Monokrom

32 2 2
                                    

Malam selalu menjadi waktu paling ramah dalam hidupku. Bukan soal apa, tapi ya karena aku sadar dan hidup saat langit sudah gelap dan dihiasi awan putih yang jelas bersama lampu-lampu gedung pencakar langit ibu kota yang tidak pernah tidur. Entah ini wajar apa tidak, pagi menjadi hal paling samar yang pernah aku rasakan. Berangkat kerja saat langit belum sempurna cerah, pulang langit sudah gelap saja. Kadang aku sekangen itu sama siang.

Terdengar agak adsurb memang, tapi begitulah aku menjelaskan bagaimana hidupku berjalan. Terlalu ramah dengan malam, terlalu ramah dengan rutinitas. Padahal sejujurnya pekerjaan yang aku lakukan sekarang, adalah pekerjaan impian banyak orang di luar sana, tapi seolah aku tengah menjalani mimpi orang-orang itu, bukan mimpiku sendiri.

Begitu juga dengan saat ini, aku tengah duduk di ruang rapat, mendengarkan persentasi dari beberapa divisi produksi yang entah kenapa membuatku naik darah. Seriusan. Semua data yang mereka sampaikan entah kenapa terdengar sampah di telingaku, gak sesuai sama ekspektasi perusahaan. Semakin membuaut lapar, aku melihat keluar jendela, ini matahari sudah akan terbenam. Dan aku semakin lapar, baik secara perut maupun secara psikologis.

'Lo malam ini mampir kagak?' sebuah chat masuk dari Angga, temen buntutku yang sudah aku kenal dari masih polosnya dulu. Pas kita masih sama-sama masih pakai bawahan biru tua.

'kenapa?' jawabku sama sekali sudah malas mendengarkan persentasi.

'biasa, Dinda maen drama lagi,' balasan Angga secepat itu sampai menitan di chat yang aku kirim sama dengan chat balasannya dia. 'oke,' jawabku singkat.

"Jadi bu Shasha? Bagaimana menurut anda?" tanya kepala Divisiku, sepertinya sudah paham banget aku sudah malas dan badmood. Apalagi dengan beliau memanggil namaku dengan salah. Itu semakin membuat aku jengkel. Dan, oke... Ibu procurement yang namanya susah dilafalin ini mengeluarkan segala unek-uneknya, membuktikan gossip yang beredar tentang betapa jahatnya dia.

Dari sepuluh orang yang mengeja dan melafalkan namaku, mungkin hanya satu yang benar. Dan itu jarang banget... bisa dibilang seperti keajaiban rasanya kalau ada yang nyebut namaku dengan benar. Bahkan Angga yang usdah kenal aku dari orok, manggil aku Shasha, dia bilang sudah kebiasan malas kalau kudu bener-benerin lagi, untung aja Dinda temen orokku satunya bisa melafalkan namaku sekalipun gak bener-bener banget, betterlah dari pada Shasha.

Saoirse Derra Abhiyoga. Entah mikir apa almarhum Ayah kasih nama begituan. Udah pelafalannya sulit, ngeja waktu nulis tuh sesuatu banget. Setiap ngecek nama di ijazah, dari SD sampai kuliah aku pasti berakhir ke TU buat benerin, begitu juga setiap ngecek nama di daftar hadir, hah... selalu aku harus lapor bahwa penulisan namaku kurang satu huruf, entah itu "a"nya yang hilang, atau "i"nya yang hilang. Untung nama belakangnya Abhiyoga, pakai basa jawa. Gitu tuh masih saja ditulis gak pakai "h" atau nama tengahku yang ditulis dengan hanya satu huruf R.

Saoirse Derra Abhiyoga. Dibaca sheer-sha­, dan biasanya yang nyantol ditelinga orang-orang "sha"nya doang, berubahlah menjadi shasha. Aku selalu membenarkan pelafalan orang-orang setiap kali salah baca waktu aku masih sekolah atau kuliah. Sekarang, aku sudah gak ambil pusing, biarin aja semaunya mereka dibaca apa, lagipula mereka juga bakal berakhir dengan gak akrab sama aku.

Aku sampai di Monokrom sekitar jam setengah sebelas malam. Angga sudah duduk di sebelah Dinda yang meletakkan kepalanya di meja, di tempat favorit kami. Sebuah meja tinggi tepat disebelah dinding kaca menghadap keluar kafe yang penuh dengan lampu-lampu temaram untuk malam yang selalu sendu.

Angga melihatku langsung Bahagia seolah akhirnya keluar dari lubang drama tanpa akhir milik Dinda yang bisa aku duga, permasalahannya masih bakalan gitu-gitu aja.

Angga dan Dinda adalah dua orang yang seperti pohon bunga teduh yang warna-warni sekaligus parasit dalam hidupku. Bagaimana enggak, mereka sudah ada di setiap fase dalam hidupku begitu juga sebaliknya. Baik buruk senang sedihnya setiap fase hidup kami, selalu ada kami bertiga di dalamnya.

Pohon HujanWhere stories live. Discover now