakan sakit?

Mungkin bagi beberapa orang pacaran dengan teman sekelas adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku dulunya juga berpikiran hal yang sama. Namun, masihkah mereka mengatakan dirinya senang akan hal itu saat hubungannya telah berakhir?

Jadi apa yang akan kulakukan setelah keluar dari kelas dengan sikap kekanak-kanakan? Aku akan pergi ke ruang uks dan mengatakan bahwa maagku kambuh. Mungkin kalian mengatakan bahwa sebagai seseorang yang berlagak sakit, aktingku payah. Tapi kenyataan berkata lain. Cara itu selalu terbukti ampuh. Entah itu karena para guru terlalu mudah dibohongi atau karena mereka kasihan dengan diriku yang terlihat tidak punya semangat hidup. Aku lebih yakin dengan opsi kedua itu.

Sekarang yang ingin kulakukan di tempat ini hanyalah menangis dan berteriak. Tentu saja hal itu tidak bisa kulakukan dengan adanya murid-murid yang sakit di tempat ini-kecuali jika aku ingin disangka kerasukan.

Aku terus saja mendapat masalah sejak aku putus dari orang itu-aku sudah berjanji untuk tidak menyebut namanya lagi. Nilai-nilaiku menurun dan kesehatanku memburuk. Bahkan orang tuaku pernah mengatakan bahwa aku sama parahnya dengan pengidap narkoba. Aku candu terhadap dirinya, dan saat aku tidak mendapatkannya maka aku akan mengalami sesuatu yang disebut sakaw.

Aku mencoba menutup mata dan berharap rasa kantuk menyerangku. Aku ingin semua ini cepat berakhir. Harapanku lenyap begitu saja ketika aku menyadari teman-temanku sudah mengitari ranjang tempat aku berbaring.

"Biar gue tebak, masalah si yang-tidak-boleh-disebut itu lagi, kan?"

Belum sempat aku menjawab, Rizka, temanku yang lain sudah berucap seraya bercanda, "Menurut lo, apa lagi yang bakal bikin Rhea bertingkah kayak tadi coba. Sudah pasti ini tentang cowok itu."

Ami, temanku yang pertama bertanya mangut-mangut di tempatnya berdiri.

Bertambahlah sudah penderitaanku. Berkali-kali kukatakan kepada teman-temanku ini bahwa aku tidak ingin memperpanjang masalah ini dengan terus membicarakannya. Hal ini hanya menambah rasa sakitku.

"Lihat nih, Mi. Rhea masih nggak mau bicara sama kita," ucap Rizka kesal.

"Ya, gue tahu lo sekarang lagi sakit hati. Tapi jangan sampai lo mogok ngomong sama kami juga," Ami mengatakannya dengan sangat halus, seakan-akan perkataanya bisa membuat tubuhku pecah berserakan.

"Oke, Ya. Gue harap lo mau gabung lagi sama kita semua di kelas. Kami kangen sama lo yang dulu."

Aku hanya bisa menatap mereka pergi tanpa bisa melakukan hal lainnya. Aku hanya ingin sendiri hingga waktunya tiba.

***

Saat aku tiba di rumah, kulihat ayahku sedang duduk di sofa, menonton salah satu acara olahraga di TV.

AbnormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang