"Aaa...!"
Suatu jeritan melengking terdengar memecah keheningan malam. Bulan yang bersinar penuh, langsung redup tertutup awan hitam. Seakan-akan, sang dewi malam tersentak mendengar jeritan panjang yang menyayat hati tadi. Belum lagi gema jeritan tadi hilang, mendadak terdengar suara genderang dipukul bertalu-talu.
Suara itu datang dari sebuah bukit yang curam dan terlihat rapuh. Cahaya dari api unggun menyemburat, menerangi tengah-tengah bukit itu. Sekitar sepuluh orang tampak berdiri berjajar mengeliling api unggun. Tampak sesosok tubuh menggeliat-geliat terpancang di tiang, di tengah-tengah api unggun.
Jeritan-jeritan melengking kembali terdengar menyayat. Api yang besar kembali menjilati tubuh yang terpancang di tiang itu. Tidak jauh dari api itu, tampak seorang wanita mengenakan jubah panjang berwarna merah menyala. Tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas.
"Aaa...!" Kembali terdengar jeritan panjang ketika tangan wanita berjubah merah menghentak ke depan. Api langsung berkobar membesar, menimbulkan percikan dan suara gemuruh dari kayu-kayu yang terbakar. Tampak di dalam api itu, sesosok tubuh menggeliat-geliat, kemudian diam lunglai tidak bergerak-gerak lagi.
"Hi hi hi...!" Sambil memperdengarkan suara mengikik, perempuan berjubah merah panjang itu berbalik. Tampak raut wajahnya yang menyerupai tengkorak, hampir tertutup rambut panjang terurai. Sepuluh orang yang mengelilinginya, menjatuhkan diri dan berlutut dengan kepala tertunduk. Mereka semua adalah wanita muda dengan wajah cantik. Pakaian mereka semua berwarna merah dengan ikat pinggang berwarna kuning emas.
Suara genderang yang dipukul bertalu-talu oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, kini berhenti terdengar. Penabuh genderang itu juga berlutut dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Sebentar wanita berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu memandang berkeliling, kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Hi hi hi...!" Tangan kanan wanita berwajah tengkorak itu terangkat perlahan-lahan. Kemudian salah seorang wanita bangkit berdiri, membawa sebuah baki dengan sebuah cawan di atasnya. Kakinya melangkah perlahan-lahan mendekati, lalu berlutut di depan perempuan berjubah merah itu. Dengan sikap hormat, diberikannya baki itu.
Wanita berjubah merah itu mengambil cawan dari atas baki yang disodorkan. Diangkatnya cawan itu tinggi-tinggi, lalu berbalik menghadap api yang masih berkobar besar. Mulutnya bergerak-gerak, kemudian perlahan-lahan tangannya turun. Ditenggaknya isi cawan itu, dan cawannya dibuang ke dalam api. Maka mendadak saja api itu padam.
"Ha ha ha..!" perempuan berjubah merah itu kembali tertawa terbahak-bahak. "Akulah Ratu Bukit Brambang! Mulai saat ini, setiap malam harus ada persembahan darah dari seorang laki-laki muda yang sehat dan perkasa! Ha ha ha...!"
"Hamba akan melayani Yang Mulia Gusti Ratu...!" sahut semua orang yang berada di puncak bukit itu, bersamaan.
"Bagus! Kalian memang harus patuh pada perintahku! Siapa yang mencoba membangkang, yang pantas hanya hukuman mati!" mantap dan lantang suara wanita berjubah merah yang wajahnya mirip tengkorak itu.
"Bakti, Yang Mulia Gusti Ratu...!"
"Ha ha ha...!" perempuan berjubah merah yang mengangkat dirinya sebagai Ratu Bukit Brambang ini tertawa terbahak-bahak. Sebentar Ratu Bukit Brambang memandang berkeliling, kemudian melangkah perlahan-lahan.
Sepuluh orang wanita dan seorang laki-laki bertubuh tegap, bergegas berdiri. Mereka berjalan mengikuti dari belakang. Laki-laki tegap dan berkulit agak hitam itu melangkah paling belakang membawa genderang di pundaknya. Mereka berjalan beriringan perlahan-lahan, melintasi bukit ini.
