Masih Monokrom

9 1 0
                                    

"Trus sekarang lo mau tinggal dimana? Seterusnya lo bakal ga balik gitu? Haishhhh lo mikir gak sih pas mutusin gini? Lo udah bukan ABG lagi Saoirse!" gerutu Angga siang-siang nyamperin di kantor, setelah mendengar kabar dari nyokap bahwa aku langsung angkat kaki dari rumah semalam, setelah mulut Sita selesai mengeluarkan sampahnya. "Semalem lo akhirnya nginep dimana?"

"Tumben banget lo nyebut nama gue pake bener?" aku meneguk secangkir teh panas sementara gak satupun kalimat dari mulutnya dia bisa aku cerna dengan benar. "Gue semalem nginep di Monokrom,"

"Itu bukan tempat menginap sembarangan ya."

"Iya iya, semalem tadi doang," ini sepertinya Angga gak sadar ganggu waktu kerja. "Lo gak balik gitu? Kerjaan gue banyak ini,"

"Lo uda kasih tau Dinda kalo minggat dari rumah?"

"Ngapain?"

"Ya kali dia bakal ngajakin lo tinggal bareng, dia kan sering banget tuh menggerutu betapa kesepiannya dia tinggal sendirian, semenjak bokap nyokapnya dia pada pindah ke Bali,"

Sisa hari itu terasa begitu panjang. Ada sedikit penyesalan kenapa aku memilih keluar dari rumah karena kesannya, kesan yang aku rasain, aku yang kalah dalam pertempuran. Tapi kalo aku gak pergi, sampai kapan aku merelakan diri diperlakukan seperti itu. Gak bisa aku pungkiri juga, aku merasa bersalah sama Nyokap karena uda ninggalin dia seperti ini.

Dan setiap orang punya batas toleransinya masing-masing. Aku merasa ini sudah melewati batas toleransi yang bisa aku berikan.

Ketika gue sampai di rumah Dinda malamnya, Dinda sudah seseneng itu karena aku bakal tinggal sama dia. padahal aku cuma cerita kalau aku minggat dari rumah, si Dinda sendiri yang bikin kesimpulan aku bakal tinggal di rumahnya dia, pakai udah disiapin segala kamar yang bakal aku tempati.

"Lo uda baikan sama Arya?" aku dan Dinda duduk-duduk di depan TV ditemani minuman kaleng bersoda di hadapan kami. Sudah tengah malam ketika aku selesai beres-beres barang bawaan yang sebenarnya gak begitu banyak.

"Udah, kek kata lo, palingan bakalan baik-baik aja besoknya," Dinda memainkan kaleng minuman sodanya seperti berusaha menghilangkan karbonasi di dalamnya. "Lo yakin nih keluar rumah?"

"Yakin gak yakin sih Din,"

"Lo uda bilang bakalan minggatlah, milih ngekos lah, dari hari pertama lo dapet kerja. Dan itu dah tujuh taon yang lalu ya, tapi lo kan bacot doang selama ini, kagak pernah jadi pergi," aku menarik nafas panjang, hah ini anak kalau ngomong suka banyak benernya. "Sekarang kenapa akhirnya seriusan minggat?"

"Tiba-tiba aja kepikiran kenapa gue harus rela dilukai sebanyak itu walopun itu sama kakak gue sendiri, dan kenapa gue gak sekali aja memihak diri gue sendiri. Lagian gue selama ini ngerasa kasian sama Mami kalo gue pergi, tapi nyatanya gue lupa buat kasihan sama diri gue sendiri,"

"Mami gak bilang apa-apa?"

"Mana pernah Mami belain gue? Ya apa-apa Sitalah yang bener, gue hanya serpihan rengginang di dalam toples yang gak diinginkan," gue melirik Dinda yang menyimak cerita gue sambil menyangga kepalanya yang mungkin sudah mulai berat karena kantuk mulai datang. "Kemaren aja yang Mami lakukan hanya memeluk Siobhan, gak ngomong apa-apa, bahkan hingga gue beneran ninggalin rumah. Hah... sampai detik ini juga gue gak nerima pesan atau apalah yang menanyakan kabar gue,"

"Padahal waktu dulu kita masih sekolah, gue selalu iri sama lo yang punya kakak perempuan,"

Aku tersenyum miris, karena selama ini aku selalu berharap jadi anak tunggal macam dia aja, "Apa yang lo iriin? Dari punya kakak macam Sita yang egoisnya gak ketulungan,"

"Padahal kalo dibandingin sama kak Sita, Lo adalah anak perempuan yang lebih gigih, lebih independent dan sebagainya sebagainya. Lo punya café, ya sekalipun patungan sama kita-kita, lo kerja di perusahaan yang gede juga, posisi lo juga bukan yang gampangan,"

Pohon HujanWhere stories live. Discover now