Rain.Gue nggak bilang nama gue spesial. Bahkan tanpa perlu ngubek-ngubek primbon juga orang tahu artinya: hujan. Masalahnya, gue bisa itung pakai jari satu tangan siapa aja yang manggil gue pakai nama itu dan dia salah satunya. Salah satunya dan mungkin satu-satunya orang mantan penghuni sekolah yang suka manggil pakai nama tengah itu.
Dia, Djenar Nicholas Rajendra, atau yang lebih akrab dipanggil dengan nama Idjon, salah satu murid cowok populer semasa sekolah yang deskripsinya akrab ditulis dalam karakter utama di buku-buku fiksi remaja: ganteng, tinggi—tinggi banget, anggota tim basket, dan didamba sejuta umat. Minus cold personality aja sih, gue pikir dia bukan cowok tipe kulkas yang bikin cewek jejeritan macam di tipikal drama-drama tujuh belasan.
He's transparent. Bukan stoples kaca. Bukan. Maksudnya, dia cowok yang nggak suka basa-basi, apa adanya, kadang nyebelin, tapi deep down, dia baik.
And the point is, he was my crush.
Was.
Artinya dulu, tapi gue pun kaget lihat dia sekarang. Di sini. Di hadapan gue. Dengan santainya narik kursi di seberang gue dan duduk gitu aja.
Untuk beberapa detik gue sempat melongo, ngelihatin dia naruh handphone-nya di meja dan sekali lagi dia senyum.
"Baik ..." jawab gue, masih kaget bahwa kita akhirnya ketemu setelah enam tahun. Ketemu langsung. Bukan cuma tau kabar dia dari feed Instagram pribadi yang jarang banget gue buka.
Dan ternyata Djenar nggak banyak berubah. Mungkin makin tinggi? Tapi dia keliatan lebih mature daripada foto dia di Instagram. Iya, itu berarti dia pun lebih ganteng aslinya. Dan gue nyumpahin diri sendiri karena ternyata sosok dia masih bikin gue deg-degan. Gue nggak suka begini ini.
"Lama nggak ketemu ya, Rain, dari kita lulus nggak sih?"
Dan gue masih nggak suka cara dia natap gue tepat di mata.
"Iya ya?" Gue jawab sekenanya. Pasang muka bego.
"Asli gue nggak pernah lihat lo bahkan pas reuni akbar tahun kemaren. Lo di mana sih sekarang? Masih di Surabaya?"
Iya, dia tau gue kuliah di sana. Dia pernah DM gue dulu, gue inget.
"Iya, gue stay di sana."
"Betah ya?"
Gue juga masih nggak suka cara dia ngomong sambil senyum yang bikin ekor matanya berkerut. Because that's exactly what makes something inside me crushed back then.
"Gitu deh."
"Sibuk apa sekarang?"
"Gue? Kerja lah. Kebetulan aja ini lagi ambil cuti, jadi gue pulang ke sini."
Dia cuma bergumam sambil menaruh dua lengannya di meja.
"Lo sendiri?" Gue juga masih gugup ternyata buat berhadapan sejarak itu dengan Djenar. Tapi karena nggak mungkin gue dorong dia ke Mars, jadi gue ngalah dan menarik sedikit punggung gue ke belakang.
Djenar ketawa. Dia ngetawain pertanyaan gue, gue tau. Harusnya emang gue nggak perlu basa-basi karena pertanyaan gue sendiri kelewat basi dengan realita bahwa rasanya nggak ada yang nggak tau siapa Djenar Nicholas. Dia udah jadi selebgram dari lama. Dan bahkan tanpa perlu gue cari tau, muka dia kadang muncul aja di kolom explore media sosial mana pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush, Crushed
Fanfiction"What we call a crush deserve a more fitting name: crushed." - Blonote, pg. 94 Miracle menjalani hidupnya dengan cukup baik selama 8 tahun terakhir dia tinggal di Surabaya. Bahkan, dia menyebut, jauh lebih baik daripada ketika dirinya masih berseko...