Suasana di Bukit Brambang itu kini menjadi hening. Tidak lagi terdengar suara, kecuali desir angin malam saja yang menggaung di sekitar bukit itu. Malam terus merayap semakin larut. Sementara bulan pun kembali bersinar penuh, menyibak awan hitam yang tadi sempat menghalanginya.***
Kabut masih menyelimuti sebagian permukaan bumi. Matahari belum lagi sempurna menampakkan diri. Di sebelah barat Bukit Brambang, tampak sebuah perkampungan yang tidak begitu besar. Namun bila dilihat dari bentuk rumah yang ada, dapat dipastikan kalau perkampungan itu sangat makmur. Hari memang masih sangat pagi, tapi penduduk Desa Gedangan ini sudah banyak yang ke luar. Bahkan tidak sedikit yang sudah sibuk di ladangnya.
Saat matahari sudah muncul sempurna di ufuk timur, seluruh penduduk Desa Gedangan tidak ada lagi yang berada di dalam rumah. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Anak-anak berlarian menuju ke sungai. Gadis-gadis bergerombol membawa rinjing cucian dengan canda tawa serta senda gurau mereka yang mewarnai pagi nan cerah ini. Ditingkahi lenguhan lembu dan kicauan burung di dahan-dahan, suasana pagi memang terasa indah.
Anak-anak muda duduk bergerombol menggoda gadis-gadis yang hendak pergi ke sungai. Segala macam celotehan dan gurauan mewarnai canda mereka. Dan semua yang terjadi pagi ini, selalu terjadi di pagi-pagi sebelumnya. Keceriaan memang selalu mewarnai Desa Gedangan. Tak ada kemurungan membias di wajah mereka. Terlebih lagi, saat masa panen sudah dekat. Sehingga membuat keceriaan semakin bertambah di wajah mereka.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau di lereng bukit dekat sungai, terlihat dua orang wanita berbaju merah duduk di atas punggung kuda. Dua orang wanita berwajah cantik itu memperhatikan sekelompok pemuda yang tengah menggoda gadis-gadis.
"Mana yang kau pilih, Wilastri?" tanya salah seorang dari dua wanita yang menunggang kuda di lereng bukit itu.
"Menurutmu, mana yang lebih baik, Karina?" Wilastri balik bertanya.
"Hm...," wanita yang bernama Karina hanya menggumam tidak jelas. Dia sendiri bingung untuk menentukan salah satu dari sekian banyak pemuda ditepi sungai itu.
Desa Gedangan memang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik-cantik, serta pemudanya yang tampan-tampan dan gagah-gagah. Tidak heran kalau kedua wanita di lereng bukit itu kebingungan untuk memilih. Mereka memandangi satu persatu sekelompok pemuda yang belum juga menyadari kalau tengah diincar.
"Bagaimana kalau yang memakai baju hijau, Karina?" Wilastri meminta pendapat.
"Yang di bawah pohon kenanga itu?"
"Iya. Kelihatannya, dia lebih tampan dari yang lain. Lagi pula, dia menyendiri. Jadi, mudah untuk membawanya."
"Penglihatanmu tajam juga, Wilastri," puji Karina.
"Ayolah, selagi masih pagi."
Kedua wanita berbaju merah dan berikat pinggang kuning keemasan itu melompat turun dari punggung kuda. Mereka berlompatan menuruni lereng bukit, dengan gerakan yang sungguh ringan dan cepat. Sehingga dalam sebentar saja, mereka sudah berada di belakang seorang pemuda berbaju hijau yang tengah duduk menyendiri di bawah pohon kenanga.
"Ehm-ehm...!" Wilastri mendehem.
"Eh...!" pemuda itu terkejut, dan langsung menoleh.
"Boleh bertanya, Kisanak?" lembut suara Wilastri.
"Boleh..., boleh," sahut pemuda itu agak tergagap. Buru-buru pemuda itu bangkit berdiri. Agak heran juga dia melihat dua orang wanita cantik tahu-tahu sudah di belakangnya.
"Kisanak tahu, di mana Padang Saga?" tanya Wilastri, tetap lembut suaranya.
"Padang Saga...?!" pemuda itu terkejut. Wajahnya langsung pucat mendengar tempat yang disebutkan itu.
