02. Sadar

20 2 3
                                    


Rhea

Beberapa hari ini agenda Bertemu Taman dan Bersandar pada Pohon menjadi salah satu kegiatan yang paling kuminati selain memikirkan kebersamaanku dengan cowok itu. Dan itu semua berakhir ketika sebuah surat panggilan dikirimkan kepada orang tuaku hari ini.

Mereka sangat terkejut karena Putri Kesayangan mereka berubah menjadi seseorang yang sering bolos sekolah. Dan alasan utama dari tindakannya itu hanyalah putus cinta.

Sepulang mereka dari sekolah untuk membicarakan tindakan kurang baikku itu, ayahku menceramahiku tentang masa depanku yang akan berakhir suram jika terus begini.

Ingin sekali kuteriakkan kepada mereka, tunggu sebentar, siapa yang bilang bahwa Rhea menginginkan masa depan? Rhea hanya ingin mati!

Ya, hanya satu kata itu yang menurutku bisa menghentikan rentetan kesedihan ini. Aku sudah mengetahui dengan pasti bahwa cowok itu tidak akan pernah kembali. Dia hanya akan menjadi potongan cerita yang merusak kisah indah hidupku. Cowok itu seharusnya melakukan perannya sebagai pangeran, tapi dia lebih memilih untuk meninggalkan diriku, dan menjadi karakter yang mungkin dibenci orang-orang.

Jika dia bisa menjadi penyelamat hidupku, lantas kenapa dirinya lebih memilih untuk menjadi seorang karakter antagonisnya? Satu hal yang pasti dari pertanyaan itu adalah aku tidak tahu apa jawabnya.

"Apakah jumlah anak laki-laki di dunia ini sesedikit itu, Rhea?"

Pertanyaan itu lebih terdengar seperti penegasan daripada sebuah pertanyaan.

"Tidak, Yah. Mereka sangat-sangat banyak jumlahnya," jawabku tanpa menatap wajahnya.

"Lantas kenapa kamu melakukan semua ini hanya karena anak itu!" aku bisa mendengar nada putus asa di dalam suaranya yang berat itu.

Aku menghela nafas sebelum akhirnya menjawab, "Masalahnya bukan ada pada jumlahnya, Ayah. Akulah masalahnya."

Kutatap mata ayahku. "Penglihatanku buta terhadap mereka semua."

Sorot matanya yang tajam tiba-tiba berubah menjadi sarat akan kesedihan. Kata yang baru saja kuucapkan tidak hanya menyakiti diriku, tapi menyakiti ayahku juga.

Sial, pikirku. Seharusnya hanya diriku yang terluka. Sekarang aku mulai mengacaukan kehidupan orang tuaku, menyeret mereka ke dalam arus kesengsaraanku.

Jika terus berlama-lama di sini, aku pasti tidak akan bisa membendung air mataku. Sudah cukup aku menyakiti hati orang tuaku dengan tindakan-tindakan bodoh. Tidak perlu lagi kutambah dengan menunjukkan betapa rapuhnya diriku saat ini.

Aku berlari menuju kamar, menutup pintu dengan selembut yang aku bisa. Kudengar ketukan di pintu kamarku. Lalu terdengar suara lembut perempuan.

"Bicaralah dengan Bunda kalau kamu udah cukup tenang, Ya."

Kucoba untuk menenangkan diri. Kupejamkan mataku dan kutarik nafas dalam-dalam. Malam ini aku harus meminta maaf kepada orang tuaku, dan berjanji tidak akan bolos sekolah lagi. Tapi, itu artinya aku harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan Ami dan Rizka. Belum lagi bertatap muka dengan cowok itu.

Oh, besok akan menjadi hari yang sulit. Andai saja aku bisa menekan tombol kembali di hidup ini, aku lebih memilih untuk tidak mengenal cowok itu.

Tiba-tiba mataku tertuju pada benda yang terletak di atas meja belajarku. Sebuah kaca mata. Benda itu merupakan salah satu dari bagian masa laluku. Kaca mata itu juga yang menjadi saksi dari pertemuanku dengan cowok itu.

Mataku tidak sakit. Bahkan kepalaku pusing saat memakainya. Kaca mata itu membuat penampilanku menjadi lebih tidak menarik, dan itulah tujuanku memakainya. Tapi entah bagaimana, cowok itu bisa melihat ke dalam diriku.

AbnormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang