04. Runtuh

13 1 0
                                    

Rhea

Sarapan pagi itu begitu sunyi, walaupun meja makan ini dipenuhi oleh kedua orang tuaku. Dampak dari tindakanku kemarin masih terasa sampai sekarang. Ibuku tampak lebih tenang sekarang. Tapi tetap saja perasaan bersalah menyelimuti pikiranku.

Aku harus meminta maaf, tapi kurasa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Setelah selesai sarapan, seperti biasa aku diantar ayahku pergi ke sekolah. Perjalanan ke sekolah juga berlangsung hening.

Barulah ketika aku sampai di sekolah, ayahku mengucapkan semoga hariku menyenangkan. Aku membalasnya dengan senyuman. Setidaknya kalimat itu cukup menenangkan hatiku.

Dengan waktu yang masih sekitar setengah jam lagi sebelum bel berbunyi, aku seperti biasanya memutuskan untuk pergi ke kantin.

Aku tidak menemukan Putra si Playboy di tempat biasanya dia berada. Sudah kuputuskan untuk mengganti panggilanku ke orang itu dari Cowok Pendengar ke panggilan barunya itu.

Pada saat pertama kali melihatnya aku begitu kagum dengan sikapnya yang menurutku langka. Di mana lagi kamu bisa menemukan seorang cowok yang menatap matamu lembut dan mendengarkan ceritamu dengan bersungguh-sungguh. Seakan-akan dirimu adalah mahkluk unik yang membuatnya penasaran.

Sayangnya semua citra yang pikiranku buat tentang dirinya rusak ketika mengetahui bahwa hampir setiap hari dirinya selalu ditemani oleh cewek yang berbeda-beda.

Oh, cowok-cowok, bisakah kalian tidak mengecewakan pandangan cewek tentang kalian saat mereka sudah terkagum-kagum pada dirimu? Pikirku.

Kuperhatikan murid-murid lainnya mulai berdatangan ke kantin, entah untuk sarapan, atau sekedar membeli beberapa cemilan. Namun, aku masih belum melihat kehadiran batang hidung orang yang bernama Putra itu.

Kuhabiskan minumanku ketika diriku mengetahui sebentar lagi bel berbunyi. Entah kenapa perasaan kecewa muncul saat aku tidak melihat kehadiran Cowok Playboy itu.

Aku memasuki kelas tepat saat bel berbunyi. Ami sudah menunggudi dekat tempat dudukku. Ketika aku sudah cukup dekat, dia mulai berbicara.

"Rizka nggak hadir hari ini, Ya. Itu anak katanya sakit."

Aku menatap Ami, dia tersenyum. "Wah, berarti lo kehilangan separuh diri lo, Mi!"

Sebenarnya aku ingin terdengar ceria dalam mengatakannya. Tapi, suaraku malah terdengar seperti orang yang baru selesai menangis seharian. Dan, dari yang kuketahui, Ami adalah seorang yang sangat hebat dalam membaca suasana hati seseorang.

"Lo baik-baik aja kan, Ya?"

Aku mengangguk, lalu menarik kursi untuk duduk. Aku tidak mempunyai teman sebangku, jadi kursi di sampingku hampir selalu kosong. Biasanya yang duduk di sana adalah Ami atau Rizka jika mereka sedang ingin membicarakan sesuatu denganku.

Dulu saat aku masih pacaran dengan cowok itu, dia selalu duduk di sampingku. Menjadi teman sebangku yang baik. Menjadi pendengar yang baik. Sekarang dia bersikap seakan-akan tidak pernah terjadi ikatan apa pun di antara kami berdua.

Tidak lama kemudian, Pak Aji, guru kimia kami memasuki kelas. Lalu dimulailah kegiatan belajar mengajar yang sebagian besar diisi oleh pertanyaan yang menurutku sebenarnya menyenangkan.

"Ada yang tahu apa sebutan untuk murid yang susah diatur?"

Kuperhatikan beberapa murid memegang keningnya, entah sedang berpikir atau mengalami sakit kepala.

"Menurut lo apa jawabannya, Ya?" tanya Ami.

Aku mengangkat bahu, "Lo tahu sendiri kan Pak Aji itu unik. Pertanyaan yang sebenarnya gampang aja maksa lo harus mikir."

AbnormalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang