BAB XV

13 1 0
                                    

Halaman NC Times sudah dipenuhi oleh massa meski jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Mereka membawa berbagai macam tulisan-tulisan besar yang menuntut agar NC Times ditutup dan para anggota Circle A yang bersalah dijatuhi hukuman. Mereka berteriak, bahkan membakar boneka besar bertuliskan nama Wilder.

Lucy melihat dari balik jendela ruang kerjanya. Ini chaos, keramaian tidak hanya di depan gedung NC Times saja, selama perjalanan menuju kantor bersama Kyan tadi, ia juga melihat beberapa orang berkerumun di pinggir jalan, di halaman gedung pemerintahan, mobil polisi berkeliaran. Benar apa kata Luke, New York akan menjadi ramai dan kacau.

Seseorang masuk ke ruangan, wajahnya kusut. Ia membetulkan letak dasinya dan kemudian duduk di kursinya.

"Apa kau puas? Apa kau puas, Lucia?" nada laki-laki itu meninggi, menatap Lucy marah seakan ada kobaran api di matanya.

Lucy mendadak kaku. "A ... apa maksudmu?"

Gio bangkit, berjalan mendekati Lucy yang sedang berdiri di dekat jendela, mengeliminasi jarak di antara mereka berdua.

"Kau pasti yang melakukan semua ini! Akunmu yang menyebarkan semua itu tadi malam."

Lucy terdiam sesaat, kemudian ia merasa bahwa Gio telah mengakui kekalahannya. Lucy tersenyum penuh kemenangan. "Memang aku."

"Apa kau sudah bosan hidup?"

Gio memegang kedua pipi Lucy dengan tangan kirinya saja, biasanya Lucy takut, namun kali ini ia berani, lebih tepatnya mencoba untuk berani.

"Aku bosan hidup dalam kebohongan," jawab Lucy, tidak menatap pada mata Gio.

"Kau akan mendapatkan masalah karena bermain dengan kami!"

"Sebelum itu terjadi, kau dulu yang akan tertimpa masalah!"

Wajah Gio terlihat kaget. Tentu saja! Reaksi Lucy tidak seperti yang dipikirkannya.

Gio semakin mendekat, napasnya kini terasa di wajah Lucy, memburu. Gio beralih ke telinga Lucy.

"Aku menyesal tidak menyekapmu saat itu, karena bila aku menyekapmu, membunuhmu tidaklah sulit seperti sekarang ini," bisik Gio, kemudian pergi keluar dari ruangan.

Lucy menarik napas, mencoba untuk menenangkan panasnya. Perlahan tubuhnya merosot, ia terduduk di lantai. Tangan kanannya memegang dada, jantungnya berdebar. Ia takut, tentu saja! Namun rasa takutnya tidak berpengaruh apa-apa, keinginan untuk membalas mereka mengalahkan rasa takut itu.

^^^

Luke berdiri di ruangan Kepala Polisi, menunduk diam. Ia tahu bahwa dirinya pasti terkena masalah, cepat atau lambat. Ia tidak khawatir terlalu banyak karena Sandra selalu menolongnya, tapi hari ini Sandra tidak ada di kantor.

"Kau tahu apa kesalahanmu?"

Luke mengangguk, laki-laki di hadapannya tertawa sinis.

"Sandra biasanya menolongmu, kini kau tidak punya siapa pun. Kau dikeluarkan dari anggota kepolisian!" ujar Kepala Polisi Patrick Aston.

Luke hanya diam. Ia tidak akan melawan Patrick Aston, namun ia tetap akan menolong kakaknya walau saat ini ia bukan lagi seorang polisi. Luke melepas topinya, memberi gerakan hormat.

"Terima kasih atas segala bimbingan Anda, Tuan."

Luke menurunkan tangannya, mengambil langkah mundur kemudian keluar ruangan. Ini cukup serius. Kehilangan mimpi yang telah lama diidamkannya, namun ia tidak menyesal, karena dengan begitu ia telah membantu kakaknya.

LežTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang