BAGIAN 2

513 21 0
                                    

Kematian dua orang pengawal Ki Rampak, membuat Desa Tampuk jadi gempar. Tapi, tak ada seorang pun yang berani membicarakannya. Dan kalaupun membicarakan, selalu dengan sikap hati-hati sekali, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar. Tapi, di antara penduduk desa itu hanya Nyai Suti yang kelihatan gembira atas kematian dua orang pengawal Kepala Desa Tampuk.
"Biar manusia-manusia durjana itu mampus semua!" dengus Nyai Suti.
"Jangan sembarangan kalau bicara, Nyai," tegur Ki Sampar.
"Sudah lama aku berharap agar ada orang yang membunuh orang-orang durhaka itu," Cetus Nyai Suti lagi.
"Sudah, Nyai. Bisa celaka kalau ada orang yang mendengar."
"Biar saja. Mereka semua pengecut! Sudah tahu hidup tertindas, tapi tidak juga bertindak apa-apa.
Huh! Kalau saja aku masih muda, sudah kuobrak-abrik manusia-manusia iblis itu," dengus Nyai Suti, meluapkan semua ganjalan yang selama ini tertekan dalam hatinya.
Sedangkan Ki Sampar hanya menggeleng-geleng saja. Bisa dimaklumi tumpahan isi hati istrinya. Dan memang di dalam hatinya sendiri dia juga senang kalau ada orang yang bisa mengikis habis kezaliman yang ada di Desa Tampuk. Kepala desa ini memang hidup seperti raja kecil saja. Segala perkataannya merupakan sebuah peraturan yang tidak bisa dibantah sedikit pun juga. Bukan hanya pasangan suami istri berusia lanjut ini saja yang pernah merasakan kezaliman Ki Rampak. Bahkan, semua penduduk Desa Tampuk ini sudah merasakannya.
Tapi memang, tak ada seorang pun yang berani menentangnya. Apalagi, Ki Rampak selalu dikelilingi empat orang pengawalnya yang tidak segan-segan menurunkan tangan kejam. Buktinya sekarang, sudah dua orang yang tewas dalam semalam. Tapi, itu bukan berarti kekuatan Ki Rampak sudah berkurang banyak. Memang masih ada pengawal-pengawal lain yang tidak kalah dinginnya daripada empat orang pengawal utamanya itu.
Apalagi, telah bertahun-tahun Ki Rampak ditumpangi hidup oleh adiknya yang sudah malang melintang dalam rimba persilatan. Dan semua orang di Desa Tampuk sudah mengenalnya. Bukan hanya kepandaiannya saja yang tinggi, tapi juga kekejamannya tidak kalah dibanding Ki Rampak. Adik kepala desa itu biasa dipanggil dengan nama Ki Gagak Bulang.
"Aku akan ke ladang dulu, Nyai," kata Ki Sampar memutuskan lamunannya.
Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar dari rumahnya. Dia tidak ingin istrinya terus mengoceh, menumpahkan ganjalan dalam dadanya yang sudah lama ditahannya. Perasaan itu paling tidak sudah ditahan selama Ki Rampak menguasai desa ini dan mengangkat dirinya sendiri menjadi kepala desa. Tanpa menunggu jawaban istrinya lagi, Ki Sampar terus saja melangkah meninggalkan rumahnya.
Sementara, Nyai Suti juga bergegas membungkus makanan. Dan tak lama kemudian laki-laki tua itu sudah keluar dari rumahnya. Langkahnya tampak tertatih, dengan tubuh terbungkuk. Walaupun sudah begitu renta, tapi jalannya tanpa bantuan tongkat sebatang pun juga. Nyai Suti terus berjalan tertatih-tatih menuju gubuk kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Letaknya di pinggir jalan membelah Desa Tampuk ini. Beberapa orang yang melihatnya kelihatan tidak ambil peduli. Dan bahkan mereka seperti tidak sudi melihat perempuan tua renta yang sudah memasuki gubuk kecil itu.
"Kau sudah dengar apa yang terjadi semalam, Angki...?" Tanya Nyai Suti begitu duduk di depan gadis muda yang terpasung kedua kakinya.
Sedangkan Nini Angki hanya diam saja sambil memandangi. Diambilnya bungkusan daun waru yang dibawa Nyai Suti, lalu dibukanya perlahan-lahan. Tanpa disuruh lagi, dilahapnya makanan yang dibungkus daun waru itu. Nyai Suti tersenyum, dan menuangkan air dari kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang kasar buatannya. Lalu diletakkannya gelas bambu itu ke atas balok yang membelenggu kedua kaki Nini Angki.
"Dua orang pengawal Ki Rampak dibunuh orang semalam," kata Nyai Suti melanjutkan.
Nini Angki menghentikan makannya. Di tatapnya perempuan tua itu dalam-dalam. Tapi, sorot matanya terlihat begitu kosong. Tak berapa lama, kembali, dinikmati makan tanpa berbicara sedikit pun juga. Sedangkan Nyai Suti tidak bicara lagi, dan terus memperhatikan perempuan terpasung yang tengah menikmati makanan.
"Kalau mereka sudah habis, kau pasti akan bebas, Nini," kata Nyai Suti lagi.
"Tidak ada seorang pun yang akan membebaskan aku, Nyai. Kecuali diriku sendiri," ujar Nini Angki datar.
"Ah! Jangan dihiraukan orang lain. Aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan bebas," hibur Nyai Suti membesarkan hati gadis ini.
Tapi, Nini Angki hanya tersenyum kecil. Dilemparkannya daun waru bekas bungkusan makanannya begitu saja. Kemudian diambilnya gelas bambu dan isinya diteguk sampai tandas tak bersisa lagi. Nyai Suti menambahkan lagi air bening ke dalam gelas yang sudah kosong itu. Sementara bibirnya yang keriput tetap menyunggingkan senyum. Entah kenapa, sejak tadi perempuan tua itu selalu tersenyum. Mungkin hatinya gembira melihat dua orang pengawal Ki Rampak mati terbunuh semalam. Bahkan peringatan Ki Rampak tidak dipedulikannya lagi. Dia benar-benar sudah nekat.
"Nyai! Sebaiknya kau tidak perlu lagi datang ke sini. Aku tidak ingin kau mendapat kesulitan. Lagi pula, semua orang di desa ini jadi membencimu," kata Nini Angki pelan.
"Biarkan mereka membenciku, Nini. Mereka pasti akan mendapat ganjarannya, karena telah memasungmu," sahut Nyai Suti tegas.
"Aku tetap akan mengunjungimu."
"Nyai.... Apa kau tidak ingat, kenapa aku sampai dipasung begini...?"
"Aku tahu. Tapi aku yakin, kau tidak bersalah. Dan bukan kau yang melakukannya, Nini. Dan kau Juga tidak gila. Hanya mereka saja yang menganggapmu gila, Nini„" sahut Nyai Suti tetap tegas nada suaranya.
Nini Angki tersenyum tipis. Begitu hambar senyumannya. Kepalanya yang ditumbuhi rambut panjang teriap tak teratur, bergerak menggeleng beberapa kali. Nyai Suti melihat adanya kesenduan dalam bola mata yang lesu tanpa gairah hidup lagi itu.
Beberapa saat mereka terdiam tak berbicara sedikit pun juga. Dan beberapa kali pula sorot mata mereka bertemu. Sementara, matahari terus beranjak naik semakin tinggi. Sinarnya yang terik, menerobos masuk melalui lubang yang begitu banyak terdapat di dinding dan atap gubuk ini. Nyai Suti beranjak bangkit berdiri Didekatkannya kendi tanah liat ke samping sebelah kiri Nini Angki
"Aku pulang dulu, Nini," pamit Nyai Suti.
"Terima kasih, Nyai," ucap Nini Angki perlahan.
"Tidak lama lagi, kau pasti bebas Nini, percayalah padaku," kata Nyai Suti mantap.
Nini Angki hanya tersenyum saja. Masih terlihat hambar sekali senyumannya. Sementara, Nyai Suti sudah melangkah keluar dari dalam gubuk pasungan ini. Tapi baru saja mencapai pintu, Nini Angki sudah memanggilnya. Nyai Suti segera memutar tubuhnya berbalik.
"Ada apa, Nini?" Tanya Nyai Suti lembut, seperti seorang ibu pada anak gadisnya yang manja.
"Nyai, boleh aku minta sesuatu pada mu...?"
"Katakan saja. Apa yang kau minta, mudah-mudahan bisa kuturuti."
"Tolong Bawakan selembar kain hitam, Nyai?" pinta Nini Angki.
"Kain hitam...? Untuk apa, Nini?"
"Udara di sini terlalu dingin. Barangkali saja bisa sedikit menghangatkan tubuhku, Nyai."
"Bagaimana kalau kubuatkan baju saja, Nini? Biar kau bisa memakainya," usul Nyai Suti.
"Itu juga boleh. Tapi aku minta yang berwarna hitam. Kalau kau tidak keberatan, Nyai."
"Nanti sore akan kubawakan. Kebetulan siang ini ada pasaran, jadi aku bisa membelikan baju buatmu," kata Nyai Suti.
"Terima kasih, Nyai."
Nyai Suti tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Kini dia terus berjalan tertatih-tatih, tidak mempedulikan pandangan orang padanya. Sedangkan dari dalam, Nini Angki terus memandangi punggung perempuan renta itu sampai tak terlihat lagi.

78. Pendekar Rajawali Sakti : Perawan Dalam PasunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang