BAB III

29 3 6
                                    

Sabtu malam pukul tujuh, Kyan melihat Lucy berlari tergesa-gesa menghampirinya.

"Hah ... maaf, aku terlambat ... hah ... lima belas menit!" ujar Lucy sambil mengatur napas dan memegang kedua lututnya, napasnya memburu tak beraturan.

Kyan tersenyum, sebenarnya lima belas menit bukan waktu yang lama untuk menunggu, apalagi yang ditunggu adalah perempuan ini. Perasaannya semakin membuncah saat ia melihat Lucy datang dengan baju polos selutut berwarna merah jambu tanpa lengan, ada kerutan di pinggangnya, ia membawa tas kecil tali panjang di samping, rambut cokelat gelapnya dibiarkan terurai menutupi leher, sedikit tak teratur karena perempuan itu harus berlari teburu-buru.

"Kita akan berangkat setelah kau siap," ujar Kyan.

"Aku siap ... hah ... oke, kau benar! Tunggu sebentar!"

Lucy mengatur napasnya lagi hingga benar-benar teratur kemudian berdiri tegak, tersenyum melihat Kyan yang tampan walau masih berpenampilan layaknya kutu buku, kacamata tebal masih setia menghiasi wajahnya hanya saat ini ia tidak membawa gitar.

"Luke tiba-tiba datang ke apartemenku, menggeledah seisi dapur karena kelaparan. Aku meninggalkannya sendirian di sana. Apa kau sudah menunggu lama? Kau mengirimiku pesan bahwa kau sudah ada di sini sejak pukul enam."

Lagi, Kyan berubah gugup dan menggosok hidungnya tiga kali.

"Oh ... aku ... ya ... aku ada urusan di tempat ini dan menyelesaikannya sebelum bertemu denganmu."

"Masalah penampilan panggungmu?" tanya Lucy.

"Ya! Masalah itu, dan ... sepertinya aku akan senang bernyanyi di sini dengan kontrak yang lama," jawaban gugup Kyan membuat Lucy mengerutkan kening dalam. Sebenarnya ada rasa ingin tahu yang besar dalam diri Lucy untuk mengorek informasi lebih banyak tentang Kyan, tetapi ia menahannya dan memilih untuk diam.


"Oke, jadi ... ke toko mana kau akan mengantarku?"

"Oh, kita tidak langsung pergi ke sana! Aku akan mengajakmu berjalan-jalan lebih dulu. Apa kau keberatan naik motor?"

"Aku tidak keberatan naik apa pun, bahkan jika harus berjalan kaki."

Kyan tersenyum, inilah yang disukainya dari Lucy, kesederhanaan.

"Well, aku tidak sejahat itu hingga membiarkanmu berjalan kaki dalam jangka waktu yang lama, Lu."

Mata Lucy membulat. "Apa kau akan mengajakku pergi hingga larut malam?"

Kyan tersenyum. "Kita lihat saja."

Ia berjalan menuju tempat motornya diparkir bersama Lucy dan naik ke motor. Motor besar berwarna putih, bergaya dan berkelas. Lucy bahkan tidak percaya kalau Kyan hanya seorang penyanyi kafe bila dilihat dari motornya saja.

"Ayo naik! Apa kau meragukan sesuatu?" tanya Kyan sambil menyodorkan helm pada Lucy.

Lucy menggeleng dan menyembunyikan kecurigaannya. "Tidak." Kemudian ia mengenakan helm warna putih dan naik ke belakang Kyan, sedikit kesusahan lantaran motor itu cukup tinggi baginya.

Kyan menyalakan motornya.

"Siap?"

"Ya."

"Kau bisa berpegang padaku bila takut jatuh, tapi aku janji tidak akan mengebut."

"Oke."

Lucy berpegangan pada pinggang Kyan dengan malu-malu. Walau tidak begitu dekat, tetap saja Lucy masih bisa mencium bau tubuh Kyan dari belakang, perpaduan antara wood dan citrus.

LežTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang