بسم الله الر حمن الر حيم
Tifa tengah duduk di teras, ditangannya ada sebuah buku keagamaan, barangkali buku Buya nya. Sepertinya, karena bosan tidak ada kerjaan dia memilih membaca buku lusuh itu, beberapa halamannya telah terpisah dari jilidan bukunya.
Tadi, setelah azan zuhur berkumandang dia kembali ke rumah, memilih menunaikan kewajiban di rumahnya.
"Hei, Tifa "
Tifa menoleh, tampaklah Wati berjalan menuju rumahnya.
Dia adalah teman sebangku Tifa dari kelas satu hingga kelas enam, tentu saja sekaligus sahabat.
" Eh, Wati " Tifa memperhatikan sang sahabat dengan badan tambunnya berjalan sedikit tertatih.
" Ada apa?, tumben mampir " ucap Tifa setelah Wati tiba di hadapannya.
" Kau melarangku untuk mampir ke rumahmu? " Wati menarik kursi di samping Tifa dan menduduki nya.
" Bukan begitu, biasanya kau jarang main ke mari" Tifa kembali melanjutkan aktivitas membacanya.
"Hei, kau tidak sopan" Wati menarik buku si tangan Tifa.
"Harusnya kalau tamu datang di hormati, bukan didiemin sambil baca buku" sungut Wati. Sementara Tifa hanya mengerlingkan matanya melihat tingkah laku sahabat.
"Baiklah, apa gerangan yang membuat tuan putri datang kemari? " tanya Tifa dengan senyum jengkel.
Wati tersenyum manis," kau melanjutkan sekolah atau tidak? " tanya Wati sungguh-sungguh. Bahkan dia lebih merapatkan kursinya ke dekat Tifa.
"Mmm, belum tau sih. Kau sendiri bagaimana" tanya balik Tifa.
"Aku sudah pasti tidak akan lanjut" muka Wati terlihat muram. Berbanding terbalik dengan raut sebelumnya.
"Mamak bilang, tidak ada gunanya sekolah, menghabiskan uang. Nanti juga belum tentu bisa kaya. Coba kau tengok pak Suib, walau sudah mengajar bertahun-tahun di desa ini, hidupnya masih terbilang susah, bahkan kadang beliau tidak digaji Pemerintah" jelas Wati.
"Tapi aku senang kalau kau lanjut sekolah Tif" wajah yang tadi muram kembali cerah. Kadang Tifa kagum melihat raut wajah sang sahabat yang mudah berubah seperti membalik telapak tangan.
"Aku belum tau lanjut atau tidak Wat, itu semua tergantung Buya. Lagipun mau cari uang dimana untuk sekolah di Kabupaten, bukankah biayanya lebih besar?, belum lagi untuk kos di sana" Tifa tertawa ganjil. Sebenarnya dia juga sangat ingin sekolah di kabupaten. Tapi bagaimanalah, sepertinya keadaannya tidak memungkinkan.
"Hei, jangan sedih, aku juga tidak lanjut. Bahkan kita bisa menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Juga mengerjakan sesuatu yang bermanfaat, seperti membantu ke sawah misalnya, atau sekedar memasak di dapur" Wati memberi semangat. Lantas mereka berdua tertawa.
Begitulah sejatinya sahabat. Saling menguatkan. Berbagi cerita, canda dan tawa, tangis dan luka.
Harusnya kita bersyukur memiliki seorang sahabat. Genggam erat tangannya, jangan biarkan terlepas. Jika kau butuh sandaran untuk berkeluh kesah, bahunya selalu siap untuk kau sandari. Walaupun bahu itu kadang tak sekuat yang terlihat, namun bahu itu selalu berhasil menciptakan rasa aman dan nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORYZA ZATIVA
RandomSejatinya sebuah nama tentunya diiringi dengan doa. Begitu pula nama seorang gadis kecil di sebuah desa nan jauh disana. Dimana?, entahlah, akupun tak tau pastinya. Hanya saja aku tau sedikit kisahnya. Kisah seorang gadis kecil hingga ia dewasa_Ory...