Ngomong-ngomong soal pertanyaan Djenar sebelumnya, gue pernah sempat coba bawa motor sendiri ke sekolah. Tapi baru seminggu, gue nyerah karena tiap pulang sekolah, ban motor gue kempes. Terakhir, bahkan sampai robek.Gue bahkan nggak perlu susah payah cari tau kelakuan siapa ngerjain motor gue. Dan karena males ribut, gue pilih diem. Cuma ya nggak lucu aja kalau keluarga gue jatuh miskin gara-gara tiap hari ke tukang service buat betulin ban.
Akhirnya gue pilih buat balik lagi naik bis. Silakan kalau mau ngerjain gue, emang mereka bakal ngempesin ban bis-nya? Nggak mungkin 'kan?
Tapi, mari lupakan soal ban bocor dan bis, karena setelah hari Djenar bantuin gue, mendadak kita jadi sering papasan. Ke kantin, ke perpus, ke mana aja, dan dia pasti nyapa gue. Entah cuma sekedar ngangguk, ngangkat alis, atau juga manggil gue: "Rain!"
Dari tugas absurd jaga UKS yang awalnya cuma duduk-duduk gabut, gue jadi iseng ngelihatin anak-anak basket latihan di lapangan outdoor yang letaknya persis di depan UKS.
Dari yang awalnya gue bodo amat sama yang namanya basket, gue jadi memperhatikan gimana anak-anak itu latihan. Passing, dribbling, shooting, dan semua yang dilakukan dengan sempurna oleh Djenar. Suara tawa dia di tengah latihan, atau waktu lagi bercanda sama temen-temennya, yang tanpa sadar, bikin gue senyum sendiri.
"Adek, hati-hati nyetirnya.""Iya, Ma, Micel berangkat!"
Well, introduce my another nick name, Micel, yang cuma orang rumah, sodara dan tetangga-tetangga deket aja yang manggil pakai nama itu.
Jadi semisal ada yang nyari alamat rumah gue dan nanya ke tetangga nyebut nama Miracle, kemungkinan tetangga gue nggak bakal tau. Sekali pernah pas ada anak kelas yang ngambil tugas ke rumah, berdua memutari komplek bertanya ke tetangga-tetangga gue dan betulan nggak ada yang tau mereka nyari siapa. Kebetulan waktu itu gue lagi tidur siang, sakit, dan gue terbangun gara-gara telepon masuk yang isinya Dito marah-marah karena dia pikir gue ngerjain dia.
Pas akhirnya gue tunjukkan alamat rumahnya dan ketemu, tetangga sebelah rumah ada yang menegur, "Lho, ini tadi adek ternyata nyariin rumahmu, Cel?"
"Iya, Tante." Gue nahan tawa dan tanya ke Dito, "Emang tadi lo bilang nyariin rumah siapa? Amir?"
"Miracle."
"Pantesan."
Dalam hati gue ngakak. Paling enggak, pernah ada saat di mana gue bisa ngetawain Dito. Rasain!
Gue pun berangkat ke tempat les hari Rabu sore itu, naik skuter matik hijau kesayangan gue, setelah minggu kemaren gue kelewat jadwal karena gue ngurus ulang skejul lesnya.
Jarak rumah ke tempat les lumayan jauh, 25 menit perjalanan kalau nggak ada acara macet-macetan. Sebenarnya ada tempat les yang lebih deket, tapi gue milih di sana karena nggak perlu ketemu temen-temen sekelas.
Begitu sampai di tempat les, gue cari parkir yang masih kosong dan gue parkirkan motor gue bener-bener. Dan baru aja gue melepas helm, sebuah motor masuk dan berhenti di tempat kosong yang cuma berjarak dua motor dari motor gue.
Gue kaget. I hate the fact that I don't need more than a second to recognize who that is.
"Djenar!"
"Lho, Rain! Les di sini?"
"Iya."
"Kok perasaan baru lihat lo ya?" tanya Djenar sambil naruh helm-nya dan mengacak rambut dia yang jatuh menutupi kening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush, Crushed
Fanfiction"What we call a crush deserve a more fitting name: crushed." - Blonote, pg. 94 Miracle menjalani hidupnya dengan cukup baik selama 8 tahun terakhir dia tinggal di Surabaya. Bahkan, dia menyebut, jauh lebih baik daripada ketika dirinya masih berseko...