Eksitasi

13 1 0
                                    

Mari berpindah. Sebuah ajakan yang pertama kali aku ucapkan dengan lantang ketika pengumuman SNMPTN sebelas tahun lalu keluar. Ketika aku dinyatakan lulus buat masuk Teknik Elektro. Menjadi satu-satunya perempuan di SMAku yang ambil jurusan maskulin macam itu. Walaupun sebenarnya ketika sudah kuliah aku juga gak jadi satu-satunya perempuan dalam satu offering, tapi tetap saja ini bukan tujuan awal kenapa aku pengen kuliah.

Aku selalu suka sama mata pelajaran yang berhubungan sama ilmu-ilmu sosial. Dan ketika try out SNMPTN aku sudah yakin buat ambil IPC, alias aku bisa ambil jurusan punyanya anak sosial. Aku sudah seniat itu, belajar sosiologi, ekonomi, geografi padahal aku anak IPA. Aku sudah memimpikan kuliah Sosiologi dan mulai mempelajari manusia, gak pakai hitung-hitungan. Lagian juga sekalipun anak IPA aku tipikal yang males pakai banget disuruh ngerjain integral.

Tapi semua tujuan awalku itu berubah dengan tidak sopannya ketika akhirnya aku masuk pada periode labil dalam hidup. Aku melupakan semua impianku buat jadi sosiolog. Hanya karena rasa sakit hati yang kalau dipikir-pikir itu gak sepenuhnya sakit hati. Nyatanya sekarang aku kangen buat bisa sakit hati lagi seperti saat itu. Karena memang sebenarnya saat itu semuanya indah dengan kadar lukanya sendiri. Sesuatu yang aku sadari setelah sebelas tahun lamanya.

Apabila ditanya menyesal apa enggak, maka jawabannya setengah. Setengah menyesal tapi juga setengahnya enggak. Menyesal karena aku sudah begitu bodoh melepaskan apa yang selalu aku mau. Dari keinginan buat jadi sosiolog ataupun dia yang aku biarin pergi. Setengah enggak merasa menyesal juga karena toh buktinya aku baik-baik saja sampe sekarang. Aku lulus tepat waktu, aku dapat kerja langsung setelah lulus, bahkan ketika aku memilih resign di perusahaan lama itu, aku gak perlu nunggu lama buat keterima di perusahaan yang sekarang. Semuanya begitu lancar.

Begitu lancar sehingga aku menyadari aku merindukan masa-masa galau dan polos nyerempet bego itu. Jujur aku kangen. Toh sekarang yang aku hadapi adalah kenyataan aku sudah melalui usia dua puluh tahunanku, masa mudaku, dalam sebuah pelarian yang aku sebut sebagai perpindahan.

Angga benar bahwa mungkin aku perlu membuat definisi secara gamblang tentang perbedaan berpindah dan melarikan diri, karena mungkin memang otakku terlalu ngeyel mendefinisakan secara sama dua hal yang sebenarnya berbeda.

Jadi, apabila masih dipertanyakan lagi apakah aku menyesal, ya ada penyesalan di sana, tapi juga ada syukur di sana. Menyesal karena aku sudah membuang waktuku selama sebelas tahun untuk sebuah pelarian semu yang aku sebut perpindahan. Bersyukur karena aku yakin apabila aku kembali dipermainkan semesta sekali lagi lewat permainan takdir, aku bisa membanggakan diriku sendiri, merasa cukup tidak kurang akan apapun.

Kadang aku merasa lucu sama diriku sendiri. Lucu. Betapa aku berharap dipermainkan sama semesta. Berdoa bakal akan ada lagi permainan takdir. Bahwa mungkin bintang-bintang sedang melakukan kesalahannya sehingga cerita hidupku tiba-tiba berubah.

Karena tentu aku tidak pernah bisa menyangkal kadang ketika terbangun pukul tiga dini hari, aku menyebut namanya. Merindukannya.

Seseorang pernah bilang padaku, cinta pertama gak akan pernah berhasil. Cinta pertama akan selalu menemukan caranya agar karam sekalipun mungkin kapalnya adalah kapal paling kokoh. Cinta pertama ditakdirkan untuk tidak pernah bisa dilupakan, bukan dipertahankan. Ya. Tidak akan pernah dilupakan karena akan menjadi sebuah kisah awal sebuah kekaraman dan kegagalan atas kebodohan serta jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.Tanpa logika.

Lalu setelahnya memberikan sebuah pelajaran baru yang berharga untuk pertama kalinya. Pelajaran berharga perkara menyadari esensi dari sebuah eksistensi adalah ketika sudah kehilangan. Yang kini tentu aku sadari sesadar bahwa satu ditambah satu adalah dua, tentang sebuah eksistensi yang sudah pergi dari hidupku yang nyatanya memiliki esensi lebih dari eksistensi lainnya. Bahkan aku selalu ketakutan menyebut nama. Karena aku tahu aku akan menangis seolah tak ada hari esok. Begitu pula dengan esensi cinta pertama itu sendiri.

Pohon HujanWhere stories live. Discover now