2

21 4 0
                                    

Hari menunjukkan pukul 12.10 siang. Sudah saat nya untuk berlindung dari teriknya sang surya yang entah kenapa sepertinya hari ini sangat semangat menyemburkan cahaya panasnya.

"Umma, sepertinya sudah hampir zuhur, tidakkah sebaiknya kita istirahat dulu? " Tifa mengusap peluhnya yang bercucuran sambil memperhatikan bayangan yang sejajar dengan tubuhnya.
Matahari tepat berada diatas kepala.

"Kau duluan saja ke dangau, sebentar lagi umma menyusul, ini tinggal sedikit lagi, tanggung jika ditinggalkan" ucap Ibu paruh baya yang dipanggil Tifa dengan sebutan umma itu. Namanya Ibu Eli.

"Iya umma" Tifa berdiri dari jongkoknya dan langsung melangkah menuju dangau.

"Tifa, jangan lupa bangunkan Adik-adikmu, suruh bersiap-siap untuk sholat. Sepertinya mereka tertidur, sejak tadi umma tidak mendengar suara mereka"

"Iya umma" Tifa menoleh sebentar kebelakang kemudian kembali berjalan menuju dangau.

Sesampainya di dangau, benarsaja, dua bocah itu tertidur pulas. Sepertinya angin sepoi-sepoi berhasil merayu mereka menutup mata dan melontarkannya ke alam mimpi.

"Iki, Jasmin ayo bangun. Sebentar lagi masuk waktu zuhur" Tifa menggoyang-goyangkan badan kedua adiknya itu, namun kedua bocah itu hanya merubah posisi tidur sambil bergumam tak jelas.

Tifa menghembuskan nafas kesal. Selalu saja begini, kedua bocah itu selalu susah dibangunkan. Apalagi jika tertidur di dangau ditemani angin sepoi-sepoi.

Tifa menaiki dangau dan mengambil posisi duduk di pintu dangau sambil menjuntaikan kakinya kebawah. Kemudian dia kembali menggoyang-goyang badan kedua adiknya.

"Iki, Jasmin ayo bangun. Sebentar lagi umma datang, kakak tidak tanggung jawab jika umma memarahi kalian" kesal Tifa membangunkan adiknya.

Tifa menghembuskan nafas pasrah melihat kedua bocah itu kembali memejamkan matanya yang sudah setengah terbuka. Tangannya beralih mengambil tas umma dan mengaduk isinya mencari minum. Sudah sejak tadi kerongkongannya kering. Ditambah lagi panas matahari yang begitu terik membuatnya lebih cepat merasakan haus.

Setelah minum dia mengedarkan pandangan kesekelilingnya.
Indah, hijau sejauh mata memandang.
Padi yang mulai menguning, pepohonan hijau yang menyejukkan mata, burung yang mencoba mencari peruntungan di sawah petani, ditambah lagi dengan gunung dan bukit yang tampak duduk bersebelahan di ujung sana. Sepertinya mereka selalu akur.

Tifa menarik nafas dalam-dalam sambil tersenyum menikmati udara bersih tanpa polusi,kemudian menghembuskannya secara perlahan.

Ini yang membuatnya menyukai sawah. Pemandangan yang seakan tak nyata bak lukisan itu selalu menghilangkan penat sehabis bekerja membantu orang tuanya.
Ditambah lagi dangau mereka dengan ketinggian satu setengah meter itu memudahkan angin untuk bebas keluar masuk. Lumayan tinggi memang, tapi karena mereka sudah terbiasa jadi tidak masalah.

Dangau mereka terbilang cukup besar, dengan delapan tiang penyangga yang terbuat dari kayu,lantai dan dinding dari papan dan atap dari rajutan daun rumbia.
Dinding dangau hanya ditutupi separoh, bagian atasnya sengaja dibiarkan terbuka agar bisa menikmati pemandangan dan merasakan sejuknya angin yang  bebas keluar masuk ke dalam dangau.

Tengah menikmati pemandangan, tak sengaja ujung matanya menangkap sosok bidadari tak bersayap melangkah menuju dangau, siapa lagi jika bukan ummanya. Buru-buru dia membangunkan Adik-adiknya. Alamat kena marah jika umma masih melihat dua bocah itu masih meringkuk di atas dangau.

"Iki, Jasmin cepat bangun, umma datang, nanti kena marah " Tifa menggoyang-goyangkan badan kedua adiknya dengan kencang, namun kedua bocah itu seakan tak peduli. Tifa menggereram kesal, ditariknya kedua tangan adiknya hingga keduanya terduduk, bertepatan dengan umma yang sudah sampai di dangau.

Tifa menghembuskan nafas lega. Untung saja kedua bocah itu sudah duduk, walaupun masih bersungut-sungut karena tidak rela tidurnya diganggu, jika tidak umma pasti memarahinya, bukankah selama ini selalu begitu, adiknya yang melakukan kesalahan tapi dia yang kena imbasnya, resiko anak sulung katanya, hidup ini tidak adil memang.

"Kau sudah berwudu Tifa? " ummanya mengambil posisi duduk di tangga satunya sambil meraih botol minum.
Dangau mereka memang memiliki dua tangga,di sisi kiri dan sisi kanan, agar lebih mudah keluar masuk kata buyanya_panggilan Tifa, Adik-adiknya dan sebagian besar penduduk kampung kepada ayahnya.

"Belum umma, ini Tifa mau ambil wudu" bergegas dia turun dari dangau menuju sumur di samping dangau, takut dimarahi umma.
Sumur itu tepat berada di sebelah kiri dangau, airnya jernih,tak ayal mereka menggunakan air sumur untuk dimasak jika air minum yang dibawa dari rumah sudah habis,begitupun jika ingin memasak sayur.

Sebenarnya, sungai tidak terlalu jauh dari sawah mereka, namun tentunya lebih praktis jika memiliki sumber air sendiri. Sebagian besar petani memang menyediakan sumur di sawahnya, untuk jaga-jaga jika ada hal mendesak dan membutuhkan air segera.

Suara azan sayup-sayup terdengar dari kejauhan,tandanya waktu sholat sudah masuk. Setelah selesai berwudu, Tifa segera melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

"Buya sudah pulang duluan ma? " Jasmin yang tidak melihat keberadaan buyanya memutuskan untuk bertanya kepada umma.

" Iya" jawab ummanya singkat.

"Tumben, biasanya selalu pulang paling akhir" ucap Iki penasaran karena tidak biasanya buya pulang lebih awal.

Tifa yang sudah selesai sholat memalingkan pandangannya ke arah umma. Tunggu, sepertinya raut muka umma berubah, sedikit terlihat muram dan, cemas?

Juntung Tifa berjalan lebih cepat. Apakah terjadi sesuatu?

~~~


Assalamu’alaikumWr.Wb Readers sekalian, apa kabar Readers?
Maaf ya author ubdatenya lama bangeeeet.
Jangan lupa VOTE and COMMENT ya

Hati-hati typo bertebaran

ORYZA ZATIVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang