=5= Ketika Angin Dingin Berembus ~Minhyuk~

240 25 11
                                    

Dari sudut pandang Minhyuk.

Ketika angin dingin berembus~
Surai kecokelatan membelai lembut kulit wajah.
Cahaya jingga yang tak lama lagi akan meredup terpantul ke wajah.
Terukir seulas senyuman yang menambah kesegaran.
Kombinasi antara cahaya jingga matahari terbenam dengan angin dingin penghujung musim gugur selalu menyejukkan.
Gemercik air danau akibat ikan yang berebut meraih umpan menjadi nyanyian pelipur lara.

Musim gugur akan berakhir. Tak lama lagi salju pertama akan turun. Suhu udara mulai dingin, syal yang mengalungi leher saja rasanya tidak cukup untuk menutupi dinginnya. Apalagi berada di pinggiran danau menjelang malam.

Musim gugur, pinggir danau, dan sore menjelang malam; suasana yang mendukung untuk memancing. Kail pancing kulempar ke danau dan menunggu sampai penghuni danau itu meraih umpan dariku. Sembari menunggu, kutatap langit yang cahayanya benar-benar telah redup.

Sang Mentari telah kembali beristirahat dan bulan sabit yang menggantikan perannya. Malam ini rasanya sang Rembulan kesepian, karena kawan-kawannya enggan menemani tugasnya. Ke mana perginya bintang-gemintang ini? Tak sudikah sekiranya satu dari milyaran benda langit itu menemani rembulan lemah ini? Lihatlah, bahkan ia melengkungkan cahayanya menunjukkan raut kesedihan, seperti diriku saat ini.

Ketika angin dingin berembus~
Ketika tongkat panjang yang kami genggam mulai bergetar.
Ketika kailnya seperti menyangkut sebuah benda.
Hanya sorak kegembiraan yang keluar dari bibir.
Maka dengan semangat senarnya ditarik hingga ke permukaan.
Seekor ikan kecil yang hadir melengkapi kegembiraan.

Sebenarnya tak sulit memancing di musim gugur karena pada musim ini ikan akan berkumpul di hulu untuk berkembang biak. Namun, kenapa rasanya danau ini seakan kosong tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya? Setidaknya hadirkanlah seekor ikan kecil untuk menjadi temanku bersama rembulan kesepian ini.

Ketika angin dingin berembus~
Ranting kering dan beberapa daun yang berguguran ditumpuk membentuk seperti piramida.
Sebatang kayu pemantik membakar sedikit dari daun keringnya.
Menyambar ke daun lain yang ada di sekitarnya, juga ranting yang menutupinya.
Maka dengan sekejap mata api kecil mulai terbentuk.
Yang lama-kelamaan kobarannya makin membesar dan mampu menghangatkan tubuh yang mulai membeku.

Mungkin sudah sekitar satu jam lamanya aku terduduk di tepi danau ini, tapi umpanku belum juga berhasil menangkap seekor ikan pun. Kutarik senarnya ke permukaan, barangkali umpanku tenggelam semasa aku melemparkannya tadi. Rupanya tidak. Umpannya masih ada di situ, masih terlilit di ujung kail. Namun, mengapa tak ada seekor ikan pun yang berusaha meraihnya? Apa ikan zaman sekarang sudah tidak lagi menyukai cacing untuk dimakan? Atau bahkan ikan zaman sekarang sudah tidak bisa ditipu dengan kail yang terlilit cacing?

Ketika angin dingin berembus~
Inilah akhir dari perjalanan hidup si Ikan saat sudah beralih ke genggaman.
Sungguh malang, ia harus meninggalkan keluarganya sendiri di danau itu.
Barangkali anaknya akan mencari keberadaan ibunya, ketika menyadari tak ada lagi yang akan membelainya sayang.
Tapi pasti ikan ini akan bahagia, ketika di akhir hidupnya akan bermanfaat bagi makhluk Tuhan yang lain.
Ya, dia pasti akan tersenyum, sama seperti kami yang tersenyum menyambut kehadirannya.

Aku tak tahu faktor apa yang menyebabkanku jadi semakin sulit menahan kesabaran. Mungkin sebagian besar diambil alih oleh pekerjaan yang makin menumpuk. Bagian yang lainnya mungkin karena usiaku yang kian bertambah. Entahlah, aku sedang tidak ingin berpikir mengenai pekerjaan atau bahkan umurku yang makin menua. Kail pancingku kutarik dan kutukar dengan cacing lain. Berharap setelah ini akan ada ikan yang berkenan menghampiri umpanku.

ASTRO ONESHOOT FANFICTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang