Pagi yang seharusnya hening, dipecahkan teriakan-teriakan keras seorang wanita. Setiap hari, semua orang di Desa Tampuk mendengar teriakan-teriakan itu. Dan mereka sudah terbiasa mendengarnya, walaupun merasa terganggu juga. Bukan hanya di pagi hari, tapi hampir setiap saat teriakan-teriakan itu selalu terdengar.
Teriakan itu datang dari sebuah gubuk kecil yang sudah rapuh. Dinding-dindingnya sudah penuh lubang, dan atapnya sudah banyak yang berjatuhan. Hampir semua orang yang melintas di depan gubuk kecil itu selalu menyemburkan ludah, disertai sumpah serapah. Dan teriakan-teriakan pagi ini, membuat orang-orang yang melintas di depan gubuk kecil itu jadi menggerutu. Mereka menyumpah serapah sambil menyemburkan ludahnya.
"Huh, mengganggu! Seharusnya dibuang saja ke tengah hutan, biar dimakan binatang buas!" dengus seorang laki-laki tua menggerutu, sambil menyemburkan ludahnya tepat di depan pintu gubuk kecil yang terbuka sedikit.
"Sudah, Ki. Biar saja," timpal perempuan tua yang berjalan di sampingnya.
Teriakan-teriakan dari dalam gubuk reyot itu berhenti. Dan kini, berganti tangisan yang terisak, begitu memilukan. Tapi, sebentar kemudian tangisan itu sudah berganti lagi dengan gumaman-gumaman kecil, menendangkan lagu yang tidak jelas iramanya. Kembali, sebentar kemudian sudah berganti tangisan terisak yang memilukan.
Kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang menyemburkan ludahnya lagi di depan gubuk kecil ini. Dan kebencian mereka oleh gangguan teriakan-teriakan tadi pun langsung berganti, kepiluan. Isak tangis itu memang membuat hati mereka yang mendengarnya jadi trenyuh.
"Kasihan...," desah seorang gadis muda yang melintas di depan gubuk kecil dan reyot itu.
"Iya. Tidak bisa kubayangkan, seandainya aku yang jadi dia," sambut seorang gadis lain yang berjalan bersamanya.
"Seharusnya dia dibiarkan saja hidup bebas," kata gadis itu lagi.
"Sembarangan saja kalau bicara. Dia bisa membunuh orang lagi, kalau dibiarkan bebas," celetuk seorang gadis lagi yang bertubuh gemuk.
"Ah, sudahlah. Ayo terus saja ke sungai," selak seorang gadis lainnya.
Gadis-gadis itu tidak lagi berbicara, dan terus berjalan menuju sungai. Sementara, isak tangis yang memilukan dari dalam gubuk itu pun sudah tidak lagi terdengar. Kini suasana begitu sunyi, sedikit pun tak terdengar suara dari dalam gubuk di pinggir jalan Desa Tampuk ini.
Sementara, matahari semakin menggelincir naik ke langit yang bening. Sedikit pun tak terlihat awan berarak. Semua penduduk Desa Tampuk sudah sejak tadi sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jalan tanah yang tadi masih kelihatan sepi, kini sudah ramai dipenuhi orang yang hendak berangkat menuju ke pekerjaannya masing-masing.
Hampir semua orang yang melintasi gubuk kecil itu selalu berhenti sebentar. Bermacam-macam pembicaraan terlontar dari mulut mereka, dengan pendapat yang berbeda. Tapi, suara-suara dari dalam gubuk kecil itu sudah tidak lagi terdengar. Saat itu terlihat seorang perempuan tua renta yang tubuhnya begitu kurus, berjalan tertatih-tatih menghampiri gubuk kecil ini.
Tak ada seorang pun yang menghiraukan. Bahkan tak ada seorang pun yang meliriknya, saat perempuan tua kurus dan bungkuk itu masuk ke dalam gubuk ini. Bau debu langsung menyengat hidungnya, saat perempuan tua itu berada di dalam. Tampak seorang wanita yang masih muda usianya, tengah duduk lemah di atas tumpukan jerami kering. Kedua kakinya terpasung balok kayu yang cukup besar dan terikat rantai besi yang sangat kuat. Wanita muda yang kotor berdebu ini hanya melirik sedikit saja pada perempuan tua kurus itu.
