A Mask

970 101 11
                                    









Ini adalah akhir pekan. Seharusnya adalah harinya bersama keluarga, teman, maupun pasangan. Bukannya bekerja banting tulang macam Haechan. Percakapannya ketika sarapan bersama Mark pagi ini adalah seperti ini,

"Kamu libur kan hari ini?"

"Tidak kak, restaurant akan butuh aku ketika akhir pekan seperti ini. Reservasinya saja sudah penuh."

Mark menghela nafasnya, sudah tidak berselera melihat sarapan berupa nasi goreng telur dadar buatan Haechan yang sebetulnya adalah favoritnya. Ia meneguk airnya tanpa melepas pandangannya pada Haechan yang tengah makan dengan terburu.

"Pelan-pelan, nanti tersedak."

"Aku harus datang lebih awal, kakak akan mengantarku kan?"

Mark mengangguk saja, toh hari ini memang dia libur bekerja. Beginilah dilemanya mereka. Mark bekerja sebagai editor majalah bisnis, sedang Haechan adalah pegawai restaurant biasa. Ya memang, dia adalah karyawan yang sangat diandalkan disana. Haechan adalah kepala koki, sebutan kerennya adalah Chef Haechan. Senin sampai Jumat Mark akan bekerja sampai sore hari. Sedangkan Haechan jadwalnya tidak menentu, kadang dapat shift pagi yang enaknya adalah Mark bisa menjemputnya lalu mereka akan menikmati waktu malam sambil menonton film kesukaan Haechan. Tetapi tidak enaknya adalah ketika Haechan mendapatkan shift malam. Ia akan berangkat ketika bahkan Mark belum mencapai waktu jam pulang kerja. Dan pulang saat Mark sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Lebih menyedihkannya lagi adalah, ketika pagi Haechan enggan bangun. Berakhir Mark yang akan sarapan sendirian, dengan telur mata sapi katarak gagal juga secangkir kopi yang terlalu banyak gula.

Begitu juga hari ini.

Padahal Haechan sudah berjanji, minggu lalu ia akan mengambil cuti untuk menemani Mark ke festival seni di pusat kota. Janji tinggalah janji. Salah satu anggota dapurnya mengalami usus buntu dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Yang artinya, dapur akan kekurangan satu staff. Dan itu berarti Haechan harus siap lembur sampai malam. Mark sebenarnya enggan pergi kalau Haechan tidak ikut.

Buat apa bersenang-senang sendirian? Apalagi tanpa Haechan disisinya.

"Kakak pergi saja, nanti sore aku akan menyusul." Katanya melalui sambungan telepon. Adalah sekalimat penuh kebohongan. Karena pada kenyataannya Haechan pasti akan pulang terlambat.

Jadi, disinilah Mark. Di tengah keramaian, namun dia sendirian.

Orang-orang disana banyak tertawa, bahagia, senang-senang. Karena ini adalah festival seni yang diadakan tiap tahun di kota tempat mereka tinggal. Andai Haechan bersamanya, mungkin dia sudah sangat antusias. Padahal banyak orang bilang, festival seni tahun ini adalah festival terbaik sepanjang tahun. Tetapi Mark sama sekali tidak merasakannya.

Disana, ada banyak jajanan. Yang mungkin Haechan bakalan suka. Haechan sangat suka kuliner pinggir jalan. Karena dia itu bekerja di restaurant dengan pelanggan para orang kaya, jadi dia sudah tahu makanan-makanan mahal. Sudah tahu rasa dan cara membuatnya, Haechan sudah tidak lagi berselera dengan makanan mahal. Mark banyak-banyak bersyukur karenanya.

Sudah hampir sore, dan juga Mark yang sudah tidak berselera. Jadi ia memilih pulang. Tapi sebelumnya, dia melihat ada pedagang topeng dengan berbagai macam karakter ataupun hasil karya seni si pedagang itu sendiri. Ada satu topeng yang menarik perhatiannya. Mungkin bisa menjadi hiburannya untuk Haechan. Mark tersenyum kala pertama kali melihatnya. Ia langsung membelinya.

Haechanie

Ada kabar baik!
Aku pulang lebih awal. Yeay!


Juga, kabar baik untuk Haechan. Yeay!

Mark buru-buru kembali ke apartement mereka. Butuh waktu dua puluh menit untuk Haechan sampai ke apartemen, yang itu artinya adalah waktunya berbarengan dengan Mark kembali.

Mark menunggu Haechan, tidak jauh dari halte. Saat itu pukul delapan malam. Belum terlalu malam, tetapi suasana jalanan menuju apartemen mereka masihlah sepi. Karena kebanyakan penghuninya adalah para pekerja malam, atau yang pulangnya selalu larut. Mungkin hanya Mark yang sudah tiba di rumah jam empat sore. Dia melihatnya, Haechan turun dari bis dengan senyum cerahnya. Bahagia mungkin, bisa menghabiskan sisa hari bersama kekasihnya. Mark ikut tersenyum melihatnya. Dilihatnya Haechan tidak memakai pakaian yang cukup tebal, padahal ini sudah masuk musim gugur. Mark ingin mengejarnya lalu memberikan jaketnya, namun nanti usaha menghiburnya sia-sia. Jadi dia tahan sebentar.

Haechan berjalan terburu, Mark mengikutinya diam-diam di belakangnya. Kekasihnya itu belum menyadari, sampai dia tiba untuk melewati sebuah taman. Taman tersebut memang sedang dalam tahap renovasi, jadi beberapa lampunya banyak yang mati. Penerangannya sangat kurang, Haechan yang sedikit tidak nyaman menyalakan lampu senter pada ponselnya. Mark masih mengikutinya di belakang, hingga lelaki manisnya menghentikan langkahnya. Mark ikut berhenti, dia masih pada posisinya. Tetapi kemudian Haechan melanjutkan perjalanannya, begitu pula dengan Mark. Mark mempercepat langkahnya, Haechan juga.

Disinilah, Haechan mungkin sudah tahu bahwa ia sedang diikuti. Namun dia tidak tahu kalau yang mengikutinya itu adalah kekasihnya. Jadi ketika Mark sudah hampir menyentuh pundaknya, Haechan berbalik secara tiba-tiba untuk meraih tangan Mark lalu diputarnya hingga Mark berbalik pada posisinya. Mark berteriak, wajahnya masih tertutup topeng. Haechan masih tidak tahu.

"Apa maumu?!" Tegasnya setengah berteriak. Ia menambah kekuatannya, tangan Mark semakin terpelintir hingga terdengar suara gemeretak.

Mark berteriak panjang setelahnya, diikuti Haechan yang melempar tangan Mark yang malang. Kekasihnya itu terjatuh, dengan topeng yang masih terpasang di wajahnya. Haechan menutupi bibirnya dengan kedua tangannya.

"Apa yang kakak lakukan?!"

Dan berakhirlah mereka disini, di rumah sakit dengan Mark yang masih dengan wajah menangisnya. Habis dibuat patah lengan kanannya. Haechan juga ikutan menangis, wajahnya basah. Tetapi kemudian Mark tersenyum, sebelah tangannya yang tidak dibebat menghapus air mata Haechan yang tidak mau berhenti turun.

"Sudah jangan menangis, aku tidak apa."

"Aku kira kakak itu preman atau apa. Aku kaget sekali," Haechan masih terisak "maafkan aku kakak. Tanganmu jadi patah." Ia merengek lagi, tangisannya semakin kencang. Seperti bayi yang kehilangan botol susunya. Mark kan jadi merasa bersalah.

Sebelah tangannya membawa kepala Haechan kepada dadanya. Membelai rambut kecoklatan yang halus bagai rambut bayi itu, "jangan menangis. Kakak tidak apa."

Tidak tahu kalau dia harus marah, atau berterima kasih karena tangannya patah. Haechan mengambil cuti selama sepuluh hari untuk merawat kekasihnya. Mark tersenyum dari ujung ke ujung setiap harinya. Haechan membantunya dalam segala hal. Makan, minum, mengerjakan soal, menekan tombol remote televisi, melepas pakaian, sampai akhem- mandi.

Dia bukanlah seseorang yang kidal. Jadi Mark memang kesulitan dengan tangan kirinya. Untungnya, Haechan rela menjadi tangan kanannya. Tidak masalah kalaupun Haechan menganggap ini sebagai rasa bersalahnya. Yang penting hal sepele pun akan Haechan lakukan untuk Mark. Seperti,

"Haechanie, aku kedinginan."

Haechan akan tarik selimur Mark sampai leher.

"Haechanie, aku mau ganti kaus kaki." Yang padahal kaus kakinya baru ganti, dan tidak ada masalah. Haechan tanpa mengeluh segera menggantinya.

"Haechanie, tampaknya ranting di jendela itu menghalangi pemandanganku." Masih dengan senyum, Haechan menghubungi pihak gedung untuk memangkas dahan pohon tersebut.

"Haechanie," suara Mark sedikit pelan saat memanggilnya. Namun Haechan tetap menghampirinya dengan senyum, "aku mau cium." Bisiknya, yang segera ditarik tengkuknya oleh Haechan dan dilumatnya bibir tipis Mark. Haechan memang sangat-sangat jarang memberinya ciuman duluan, biasanya memang dia yang terlebih dahulu bertindak.

Kan kalau seperti ini, aku dengan sangat senang hati berlama-lama untuk sembuh.










MarkHyuck Mini StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang