Rasionalisasi

13 0 0
                                    

Tentunya, pada beberapa titik lepas, aku tidak akan menyangkal kenyataan bahwa aku berharap tidak ada yang berubah sekalipun selama sebelas tahun ini sudah terjadi begitu banyak hal. Baik yang selalu aku pendam, ataupun yang aku yakini untuk berbagi diceritakan. Tertata rapih tanpa cacat dan pudar layaknya memori-memori dalam slot-slot ingatan otakku. Masih dalam kondisi tak bercelah dan kadar warna yang sama.

Begitu juga perkara kenangan tentang Papi. Bahkan hanya ketika dalam kondisi menerawang kembali, setiap nyaman yang Papi berikan dari senyuman pagi sebelum aku berangkat sekolah, terasa begitu nyata. Seolah pagi ini Papi juga mengucapkan kalimat semangat saat aku akan berangkat bekerja.

Papi, Saoirse sangat merindukan Papi. Bukan berarti Saoirse belum merelakan, hanya saja rindunya semakin parah saja setiap Saoirse sadar hari ini harus berdiri tegak sendiri.

"Ngerasa canggung banget ya, gak ngerti harus bahas apa," Aidan akhirnya buka suara setelah kecanggungan di ruang tamu rumah Dinda selama setengah jam setelah Dinda dan Angga berangkat pergi.

Aku mengangguk mengiyakan tanpa ada kalimat lanjutan, karena sama saja aku gak tahu harus bilang apa.

"Liat Angga sama Dinda masih sama seperti waktu masih SMA dulu, rasanya gak nyangka aja udah belasan tahun berlalu,"

"Ya mungkin bagi lo gak kerasa, tapi bagi gue kerasa banget," aku menyadari ada nada sindiran dalam kalimatku.

Aidan tersenyum. "Maaf,"

"Untuk apalagi?" jengah. Sejujurnya terasa begitu jengah mendengar kata maaf yang keluar dari mulut Aidan, mungkin memang yang aku tunggu selama sebelas tahun ini memang bukan pernyataan maaf darinya.

"Karena udah maksa-maksa nganterin kamu pulang, trus sekarang kita canggung seperti ini," ya, rasa jengah yang aku rasakan mungkin juga karena nyatanya Aidan meminta maaf atas apa yang terjadi setelah kami kembali bertemu beberapa hari ini. Bukan perkara dia sudah melukaiku selama sebelas tahun ini.

Aku mendengus kasar, "Ya kalo gitu udah pulang sana,"

"Aku diusir nih?"

"Kalo ngerasa aja sih, dah sana pulang. Gue juga capek pengen rebahan," rasanya butuh usaha banget untuk memperlihatkan tatapan nyalang penuh amarah kepada Aidan.

Aidan lalu mengangguk kemudian tersenyum cerah. "Besok mau berangkat bareng?"

"Gak usah. Gue bawa mobil sendiri," jawabku sambil mengantarkan Aidan keluar rumah menuju mobilnya yang terparkir di sisi jalan depan rumah Dinda.

"Kalau begitu sampai ketemu di kantor ya," senyuman ramah itu masih saja terpatri pada wajah Aidan yang memang, terasa tidak berubah sekalipun sebelas tahun sudah berlalu. Lalu dengan tidak sopannya, Aidan mengusap ujung kepalaku seolah kami masih seakrab dulu. "Aku pulang dulu,"

Tentu, tanpa bisa aku pungkiri, entah karena sudah malas untuk kembali berbohong sama diri sendiri, atau sekedar sudah lelah dengan penantian, atau mungkin juga mulai merasa gelisah akibat semesta mulai kembali bekerja, aku menyukai sentuhan itu.

Aku dengan sengaja mendengarkan setiap detak jam yang berbunyi memenuhi kamar dan ruang pendengaran, menemani setiap keraguan yang aku rasa semakin menjadi-jadi mengingat kini hampir setiap hari, sosok Aidan menyita setiap sudut pandang yang mampu aku edarkan di kantor. Mungkin dia tidak bermaksud, tapi memang dampak keberadaan dia di sekitarku masih sama tidak masuk akalnya seperti saat dia belum balik.

Awalnya aku merasa aku bakalan terbiasa sama kondisi dimana dia uda balik dan semakin seenaknya lalu lalang di sekitaranku. Tapi itu hanyalah sebuah penilaian yang terlalu baik yang bisa aku lakukan untuk diriku sendiri, karena nyatanya memang tidak mampu. Bahkan hanya untuk berpura-pura terluka saja tidak bisa.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 31, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pohon HujanWhere stories live. Discover now