Semua udah nggak sama. Atau gue rasa, udah nggak ada yang perlu diperpanjang lagi; soal Rere, soal Djenar. Semua udah balik sebagaimana mestinya.Buruknya, gue nggak bisa lagi seterbuka dulu ke Rere. Iya, gue bahkan nggak cerita apa pun ke Rere soal ke mana gue bakal melanjutkan kuliah. Waktu gue pergi buat mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, gue cuma bilang ke Rere gue pergi ke rumah kerabat. Gue udah putuskan buat kasih tau Rere setelah gue diterima di kampus pilihan gue.
Soal Djenar, kayaknya dia sendiri juga sibuk sama persiapan ujian masuk universitas. Kita jarang ketemu, tapi kita masih sesekali interaksi lewat Instagram. Pas kita nggak sengaja papasan di kantin belakang, gue sempat tanya dia mau masuk ke kampus mana. Dia bilang salah satunya ke ITB.
Gue udah nggak was-was sama sekali buat ngobrol sama Djenar, meski banyak yang heran gimana bisa Djenar temenan sama ampas kayak gue.
Dia juga dm gue pada malam sebelum UNAS dan gue hargai itu.
Good luck, Rain, buat besok! :)
— Fighting!!
Gue bertahan dengan sisa-sisa kejahilan anak-anak di kelas ke gue. Sampai akhirnya tiba di hari kelulusan, gue deg-degan setengah mati. Yang gue dengar, murid di angkatan gue semuanya lulus. Tapi tetep aja, gue nggak bisa tidur semalaman sebelum pengumuman kelulusan.
Dan hari itu, pegangan tangan sama Rere, kita sama-sama melihat di daftar nama siswa yang lulus angkatan itu, berdua saling berpelukan erat setelah menemukan nama kita tercetak di sana.
Nggak ada selebrasi khusus antara gue sama Rere. Kita berdua cuma saling gandengan tangan dan berjalan mengelilingi sudut-sudut sekolah. Dalam hati gue ketawa getir. Mungkin momen ini beda maknanya buat Rere. Dia bilang dia bakalan kangen tempat ini. Sementara gue enggak sama sekali. Tapi gue tetap menemani apa pun yang pengen dilakukan Rere. For last.
Gue juga nggak saling tukar tanda tangan di baju selain sama Rere, sebelum cewek itu pulang lebih dulu.
"Wah ... Amir, sini dong corat-coret sama kita, mau main kabur aja," ujar Erik, menghampiri gue yang baru keluar dari kamar mandi.
Sialan. Gue ditarik pelan buat gabung sama anak-anak kelas di pinggir lapangan.
"Terakhir ketemu Amir nih, pada nggak mau kasih tanda tangan, apa?" ujar Dito, memegangi pundak gue.
"Mau dong, mau, mau!"
"Lepasin, Dit!" Gue menepis tangan Dito risih.
"Hari terakhir jangan galak-galak kali, Mir," kata Cilla sambil menunjukkan kaleng Pylox di tangan.
Firasat gue udah nggak enak sama mereka. Dari gimana cara Dito dan Erik memegangi tangan gue sementara anak-anak bersamaan mulai mencoret-coret nggak cuma baju tapi juga kaki sama lengan gue dan menyemprotkan Pylox sekenanya.
Mereka ketawa puas menyiram gue pakai air campuran kapur dan tinta, mengacak rambut gue sebelum gue ditinggal berantakan di sudut lapangan.
Gue bersumpah gue nggak sudi ketemu mereka lagi setelah ini. Bahkan mau mengusap mata gue aja bingung gimana karena kedua tangan gue kotor sama tinta.
Gue sampai nggak tau mau menyumpahi mereka apa, gue cuma diam dan pelan-pelan melepas gelungan rambut gue. Setelah itu gue ke kamar mandi buat cuci tangan, lalu akhirnya bisa mengusap mata gue yang cengeng.
Pas gue melangkah keluar, gue kaget karena mendapati Djenar berdiri di koridor di depan kamar mandi, tengah memandang gue.
"Rain ..."
"Lulus 'kan, Djon?"
Dia mengangguk. "Gue lihat nama lo juga di papan."
"Iya. Congrats ya, buat lo, buat gue sendiri, hehe ..."
Djenar memperhatikan gue dari ujung rambut ke ujung kaki dan gue tau apa yang dia pikirkan. Tanpa menunggu dia tanya gue kenapa, gue bilang, "Biasa, Djon, kerjaan anak-anak."
"Sampai baju lo item gini?"
"Iya, disiram tinta."
Gue lihat dia menghela napas jenuh. Kemudian dia menarik spidol dari tas dan dia kasih ke gue. "Please?"
Mengulas senyum sebaik mungkin, gue ambil spidol itu dan gue taruh tanda tangan di punggung seragamnya.
"Udah."
Djenar memutar badan dan bergantian meneliti gue, meneliti ruang kosong di seragam gue yang kotor nggak karuan. Gue nggak berniat meminta tanda tangan dia. Tapi gue lihat Djenar kemudian mengeluarkan dasi dari saku celana untuk dia kasih tanda tangan di bagian belakang dan dia tunjukkan ke gue.
Good luck always, Rain!
Pesan itu ditulis di bawah tanda tangan dia. Djenar lalu meraih satu tangan gue dan pelan dia lilitkan dasi itu di pergelangan gue sebelum menyimpul ujungnya di nadi.
Gue beranikan diri mengangkat pandangan pada Djenar yang menatap gue dengan senyum tulus di wajah.
"Lo belum bilang ke gue lo mau ngelanjutin kuliah di mana, Rain. Tapi gue harap, lo dapet tempat yang jauh lebih baik dari ini, temen-temen yang jauh lebih baik dari ini."
Gue mengangguk. "Makasih, Djon."
"Good luck, Rain ... always."
"Lo juga."
Itu adalah hari terakhir gue bertemu Djenar.Itu adalah hari terakhir yang selalu gue tunggu. Hari ketika akhirnya semua ... selesai. Waktu gue berbalik lebih dulu dari pertemuan terakhir dengan Djenar, gue nggak merasakan apa pun selain kelegaan.
Jalan di depan pun nggak pasti. Tapi paling enggak, gue akhirnya bisa melangkah pergi dari tempat ini. Gue lega. Gue nangis, tapi gue bener-bener lega.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush, Crushed
Fanfiction"What we call a crush deserve a more fitting name: crushed." - Blonote, pg. 94 Miracle menjalani hidupnya dengan cukup baik selama 8 tahun terakhir dia tinggal di Surabaya. Bahkan, dia menyebut, jauh lebih baik daripada ketika dirinya masih berseko...