Berpindah

10 1 0
                                    

"kalo missal yang ngomong gitu tadi macam Adipati Dolken, lo bakalan klepek-klepek juga kan?" tanya Angga sambil ketawa lepas menghina ngeremehin semua-muanya dijadiin satu.

"Gue serius nih njing," jawabku sambil cemberut.

Angga masih belum berhenti tertawa, "Lagian lo kesambet apaan sih? Kek orang gak laku aja. Biasanya juga pencinta kesendirian,"

"Gue emang keknya gak laku deh, terakhir kali pacaran aja waktu SMA," jawabku menarik nafas dalam. "Apa karena gue terlalu keras kepala ya?"

Angga kini sudah berhenti tertawa kembali fokus sama kerjaannya menatap lurus notebook, seolah aku beneran gak penting. "Lo aneh-aneh aja sih Sha. Lha emang kenapa kalo terakhir kali pacaran waktu SMA? Temen-temen kantor gue yang pada pacaran semua, gak jamin mereka beneran jatuh cinta. Kebanyakan cuma karena takut kesepian."

"Kalo lo gimana?"

"Apanya?"

"Lo jatuh cinta gak sama partner lo?" pertanyaan konyol lainnya.

Angga memberikan pandangan yang gak bisa aku artikan. "Gue tanya dulu sama lo, definisi jatuh cinta itu sendiri menurut lo apa?"

Aku tengah meletakkan kepalaku diatas meja kantor Ketika salah seorang rekan divisi sebelah yang letak kubikelnya gak begitu jauh dari kubikelku, tiba-tiba duduk sejajar dengan arah pandang, "Ada apa?" tanyaku gak pake ngangkat kepala.

"Gue boleh tanya-tanya soal masalah pribadi gak Sha?"

"Hah?" tanyaku cengo lalu mengangkat kepala karena terkejut. Ini kesambet apaan si Rendi yang gak pernah sekalipun nyapa aku tiba-tiba mau ngajak ngobrol beginian. "Mau ngobrolin apaan?"

Rendi kemudian nyerocos bertanya tentang bahan material, iya bahan material mobil, ngebandingin setiap mobil impor yang masuk Indonesia, iya sih aku kerja dibagian procurement itu, tapi ya masa aku ditanya-tanyain bahan material mobil cuma buat cari kado ulang tahun tunangannya dia. Tunangan dia yang dia ceritain dengan Bahagia bakalan nikah enam bulan lagi. Memang ya, jomblo macam aku mana ada dihargainya, pasti jadi tempat sampah soal rencana nikahan orang. Padahal kan ya walopun gak peduli, pasti lah terasa sedikit cekit-cekit juga, ngebayangin orang lain bakal berangkat nikah sementara aku masih ayem sendiri aja.

Pembahasan Rendi kemudian sampai pada penawaran aku mau apa gak dateng ke acara ulang tahun tunangannya dia itu. Well yeah, agak mencengangkan karena Aku gak sedekat itu sama Rendi. Ngobrol pun biasanya soal proyek, sudah. Kalau berpapasan kadang saling sapa kadang enggak. Yang lebih mengejutkan lagi, adalah dia dengan jujurnya bilang ada temennya dia yang mau kenalan sama aku, karena Rendi takut risih apabila ngajakin keluar bareng langsung, makanya dia ngakain buat dateng di acara ulang tahun itu, biar rame-rame sekalian.

"Lo jadi berangkat sendirian?" tanya Dinda malam itu, sambil ngeliatin aku yang udah siap-siap berangkat buat ke acara ulang tahun tunangannya Rendi. "Beneran gak apa-apa sendirian?"

Pertanyaan Dinda aku jawab dengan sebuah anggukan. "Lo beneran tumben mau-mau aja datang ke ajakan begituan? Biasanya ogah bener ketemu orang baru,"

"Yah... mungkin karena gue uda ngerasa butuh ketemu orang baru?" jawabku asal yang membuat Dinda dengan spontannya tersenyum mengejek.

"Sejak kapan lo peduli buat ketemu orang baru?"

Sejak aku terusir dari rumah. Sedikit banyak sekalipun aku mencoba buat gak peduli, tetep saja kepikiran. Setidak pedulinya aku pasti juga bakalan kepikiran kalau yang ngomong keluarga sendiri. Yah. Sebenci apapun aku sama mulutnya Kak Sita, aku gak bisa ngebenci dia. "Ya gapapalah apa salahnya ketemu orang baru,"

Pohon HujanWhere stories live. Discover now