"Beliau meninggal di gunung yang didaki untuk terakhir kalinya. Coba tebak, gunung apa yang terakhir didaki oleh ayahku?"
"Mount.. Everest?"
"Tepat sekali."
Sedetik kemudian suasana menjadi sangat hening. Entah kenapa, dada Minho terasa begitu sesak mendengar jawaban dari Chan yang terdengar enteng namun sarat akan kesedihan.
"So sorry to hear that.. kalo aku tahu ayah kakak meninggal di Everest, mungkin kemarin aku ga akan minta kakak nonton film itu."
"Kamu ga perlu ngerasa bersalah, Min. Lagipula kemarin memang aku yang ingin nonton film itu, jadi ga apa-apa. Ini semua bukan salahmu."
Tangan besar nan hangat milik Chan menyentuh puncak kepala Minho, mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Minho memejamkan matanya seraya merasakan sensasi menyenangkan yang menjalari hatinya. Hangat dan nyaman, hatinya berubah lebih tenang setelah si pemuda blasteran mengusap puncak kepalanya.
Minho belum berniat membuka matanya sampai ia merasakan sesuatu yang lembut dan sedikit basah menyentuh bibirnya. Begitu matanya terbuka perlahan, yang ia dapati adalah pemandangan wajah Chan dari jarak yang sangat dekat, terlampau dekat hingga kedua belah bibir mereka saling bersentuhan. Minho cukup terkejut, namun reaksi tubuhnya tak bisa menolak dan malah semakin merapat pada yang lebih tua.
Ia suka sensasi yang diberikan Chan setiap kali mereka bersentuhan. Bahkan saat Chan hanya mengusap puncak kepalanya, atau sekedar memainkan jemari tangannya, ia merasa sangat nyaman.
Kali ini, entah sebesar apa pengaruh Chan hingga mampu membuat Minho merasa ada ribuan kupu-kupu hinggapi perutnya. Hingga tautan mereka terlepas, Minho yakin ia akan berselebrasi jika saja Chan tak ada di hadapannya.
"Selamat ulang tahun, Minho." senyum lesung Chan begitu manis, membuat yang lebih muda merona hebat. Rupanya si pemuda jenius mengingat hari ulang tahunnya.
"Maaf aku ga bisa ngasih kamu hadiah yang lebih baik.. karena seperti yang kamu lihat, sekarang yang aku punya hanya diriku saja."
Apa hal yang lebih baik dari sentuhan bibir Chan? Itu saja sudah dirasa cukup bagi Minho, bahkan lebih dari cukup.
"Ga apa-apa, sungguh. Terima kasih kak Chan."
Tatapan tulus dari Minho seketika buyar saat pintu rooftop didorong paksa dan memunculkan sosok dua pria tinggi—yang Minho kenali sebagai satpam sekolah dan wali kelasnya—beserta seorang pria paruh baya dengan raut wajah penuh amarah, yang Minho identifikasikan sebagai ayah kandungnya.
"LEE MINHO! APA KAMU SADAR APA YANG TELAH KAMU LAKUKAN?!!"
Ayah Minho meneriakinya dengan gamblang, menarik kerah kemeja Minho dengan penuh emosi. Tatapannya yang memburu beralih pada Chan, membuat si pemuda Bang tak berkutik di tempatnya berdiri.
"Hei, bocah brengsek! Kamu apakan anakku barusan, hah?!" tanya ayah Minho dengan tatapan penuh kebencian.
PLAK
Ayah Minho menampar pipi kiri Chan dengan sangat keras hingga membuatnya jatuh tersungkur ke lantai. Nafasnya naik turun, berusaha mengatur emosi yang sudah menguasainya hingga puncak. Ia beralih menatap pak Lim Jaebum, wali kelas Minho.
"Pak Lim, tolong keluarkan anak ini dari sekolah secepatnya! Pasti dia yang telah membuat anakku menjadi pemuda tidak bermoral seperti ini!"
"J-JANGAN! KUMOHON, AYAH!!" Minho memasang badan di hadapan tubuh Chan yang meringkuk di lantai. Wajahnya memerah dipenuhi amarah, tak kuasa menahan air matanya. Ditatapnya sang ayah dan pak Lim bergantian dengan putus asa.
"Bukan kak Chan yang bersalah, akulah yang patut disalahkan karena aku telah membuat ayah sangat kecewa atas sikapku. Tolong ampuni kak Chan, ayah.." ujar Minho dengan suara bergetar. Ia lalu berbalik badan, dengan sedikit limbung ia mulai melangkah gontai menuju pagar pembatas rooftop.
"Maafkan aku karena telah mengecewakan banyak pihak. Sungguh, aku hanya ingin hidup seperti biasa, menjadi orang biasa tanpa dipandang rendah sedikitpun.."
Tanpa aba-aba Minho menaiki pagar pembatas, membuat semua orang di sana berubah was-was. Ia berdiri di atas pagar—menghadap tepat ke ayahnya dengan sorot mata yang meredup, senyumnya menyiratkan hati yang paling terluka.
"Maaf ayah, tolong sampaikan pada ibu bahwa aku sangat menyayanginya, dan katakan bahwa aku tak akan pulang ke rumah setelah ini."
KLANG
"K-KAK CHAAN!!!"
BRUKK
Tubuh Minho terhempas kembali ke lantai rooftop. Rupanya Chan yang menariknya dengan sekuat tenaga, dan menerjunkan tubuhnya sendiri sebagai gantinya.
Minho yang panik segera berdiri dan melongok ke bawah dari pagar pembatas, demi mendapati tubuh Chan yang terkapar di lapangan berumput di bawah sana dengan wajah tersenyum yang samar oleh sisa rintik hujan.
"Aku mencintaimu, Minho. Berbahagialah."
Itu adalah suara Chan yang sayup terdengar saat ia menghempas tubuh Minho ke lantai rooftop dan melemparkan tubuhnya terjun menggantikan si pemuda Lee.
Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Minho sungguh berharap itu bukan pesan terakhir dari Chan untuknya.
Haloo 👋🏻
Untuk semua pembaca yang masih setia ngikutin book ini sampe sini, terima kasih banyak! Bagi pembaca baru, selamat datang di dunia banginho 🐰🐺
Terima kasih juga untuk vote dan komentar yang kalian tinggalkan, big love♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
A Place for Us Two「 banginho 」[DISKONTINU]
Fiksi Penggemar❝ Kamu boleh pakai tempat ini sesuka hatimu, Lee Minho. ❞ [𝘪𝘯𝘴𝘱𝘪𝘳𝘦𝘥 𝘣𝘺 𝘚𝘱𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘯𝘰𝘸 𝘣𝘺 𝘖𝘥𝘰𝘯𝘨 𝘵𝘰𝘯𝘨-𝘯𝘪𝘮] ©️sweetapaw, March '20