VIII.

1.3K 207 64
                                    








Djenar mendengarkan cerita gue, cerita soal keseharian gue di Surabaya juga momen-momen yang bakal dengan senang hati gue bagi ke siapa aja tentang tahun-tahun yang gue lewati di kota itu, lengkap dengan segala suka-duka yang gue rasakan sebagai warga non-lokal.

Sambil menyangga dagu, sesekali dia ketawa menyimak pengalaman-pengalaman ajaib selama gue tinggal di sana.

     Selain itu, gue juga banyak tanya soal proyek film pendek yang dia kerjakan, juga soal isu sosial yang ingin Djenar angkat ke dalam film dan banyak hal lain. Aneh, kita ngobrol seolah dulu kita teman akrab.

     "Hm, sayang banget lo balik ke Surabaya hari Sabtu, bener hari Sabtu 'kan?" tanya Djenar akhirnya.

     "Iya, kenapa?"

     "Sabtu malem ini gue ada pameran foto."

     "Serius? Yah, gue balik hari Sabtu pagi tuh."

     "Tsk! Gue pengen ngundang lo dateng, Rain."

     "Hehe ... sorry deh, Djon, lain kali aja, gue janji."

     "Bener ya?"

     "Bener."

     "Awas lo balik nggak ngabarin gue."

     Kita bahkan nggak sadar udah dua jam duduk di situ, sampai gue lihat ponsel Djenar di dekat lengannya menyala.

     Djenar meraih handphone-nya dan menjawab panggilan itu sementara gue bersandar sebentar di kursi. Pegel.

     "Iya, lo udah nyampe mana? Hng, iya ini gue masih di sini ... ya udah, cepetan."

     Gue habiskan gelas kopi kedua yang gue pesan, lalu melihat ke jam tangan di pergelangan gue sendiri dan bertanya ke Djenar, "Lo sendiri lagi nggak ada kerjaan sekarang?"

     "Hari ini?"

     "Uh-huh."

     "Ini balik dari kerja tadi."

     "Ah."

     "Mau makan nggak?" tawar Djenar.

     "Haha ... Mama udah masak buat makan malem."

     "Bener juga, nyokap lo pasti kangen masakin lo."

     "Hehe ..."

     Djenar lalu menoleh keluar dan kembali memandang gue. "Lo mau ke mana abis ini?"

     "Balik sih."

     "Sendiri?"

     "Gojek banyak."

     "Haha ... sebel gue sama lo."

     Gue mencebik, akhirnya memasukkan buku gue ke tas. "Lo janjian sama temen?"

     "Iya, dia mau mampir ke sini, terus kita cabut."

     "Lama?"

     "Harusnya sih udah nyampe."

     "Ya udah, lo nungguin di sini apa di luar?"

     "Terserah sih," jawab Djenar, ikut bangkit dari duduknya, "Lo buru-buru amat, nggak kangen gue, apa?"

     "Dih, perasaan lo dulu nggak gombal, Djon. Ketenaran emang bisa nyulap orang jadi gombal gini ya?"

     "Hahaha ... sialan!"

     Dia mengikuti gue meninggalkan meja, bersamaan melangkah ke arah pintu kafe. Djenar menarik pintunya buat gue dan gue keluar lebih dulu. Dan baru aja Djenar melewati pintu, seseorang memanggil, "Idjon!"

Crush, Crushed Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang