de-Eksitasi

9 0 0
                                    

Banyak hal yang sudah berubah tentunya. Terlepas apakah itu sejalan dengan maksud Aidan soal bertumbuh. Dan aku juga tidak sepeduli itu. Mungkin. Sudah terlalu banyak hal-hal yang terlewat oleh seseorang yang sudah pergi selama sebelas tahun, sama halnya bagiku, terlalu banyak dari hidupnya dia yang gak aku tahu setelah sebelas tahun. "Kenapa harus Harry Potter?"

"Karena sekalipun kita tahu bahwa magic tidak pernah nyata, pada suatu titik kita berharap memilikinya. Hanya untuk sekedar Bahagia." Omong kosong, entahlah terasa begitu klise saja.

Aku menghembuskan nafas dengan kasar. "Trus hal-hal magis seperti apa yang lo harapin dari ngasih gue buku keenam dan ketujuh? Gue rasa butuh terlalu banyak magis buat mengabulkan keinginan lo itu,"

Aidan tersenyum lirih, rasanya dia gak pantas tersenyum seperti itu. "Aku tahu. bahkan sekalipun dengan sihir hitam terasa bakalan gak mungkin,"

"So?"

Percakapan kami terpotong karena Prof. Snape tiba-tiba memanggilku untuk mendiskusikan kunjungan produksi besok pagi. Menyisakan terlalu banyak pertanyaan soal apa sebenarnya yang ingin disampaikan Aidan setelah semua ini. Entah mengapa aku merasa bahwa dia seolah memberikan tanda untuk membuat semuanya baik-baik saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami.

Atau mungkin aku yang kege-eran? Bahwa sebenarnya memang hanya aku yang merasa lebih banyak emosinya di sini, sementara Aidan merasa semuanya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan? Pikiran jahat perkara bahwa mungkin memang selama ini aku jatuh cinta sendiri, sakit hati sendiri, mutlak begitu menyayat dada. Rasanya miris sekali, semiris kemungkinan aku hanya menulis cerita satu sisi, gak ada gayung bersambut di sana.

Ini benar-benar membingungkan. Perasaan milikku sendiri. Aku senang setelah sekian lama akhirnya bertemu dengan sosok Aidan yang sekarang bahkan aku bisa menyebut namanya padahal sebelas tahun ini nama itu sama sekali gak bisa keluar dari mulutku. Tapi ini juga terasa begitu menyakitkan. Aku bahkan bingung sebelah mananya yang bisa membuatku sebegini tersayatnya. Rasa sayangku? Atau rasa kehilanganku selama ini?

Seandainya Papi masih di sini, mungkin aku akan tetap merasa aman, terlepas dari semua perasaanku buat Aidan.

"Sha, lo beneran mau oleh-oleh skincare doang?" suara Angga terdengar begitu ceria dengan latar suara berisik khas tengah berjalan di pusat perbelanjaan. "Mumpung gue di Myengdong nih, tadi gue udah telpon Dinda dia bilang samain aja sama lo,"

Tanpa sadar aku terisak begitu saja mendengar suara Angga yang begitu ceria, "Sha? Saoirse? Lo ga papa?"

Mendengar pertanyaan Angga itu aku makin menangis sejadi-jadinya. "Ceritain sama gue Sha, lo kenapa?"

"Lo kenapa sih perjalanan ke Koreanya pas gue sedih kek gini?"

"Ya makanya cerita kenapa, jangan bikin gue panik. Seoul-Jakarta jauh njing, gue gak bisa tiba-tiba di sebelah lo nih. Dinda mana Dinda?"

"Gue gak papa kok,"

"Gak papa pala lo, lo tuh gak pernah nangis ya, sekalipun kemaren abis diusir Kak Sita begitu. Lo pikir kita udah kenal berapa lama Sha, cepetan cerita kenapa,"

"Iya. lo bawel amat dah,"

"Lo kenapa?"

"Aidan balik."

"Hah?"

"Gue bilang Aidan balik njing, jangan bikin gue ngulang kalimat yang sama. Sakit hati tahu,"

"Masih hidup tuh orang? Kenapa baliknya pas gue di Korea sih? Kan gak bisa liat live lo lagi nangis-nangis gara-gara cowok. Rugi beneran dah,"

Pohon HujanWhere stories live. Discover now