Malamnya, aku tidak bisa tidur. Kucoba memejamkan mata agar cepat tidur. Kakak sudah balik lagi ke kantor karena dia masih memiliki pekerjaan yang tadi ditinggalkannya. Dengan masih setengah sadar, kudengar pintu ruangan berdecit pelan disusul dengan suara langkah kaki yang tak terlalu terdengar berisik. Kucium aroma yang sangat familiar, hingga kurasakan sesuatu yang menempel di keningku dengan sangat lama. Perlahan aku mengintip pria itu. Bagas tengah mencium keningku. Eh? Menciumku?! Terlepas dari kekagetan, aku membiarkan Bagas mencium keningku dengan sangat lama. Kenapa aku merasakan kehangatan di hatiku?
***
Beberapa hari kemudian, aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Aku sangat bernapas lega, mengingat rumah sakit tidak akan dengan senang hati menyediakan makanan dan jajan yang berada di pinggir jalan. Akhirnya aku bisa dengan bebas memakan apapun, pergi ke mana pun, kuliah dan bertemu teman-teman.
"Wah, sumringah banget sih kamu, Dek!" seru Kakak dengan tertawa. Aku menatap tajam ke arahnya.
"Berisik!" cetusku.
Aku semakin mempercepat langkahku ke parkiran mobil Kakak, meskipun masih sedikit lemas. Aku melipat dada, bersandar di pintu mobil, menunggu Kakak membuka kuncinya.
Kakak terkekeh, mengelusku perlahan dan membukakan pintu. Sebelum menstarter mobil, deringan hp Kakak terdengar.
"Eh, Gas. Kenapa?
"..."
"Oh, Dina? Dia baru resmi keluar dari rumah sakit."
"..."
"Oh, oke. Selamat kerja, Bro!"
Kakak menutup teleponnya, menatap ke arahku.
"Dek, tadi yang telepon Bagas. Oh, ya, dia lagi keluar kota, ketemu koleganya."
Jadi, dia beberapa hari ini tidak ada di sekelilingku, karena sedang ada di luar kota?
"Dia bakalan balik beberapa hari lagi," tambah Kakak.
"Kok Kakak jelasin panjang lebar kesibukan dia ke aku?" tanyaku dengan kesal. Apa pula hubungan aku sama dia? Ya, iya sih. Aku memang menyukainya, selalu menurut perkataannya.
Kakak menyentil keningku, "Cuma ngasih tau aja kok." Kemudian, Kakak mulai menjalankan mobilnya.
Selama perjalanan, entah kenapa aku lebih suka terdiam. Menghela napas perlahan. Memejamkan mata mungkin adalah pilihan yang cocok untuk saat ini.
Hingga sebuah suara mulai membangunkanku. "Dek ..."
Terjeda. Aku menatap Kakakku yang menggantungkan kalimatnya. Dia tetap fokus membelah jalanan dengan mobilnya.
"Kalau kamu dilamar dengan Bagas, gimana?"
"Hah?!" seruku tak tertahankan. Kakak menutup telinga kirinya dan mendengus. Aku tidak bisa lagi memejamkan mataku kali ini. Jantungku bertalu-talu dengan hebatnya. Astaga!
KAMU SEDANG MEMBACA
Relung Diam
General FictionDiam. Suatu kata yang menjadi pilihan di saat semua suasana tak mendukung. Bungkam adalah yang terbaik. Diam bukan berarti tak mengerti apapun, tak memahami apapun, tak memedulikan apapun.