"Kubawakan makanan kesukaanmu, Angki," kata perempuan tua kurus itu.
Suara perempuan tua itu terdengar serak dan kering sekali, namun nadanya terdengar ditahan. Dia melangkah tertatih menghampiri wanita yang kedua kakinya terpasung itu. Sebuah bungkusan daun waru diletakkan di depannya. Tapi, wanita muda bertubuh kotor dan berbaju lusuh penuh sobekan itu hanya melirik sedikit saja. Kemudian, matanya menatap tajam pada perempuan tua bertubuh kurus kering yang kini sudah duduk di depannya.
"Kenapa kau selalu mengirim makanan untukku, Nyai Suti?" terdengar datar suara wanita terpasung yang dipanggil Angki itu.
Sementara wanita yang dipanggil Nyai Suti hanya tersenyum saja. Dibukanya bungkusan daun waru itu ternyata berisi makanan dengan ikan bakar yang kelihatannya begitu sedap. Nini Angki sempat menelan air liurnya saat melihat makanan yang memang sangat disukainya. Tapi makanan itu tidak disentuh sedikit pun juga, dan hanya dipandangi saja beberapa saat. Kemudian kembali matanya menatap dengan sinar yang begitu tajam pada wajah tua penuh keriput di depannya.
"Makanlah, Nini. Semua ini aku buatkan hanya untukmu," kata Nyai Suti diringi senyum manis tersungging di bibirnya yang kering keriput.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Nyai. Mereka pasti akan membencimu," kata Nini Angki.
"Aku tidak peduli!" dengus Nyai Suti. "Mereka semua kejam. Aku tidak suka cara mereka memasungmu sampai bertahun-tahun begini. Kau manusia, Nini. Kau bukan binatang. Tidak sepatutnya diperlakukan begini."
Nini Angki terus memandangi perempuan tua kurus ini, namun sinar matanya tidak lagi tajam seperti tadi. Terlihat titik-titik air mengambang di pelupuk matanya. Perlahan tangannya bergerak menjulur, meraih bungkusan daun waru itu. Kemudian makanan yang dibawakan perempuan tua kurus ini mulai dinikmatinya.
Nyai Suti tersenyum melihat gadis dalam pasungan ini menikmati makanannya. Di tuangkannya air bening dari dalam kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang dibawa, lalu disodorkannya pada Nini Angki Dengan sikap sedikit ragu-ragu, Nini Angki menerima gelas bambu yang kasar buatannya ini. Kemudian, isinya diteguk hingga tandas tak bersisa.
"Habiskan, Nini. Aku senang kalau kau menghabiskan semua makanan yang kubawa," ujar Nyai Suti senang.
"Terima kasih, Nyai," ucap Nini Angki.
Sampai matahari berada di atas kepala, Nyai Suti baru keluar dari dalam gubuk kecil yang reyot di pinggir jalan itu. Tapi baru beberapa langkah gubuk itu ditinggalkan, tiba-tiba saja hatinya jadi tersedak. Bahkan ayunan kakinya langsung terhenti, begitu melihat seorang laki-laki setengah baya berjalan dari arah yang berlawanan. Di belakangnya, mengikuti empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot. Di pinggang mereka masing-masing terselip sebilah golok. Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna biru muda, menggenggam tongkat berwarna hitam di tangan kanan.
"Ki Rampak...," desis Nyai Suti perlahan.
Seluruh tubuh Nyai Suti bergetar menggigil, seperti terserang demam. Dia tahu, laki-laki setengah baya yang berjalan ke arahnya dan diiringi empat orang bertubuh tinggi tegap berotot itu adalah Kepala Desa Tampuk ini. Dan dialah yang memerintahkan untuk memasung Nini Angki. Mereka berhenti berjalan setelah dekat dengan Nyai Suti. Sedangkan perempuan tua bertubuh kurus kering itu hanya menundukkan kepala saja. Tubuhnya yang sudah bungkuk, semakin terlihat terbungkuk.
"Apa yang kau lakukan di sana, Nyai?" Tanya Ki Rampak sambil menunjuk gubuk kecil, tempat Nini Angki dipasung.
"Aku..., aku hanya memberi makanan saja," sahut Nyai Suti tergagap.
"Sudah berapa kali kuperingatkan, Nyai. Jangan lagi memberi makanan padanya!" bentak Ki Rampak kasar.
"Tapi...."
"Diam...!" bentak Ki Rampak lantang.
Nyai Suti seketika terdiam. Sementara tubuhnya jadi semakin keras menggigil ketakutan. Memang sudah berulang kali kepala desa itu memergoki Nyai Suti yang datang mengunjungi Nini Angki. Terlebih lagi memberi makanan pada gadis pasungan itu. Padahal, hal itu adalah larangan. Tapi entah kenapa, Nyai Suti tidak pernah mengindahkan larangan itu. Dan setiap hari, perempuan tua ini selalu datang memberi makanan pada gadis pasungan itu.
"Dengar, Nyai ini peringatanku yang terakhir. Kalau kau masih saja suka memberi makanan padanya, aku tidak segan-segan memberi hukuman yang berat padamu," ancam Ki Rampak.
Nyai Suti hanya bisa diam membisu saja, tidak berani lagi membuka suara. Sementara, Ki Rampak sudah melangkah pergi diikuti empat orang pengawalnya. Nyai Suti masih tetap diam memandangi kepergian kepala desa itu. Dan dia baru melangkah pergi setelah Ki Rampak tidak terlihat lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan dan tertatih. Kepalanya juga terus tertunduk, mengikuti ayunan langkah kakinya yang perlahan.
Langkah perempuan tua itu baru terhenti setelah tiba di depan rumahnya yang kecil dan kumuh. Perlahan kepalanya terangkat naik. Dan pandangannya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua renta yang tengah menggosok-gosok mata cangkul. Di adalah Ki Sampar, suami Nyai Suti. Laki-laki tua renta yang sudah berusia delapan puluh tahun itu menghentikan pekerjaannya. Langsung dipandangnya Nyai Suti yang berdiri saja mematung memandanginya.
"Tadi kulihat Ki Rampak lewat sini. Kau bertemu dengannya, Nyai?" Ujar Ki Sampar dengan suara bergetar, karena termakan usia.
Nyai Suti tidak menyahut, tapi melangkah menghampiri. Tubuhnya segera dihenyakkan di samping suaminya. Wajahnya masih kelihatan murung. Pandangannya begitu kosong, menatap lurus ke depan, bagai tidak lagi memiliki gairah hidup. Sedangkan Ki Sampar memandanginya dengan kening semakin banyak berkerut Dia tahu, apa yang telah terjadi pada istrinya.
"Aku sudah katakan padamu, Nyai. Tidak ada gunanya berbelas kasih pada Nini Angki. Semua orang jadi membenci dia. Bahkan anak-anak kita sendiri tidak ada lagi yang sudi datang. Sudahlah, Nyai.... Tidak perlu lagi ke sana, walau hanya mengantarkan makanan saja," kata Ki Sampar lembut.
"Aku kasihan melihatnya, Ki. Dia sudah hidup sebatang kara, bahkan sekarang harus menjalani pasungan," ujar Nyai Suti lirih.
"Aku tahu, Nyai. Kita boleh saja kasihan pada orang lain. Tapi, rasa kasihan itu jangan sampai membuat kita sendiri jadi sengsara. Sudah hidup kita susah, malah sekarang dibenci orang. Semua itu hanya karena kau sering datang memberi makanan pada Nini Angki," kata Ki Sampar, bernada menyesali perbuatan istrinya.
Nyai Suti hanya diam saja. Memang sulit berbuat baik pada seseorang. Dan terkadang, orang lain tidak mau mengerti terhadap perbuatan baik yang dilakukan. Orang biasanya hanya melihat dari luar saja, tidak mau melihat jauh ke dalam. Dan Ki Sampar sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap semua orang di Desa Tampuk ini.
"Sudah kau masuk sana, Nyai. Sudah siang, apa kau tidak mau lagi menyediakan makan buatku...?" Kata Ki Sampar lagi.
Nyai Suti bangkit berdiri tanpa berkata apa-apa lagi. Dia melangkah masuk ke dalam rumahnya kecil dan sudah hampir rubuh ini. Sementara, Ki Sampar meneruskan pekerjaannya, menajamkan mata cangkul. Sekilas matanya masih melirik istrinya sebelum menghilang ke dalam rumah. Dia hanya bisa menghembuskan napas panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
78. Pendekar Rajawali Sakti : Perawan Dalam Pasungan
ActionSerial ke 78. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.