Hari Rabu itu harusnya gue pergi ke tempat les.Dari Senin, gue cuma berangkat tapi gue nggak ke sekolah. Hari Selasa dan sampai hari itu juga. Alasannya sepele: gue nggak pengen ketemu Rere. Dan gue nggak ke tempat les jelas karena gue nggak mau ketemu Djenar. Nggak tau mau sampai kapan, asal belum dapat panggilan dari sekolah, rasanya gue males pergi.
Gue habiskan sore di mana gue harusnya ada di tempat les dengan ngubek-ngubek pasar buku Palasari. Gue abaikan chat dari Rere, bahkan dari kemarin, yang menanyakan alasan gue nggak masuk sekolah. Selain itu, gue juga baru sadar, Djenar nggak dm gue sama sekali sejak Jumat. Gue sempat log out beberapa hari ini, tapi ternyata nggak ada dm masuk satu pun. Terserah, gue udah kepalang malu.
Satu-satunya chat yang akhirnya gue baca adalah dari Erik. Yang gue yakin dia paling disuruh sama Rere. Sebangsat-bangsatnya Erik, dia pasti nggak bakal bilang enggak kalau Rere yang nyuruh. Dia kasih tau gue kalau besok ada ulangan Sejarah sama Bahasa Inggris. Gue bales, gue ucapin makasih udah kasih tau.
Besoknya gue masuk sekolah. Tapi gue sengaja datang terlambat. Absen gue di-alpha tiga hari. Iyalah, gue nggak kasih surat ijin.
"Mangkal di mana lo, Mir, tiga hari nggak sekolah?" celetuk Dito, disusul sahutan-sahutan yang nggak enak banget di kuping.
Gue cuma diam dan duduk di bangku gue. Menoleh ke Rere aja enggak. Dan kayaknya Rere segan buat ngajak gue ngomong. Bagus sih, semoga aja sadar kalau dia salah.
"Sok cantik banget diajak ngomong nggak jawab," timpal Cilla dan di-boo sama anak-anak lain.
Gue udah muak sama sekolah. Gue hampir meninggalkan meja tapi keburu ada guru jam pelajaran berikutnya memasuki kelas.
Jam istirahat, gue cari Siska buat ngajak dia tukar jadwal jaga UKS hari Selasa. Siska langsung setuju dan kita berdua ketemu Bu Retno buat minta persetujuan.Akhirnya kita saling tukar dan Siska bahkan nggak keberatan buat jaga lagi hari Jumat meski dia udah jaga pas hari Selasa. Untungnya dia juga nggak bertanya kenapa gue minta tukar.
Gue nggak ngobrol sama sekali sama Rere. Kita duduk sebangku tapi gue anggap dia nggak ada. Gue juga menghindari tatap muka dengan Djenar, sempat hampir papasan tapi gue buru-buru balik badan dan melipir lari.
Rasanya tinggal tiga bulan aja berat banget buat gue. Pengen banget langsung UNAS biar gue nggak perlu lagi datang ke sekolah. Gue benci tempat ini.
Gue betah-betahin duduk di kelas. Atau kalau enggak, gue pilih pura-pura sakit dan pergi ke UKS. Hari Sabtu itu, gue bahkan sembunyi di UKS sampai pulang sekolah.
Gue menunggu sampai setengah jam setelah bunyi bel, baru kemudian gue jalan balik ke kelas buat mengambil tas.
Gue pikir kelas pasti udah kosong. Tapi pas gue masuk, ternyata ada Rere di sana. Gue cuma melempar pandangan sekilas ke dia, tanpa banyak omong, segera membereskan tas gue.
"Kamu udah nggak mau temenan sama aku, Mir?" tanya Rere pelan.
Gue tarik selempang tas dan gue tenteng di pundak.
"Cel, aku minta maaf ... iya, aku salah udah bilang gitu ke Djenar tempo hari."
Cuma di saat-saat serius, Rere bakal memanggil gue pakai nama rumah.
"Karena itu nama kesayangan orang rumah ke kamu." Gue ingat Rere pernah ngomong gitu pas dia ikutan manggil gue Micel. Yang berarti dia pun sayang ke gue sebagaimana orang-orang di rumah. Keluarga gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush, Crushed
Fanfiction"What we call a crush deserve a more fitting name: crushed." - Blonote, pg. 94 Miracle menjalani hidupnya dengan cukup baik selama 8 tahun terakhir dia tinggal di Surabaya. Bahkan, dia menyebut, jauh lebih baik daripada ketika dirinya masih berseko...