BAB XIII

8 1 0
                                    

Lucy pergi ke kantor sedikit lebih siang karena perdebatan dengan Kyan tentang harus ada yang mengantarnya pergi bekerja. Lucy tahu niat Kyan baik, kekasihnya ingin agar tidak ada hal buruk yang terjadi dengan dirinya lagi, namun Lucy lebih khawatir pada Hannah, meskipun Kyan menegaskan bahwa apartemennya sangat aman.

Ada suara orang lain di dalam ruangan Gio yang juga menjadi ruangannya, seorang perempuan yang suaranya familiar. Saat masuk, tampak sosok perempuan yang ia kenal berdiri di dekat si Bos dengan tangan menyila. Gio duduk dengan tenang, namun matanya menatap tajam pada Lucy.

"Wah! Apa dia selalu datang terlambat?" sindir perempuan itu, namun tak ada tanggapan dari Gio. Gio kembali pada pembicaraan, mengabaikan keberadaan Lucy, termasuk tidak menanggapi sindiran perempuan itu, Jessica Ranford.

"Kupikir kau akan mundur, ternyata aku salah besar. Kau malah mendekat pada orang yang seharusnya kujauhkan darimu," Jessi seakan belum puas menyindirnya.

Lucy mengernyitkan dahinya, sepertinya ia tahu ke mana arah pembicaraan Jessi.

"Maaf? Kau berbicara padaku?"

Jessi memutar bola matanya kesal. "Tentu saja!" Perempuan itu memutari kursi kemudian duduk dengan angkuhnya. "Siapa lagi? Seharusnya kau sudah mati! Menyusul saudaramu itu dan Sanford."

"Tunggu! Jadi ... kau yang merencanakan semua ini?" tanya Lucy memiringkan kepalanya, mencoba mencerna perkataan Jessi.

"Salah satunya. Wilder pemegang kendali utama."

Lucy menatap Gio marah. "Benarkah? Kau berusaha untuk menyingkirkanku, Gio?"

"Aku sudah memberimu penawaran dan kau menolaknya," ujar Gio dingin, tanpa rasa bersalah. Gio menatap Jessi. "Kita tidak harus membicarakan semua ini dengannya, Jessi." "Kenapa tidak kau sendiri yang membunuhku?" Lucy bertanya dengan sengit.

"Di mana sopan santunmu terhadap penguasa? Lagi pula, kau pikir kami mau melakukan pekerjaan kotor seperti itu? Penolakanmu pada Gio adalah keputusan yang salah, tapi bukan itu alasan yang membuatmu ada di daftar hitam kami," terang Jessi dengan santai.

Kini Lucy tahu maksud Jessi, siapa pun yang membuat kekacauan di Circle A akan masuk dalam daftar hitam dan dieksekusi, mungkin sekarang adalah waktu bagi Lucy.

"Kau terlalu sulit dilenyapkan, kau memiliki back up yang berpengaruh. Tapi tidak masalah! Sebentar lagi para back up yang rela berkorban untukmu akan kami singkirkan terlebih dahulu. Jadi, apa kau mau melihat mereka mati? Atau kau mau menyerahkan diri?" tanya Jessi sambil tersenyum sinis.

"Tidak keduanya!" jawab Lucy tegas.

"Well, hidup adalah pilihan, Lucy." Jessi bangkit dari duduknya. "Jangan lupa, kau adalah orang yang menyebabkan Kyan tidak mau lagi menyanyi. Selama kau ada di sekitarnya, dia tidak akan bisa meraih mimpinya."

Jessi menatap Gio. "Kita bicarakan ini nanti di rumah, Gio."

Jessi keluar dari ruangan, Lucy terdiam. Ia mau saja berkorban demi orang lain, tapi ia tidak mau mengorbankan orang lain untuk dirinya.

"Tawaranku masih berlaku untukmu, Lucia," ujar Gio datar, tanpa melirik sedikit pun pada Lucy.

Lucy tidak bisa berkata apa pun, tidak pula sanggup berpikir jernih. Benarkah menerima tawaran Gio adalah hal yang baik untuk semua? Tapi ia tidak bisa mengkhianati perasaannya, Kyan tetaplah laki-laki yang paling dicintainya dan itu adalah mutlak.

Setelah pertemuan dengan Jessi, Gio tidak ada di kantor. Lucy tidak bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Tidak adanya Olivia dan juga Elly menambah suasana hatinya memburuk. Sepintas ia berpikir, bukankah menyusul mereka berdua adalah pilihan yang paling baik? Dengan begitu tidak ada lagi beban yang harus dipikulnya. Lucy menggeleng, ia bukan perempuan macam itu! Kalau ia mati sekarang, ia akan kalah.

LežTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang