Recalling

9 0 0
                                    

Seketika detik ini juga semuanya terasa kembali berputar dengan cepat dalam otakku seolah baru terjadi beberapa menit yang lalu. Diputar dengan mode cepat namun tidak meninggalkan setiap detail terperinci dari reka adegan hingga reka perasaan, sekalipun sudah bisa aku duga, nyatanya masih saja tetap memberikan keterkejutan yang cukup mengguncang seperti ini tentang keberadaan Aidan. Satu dari sekian ribu mikrokosmos yang bersebaran.

Sekalipun diharapkan bertemu namun tetap saja akan ada titik ketidaksiapan untuk benar-benar bertatapan langsung.

Sore itu, sepulang ekskul seperti biasa aku malas-malasan duduk-duduk di dalam ruang ekskul sambil menunggu kak Sita buat jemput pulang. Sudah hampir senja dan kak Sita yang waktu itu tengah part time juga, seperti biasa ngejemput pake terlambat. Aku juga gak bisa marah, karena aku gak diijinin buat pulang sendirian sama Papi, dan Sita sebenarnya ogah-ogahan juga mau jemput, tapi daripada kena semprot Papi, dia lebih milih buat jemput aku sekalipun kayaknya sengaja ditelat-telatin.

"Oh, ternyata masih ada orang?" aku langsung menoleh ke arah sumber suara yang ada di depan pintu ruang Mading. Ternyata seorang murid cowok yang lagi senyum pakai super ramah sampai-sampai matanya melengkung terpejam. "Sori kalo aku bikin kamu kaget,"

Aku berjalan mendekat, "Anak ekskul Paskibra?" tanyaku karena yang ada jadwal ekskul sore ini cuman Mading sama Paskibra. "Tapi kok gue gak pernah ngeliat lo ya? Anak kelas sepuluh?" selanjutnya aku dengan tidak sopannya memperhatikan cowok itu dari ujung kepala sampai ujung kaki karena aku baru menyadari dia lagi pake baju bebas, gak pake seragam hari ini atau pun seragam olahraga.

"Bukan," dia jawab masih pakai senyum ramahnya. "Aku baru akan pindah besok pagi, ini tadi mumpung lewat daerah sini jadi mampir sekalian,"

"Oh murid baru?"tanyaku masih memperhatikan setiap lekuk wajahnya yang nyata terpahat sempurna. "Kelas berapa?"

"Aku udah kelas sebelas kok, boleh minta tolong anter keliling sekolah? Hehe... takut nyasar karena ternyata sekolahnya lumayan gede juga,"sebenarnya aku rada takut juga karena ini kali pertama ketemu sama nih cowok, takut diapa-apain sumpah. Tapi kalau dilihat-lihat sih penampilannya penampilan anak baik-baik.

"Lo pindahan dari mana?" tanyaku mencoba mencairkan suasana karena aku merasa canggung, tapi sepertinya cuman aku doang sih yang ngerasa begitu karena nih cowok kentara banget takjub toleh kanan-kiri sambil menghapal denah sekolah, jadi makin merasa bersalah tadi udah mikir yang enggak-enggak soal nih anak.

"Aku baru pindah dari Surabaya," jawab dia masih gak berhenti toleh kanan kiri.

"Oh dari Surabaya, kok gak medok? Ini perpusnya sampe ujung lorong sana, nah yang di depan perpus ujung lorong gitu, itu Lab Biologi," kataku masih terus menerangkan. "Lo anak IPA apa IPS?"

Si cowok ini lagi-lagi ngeliatin senyum ramah yang lama-lama kelihatan bego. "Di sekolah sebelumnya sih anak IPA, gak tahu deh besok masuk kelas mana,"

"Masih lah, Yakali tiba-tiba pindah jurusan,"

"Maunya sih gitu, dulu masuk IPA juga karena Bapak yang nyuruh, lalu nyebelinnya hasil tes IQnya bilang gak masalah mau aku masuk IPA apa IPS," bisa aku lihat ada sedikit sesal dari raut mukanya.

Kemudian ponselku bergetar, dari Kak Sita, mungkin mau bilang udah ada di depan gerbang sekolah. "Eh, kakak gue nelpon nih, gue pulang dulu ya,"

Dia tersenyum semakin ramah. "Iya makasih ya udah mau nemenin aku keliling sekolah," lalu melihat nametagku, fix aku bakal ngedengerin penyebutan namaku pake salah. "Sampai ketemu besokya, Saoirse!"

Semalaman dengan seenaknya wajah Dia menghiasi pikiranku, apalagi aku bahkan belum bertanya namanya dia siapa. Semakin menjadi-jadi saja rasa penasaran ini. Soal bagaimana bisa dia menyebutkan namaku dengan benar pada pengucapan pertama, atau juga soal bagaimana dia masih seceria itu saat berhadapan denganku, yang bisa aku pastikan tidak meninggalkan kesan ramah. Hah... ini begitu menyebalkan. Untuk pertama kalinya seseorang dengan tanpa ijin memenuhi pikiranku, membuatku melupakan bagaimana malam harusnya menemani untuk istirahat demi esok hari.

Pohon HujanWhere stories live. Discover now