Hujan. Air membasah yang menyirami keringnya dan hausnya bumi. Selalu datang ketika benar-benar dibutuhkan. Selalu dibenci ketika rintiknya semakin deras dan membuat insan terjebak. Padahal, hujan tak memiliki kesalah apapun, ia hanya membuat kebutuhan air meningkat. Yang mana, jika kalau manusia haus, tinggal meminumnya.
Seharusnya, manusia berterima kasih pada hujan yang selalu diam menahan sabar akan setiap cacian yang manusia lontarkan padanya.
Puisi. Sajak beritme indah penuh makna yang menentu pada setitik kehidupan manusia. Menyalurkan perasaan yang tak mampu secara verbal terungkap. Namun, sajak manis ini juga bisa menyakiti serta membuat liquid bening yang hangat menetes menyiratkan rasa entah itu menyesal, sedih, bahagia, ataupun terharu.
Sore itu, hujan cukup deras memeras tenaga orang untuk menerjang kencangnya rintik yang entah kapan berhenti menangis untuk menyalurkan airnya ke bumi. Senja mengisi di tengah hujan. Sepertinya itu bagian dari senyum manis sang hujan.
Dibawah rintikan itu, ada rintikan lain yang mengalir berbarengan meluruhnya air hujan di pipi serta rahang tegasnya. Itu air pilu merambas habis rasa sakit hati di dadanya yang terasa sesak. Rambut hitamnya basah, kulit putih pucatnya serta seragam sekolahnya ikut kuyub.
Ternyata, sesakit ini jika dilukai oleh satu kata yang menyuarakan kekecewaan serta pembalasan dendam. Selingkuh. Karma? Mungkin saja. Lalu, belum lagi satu kata laknat lainnya menyusul berbarengan dengan tamparan pada pipnya. Putus.
Sudah cukup lama ia duduk bersandar pada dinding dekat bangunan megah apartemen sederhana. Ia masih diam tanpa ingin membuat saraf motoriknya bergerak barang 0,1 senti saja.
.
.
."Jeno.."
Suaranya lembut. Sepolos wajahnya yang so adorable. Kaca mata bulat, topi warna peach cream serta kemeja kebesaran berwarna senada dengan topinya. Manis. Definisi tampilan dari pemuda di hadapannya yang memegang payung agar tangisan deras tak lagi membasahi tubuh kekarnya.
Jeno tahu siapa pemuda manis yang memayunginya. Yah, dia pemuda polos nan pendiam yang menaruh perasaan padanya. Yang berkali-kali Jeno bentak, sentak, caci maki, dan Jeno rendahkan. Dia adalah; Huang Renjun.
"Ayo. Ikut aku! Kau bisa demam jika terus-terusan di sini, Lee Jeno bodoh."
Datar namun bukan terkesan dingin atau kasar. Namun lembut.
"Tidak usah."
.
.
.
.
.Minimalis dan elegan. Warna putih dipadukan abu terang serta kream. Tidak terlalu banyak barang di dalam kamarnya, hanya ada setumpuk boneka moomin si badak putih.
Pintu terbuka. Menampilkan sosok mungil yang terbalut oleh kaos oblong kebesaran warna putih dengan celana jeans hitam diatas lutut. Beruntung penghangat ruangan sudah dihidupkan. Renjun berjalan membawa sup rumput laut dan pendamping sup lainnya.
"Kau memoles rambutmu?" entah mengapa frontalnya yang keluar justru hal bodoh itu.
"Yah. Sekolah tidak melarangnya, jadi aku memberinya sedikit bubuhan." jawab Renjun dengan tenang.
Hening.
"Terima kasih. Maaf jadi merepotkanmu." Jeno menuduk, dirinya tak sanggup hanya sekedar menatap netra karamel sebening air suci milik Renjun yang dulu pernah ia buat menitikkan tangisan sakit.
"Hm." Renjun berdeham sebagai jawaban.
Jeno mengernyit tidak suka. "Kau nampak sedikit berbeda, Huang." katanya datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot [AllxRenjun]
Short Story"Apa?" "Saya suka kamu, soalnya manis tapi galak." "Sampis, Pak Bos."