"Kenapa, Kisanak?"
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja," sahut pemuda itu tergagap. "Untuk apa Nisanak berdua menanyakan tempat itu?"
"Kami dengar, di sana tempat tumbuhnya jamur obat yang sangat mujarab. Orang tua kami sakit keras. Dan tabib menyarankan agar mencari obat dari jamur yang tumbuh di Padang Saga," kata Wilastri, jelas semua itu hanya alasannya saja. Paling tidak, untuk memancing pemuda itu menjauh dari keramaian.
"Memang, di sana tumbuh sejenis jamur untuk obat. Tapi sangat sukar mencapai ke sana, karena daerah itu kini dikuasai seorang perempuan iblis yang sangat kejam. Sekarang ini, tidak ada orang yang berani ke sana. Kalaupun ada, tidak akan pernah kembali lagi," jelas pemuda itu.
"Tapi kami harus ke sana. Kau bersedia mengantarkannya, Kisanak?" bujuk Wilastri.
Pemuda itu ragu-ragu menjawab. Dipandanginya kedua wanita itu bergantian. Ada rasa iba dan sayang kalau wanita secantik ini harus menjadi korban keganasan perempuan iblis yang menguasai Padang Saga.
"Kami tidak memintamu untuk mengantarkan sampai ke sana. Cukup menunjukkan jalannya saja. Kalau sudah dekat, biar kami saja yang ke sana," kata Wilastri mengetahui kalau pemuda itu kelihatan ragu-ragu.
"Kalau boleh kuberi saran, sebaiknya urungkan saja niat Nisanak berdua," ujar pemuda itu.
"Sudah jauh kami berjalan. Dan rasanya tidak akan mundur lagi, apa pun yang akan terjadi," mantap kata-kata Wilastri.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Tapi hanya sampai di persimpangan jalan saja. Setelah itu, kalian sendiri yang ke sana," pemuda itu menyerah.
"Terima kasih," ucap Wilastri senang.
Mereka bergegas berangkat. Wilastri lalu mengerling pada Karina yang sejak tadi diam saja. Kedua wanita cantik berbaju merah menyala itu berjalan di belakang pemuda yang tidak menyadari kalau dirinya tengah terjebak. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak semakin jauh, meninggalkan sungai.
Mereka kemudian merambah hutan, menuju ke jalan setapak yang agak mendaki. Jalan setapak itu kelihatan tidak pernah lagi dilalui manusia. Rumput-rumput mulai tinggi menyemaki, hampir menutupi jalan kecil itu. Pemuda yang berjalan di depan, berhenti melangkah setelah sampai pada persimpangan jalan yang bercabang tiga. Tubuhnya berbalik, dan memandang kedua wanita cantik di belakangnya.
"Maaf. Aku sampai di sini saja. Kalian bisa terus mengikuti jalan ini. Tidak berapa jauh lagi, Padang Saga bisa kalian temukan," kata pemuda itu.
"Kau baik sekali. Tapi sayang, kami harus membawamu," kata Wilastri dengan bibir mengulas senyum.
"Heh...!" pemuda itu terkejut. Tapi belum sempat pemuda itu menyadari apa yang terjadi, mendadak Karina sudah bergerak cepat menotok jalan darahnya. Wilastri buru-buru menyangga tubuh pemuda yang kini lunglai tertotok jalan darahnya.
"Gusti Ratu pasti senang menerima persembahan kita ini, Karina," kata Wilastri.
"Benar. Tapi kita harus cepat sebelum ada orang yang melihat," kata Karina.
"Cepatlah kau ambil kuda, Karina. Aku tunggu di sini."
"Jangan ke mana-mana, aku pasti segera kembali."
"Cepatlah!" Karina melesat cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup tinggi. Sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Sementara Wilastri menarik tubuh pemuda yang sudah lemas tertotok jalan darahnya. Disandarkannya pemuda itu pada sebatang pohon yang cukup rindang. Sedangkan dia sendiri duduk di sampingnya. Matanya tidak lepas merayapi wajah tampan itu. Entah kenapa, bibirnya tersenyum. Dan tangannya mengusap-usap wajah pemuda itu dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
81. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Bukit Brambang
ActionSerial ke 81. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.