Pagi ini aku terbangun dengan meringis ketika merasakan kepalaku semakin sakit. Rasanya ada jarum yang berkali-kali menusuk kepalaku. Tanpa sadar aku menggigil di balik selimut. Aku benar-benar tidak kuat, bahkan aku menggumamkan parauku. Susah payah, kulirik ke arah jam dinding yang menempel di dinding kamar dekat jendela. Aku meneguk ludah untuk membasahi kerongkongan, pagi ini aku yakini harus menahan sakit ini sendirian. Kakak pasti sudah berangkat ke kantornya.
Sayup-sayup, aku mendengar sebuah ketukan yang sangat menggangguku. Belum sampai ketukan ketiga, pintu kamarku sudah dibuka oleh seseorang. Susah payah aku menatap orang itu.
Deg!
Aku menelan lagi ludahku. Orang itu adalah dia. Kulihat wajahnya yang menyiratkan khawatir. Tunggu! Dia bisa menampilkan sikap khawatirnya? Belum genap aku menceracau keanehan sikapnya, kedua tangan kekar orang itu merengkuhku, menggendongku ke dada bidangnya. Aku perlahan mencium aromanya yang menenangkan. Tanpa sadar, aku pun tak sadarkan diri.
***
Aku mengerjapkan mata perlahan, bau etanol menyeruak di hidung kecilku. Aku memijat kepala perlahan, rasanya sudah mendingan. Aku pun benar-benar tersadar tengah berada di rumah sakit saat kulihat ada selang infus di punggung tanganku.
Aku menoleh, merasakan sedari tadi genggaman hangat di tanganku. Kulirik pria yang menggendongku tadi, dia tengah memejamkan matanya, sangat lama. Apakah dia tertidur?
Brak!
"Dek!" seru seseorang dengan tanpa dosa membuka pintu kamar inapku.
Sontak, pria yang menggenggamku langsung melepaskannya begitu saja. Dia terkesiap dan berusaha memijat pelipisnya karena terjaga mendadak. Langsung memberi sedikit ruang untuk seseorang itu menghampiriku.
"Maafin Kakak, Dek. Maaf," ujarnya sambil menggenggamku dalam tangisannya. Aih, kenapa mellow gitu sih Kakak?
"Kak, sudahlah. Aku baik-baik saja. Tidak malu dengan Bagas?" aku mencoba tersenyum.
Kakak yang menyadari kehadiran Bagas, mulai menghapus air matanya dengan kasar. Berdeham dan melepaskan gengamnya. Kemudian, berbalik ke arah Bagas yang masih berdiri menatapnya dengan datar.
"Terima kasih," sahut Kakak dengan pelan. Masih tidak ingin menunjukkan mukanya di depan Bagas. Mungkin dia masih malu atas perlakuannya tadi.
Bagas menggeleng, "Dia sudah jadi tanggung jawab gue juga, Ndra."
Eh? Maksudnya apa? Sudah jadi tanggung jawabnya? Dia bicara apa sih?
"Apaan sih? Sejak kapan aku jadi tanggung jawab kamu?!" ketusku. Enak saja dia mengaku seperti itu.
Bagas mengernyit. Kulihat dia menghela napas pelan. Kemudian, dia memilih keluar dari ruanganku. Kan, menyebalkan sekali!
KAMU SEDANG MEMBACA
Relung Diam
General FictionDiam. Suatu kata yang menjadi pilihan di saat semua suasana tak mendukung. Bungkam adalah yang terbaik. Diam bukan berarti tak mengerti apapun, tak memahami apapun, tak memedulikan apapun.