BAGIAN 6

438 19 0
                                    

Brakkk!
Ratu Bukit Brambang menggebrak meja di depannya hingga hancur berantakan. Sepasang bola matanya yang celong ke dalam, tampak merah membara dan berkilatan seperti bola api. Di depannya, tampak Wilastri duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam. Di belakang gadis itu, duduk bersimpuh sekitar tiga puluh orang gadis yang semuanya memakai baju merah menyala dengan sabuk kuning emas.
Ratu Bukit Brambang menatap tajam gadis-gadis muda di depannya. Dia begitu geram, karena malam ini tidak ada seorang pun pemuda yang diperoleh pengikutnya. Bahkan Wilastri membawa laporan buruk tentang tewasnya Karina, salah seorang pengikutnya yang terbaik.
"Kalian semua bodoh! Percuma kalian kuambil sebagai murid kalau baru segitu saja tidak becus!" rungut Ratu Bukit Brambang gusar.
"Maaf, Gusti Ratu. Pemuda itu tangguh sekali. Bahkan seluruh penduduk Desa Gedangan sudah berani melawan," ujar Wilastri tetap menunduk bersimpuh.
"Aku tidak peduli dengan alasanmu, Wilastri! Aku lebih senang menerima kabar kematianmu daripada kau kembali dengan kegagalan!" bentak Ratu Bukit Brambang.
Wilastri tidak berkata lagi, dan diam sambil tetap menekuri lantai. Sedangkan tiga puluh gadis lain di belakang Wilastri juga tidak bergeming. sedikit pun. Tidak ada yang berani mengangkat kepala saat Ratu Bukit Brambang diliputi kemarahan besar begini.
"Aku tidak peduli kalian akan cari ke mana. Malam ini, kalian harus dapatkan satu pemuda untukku! Mengerti...?" keras suara Ratu Bukit Brambang.
"Mengerti, Gusti Ratu...!" sambut gadis-gadis itu serempak.
"Cepat kerjakan!"
Tiga puluh orang gadis berbaju seragam merah itu segera bangkit dan menjura memberi hormat hanya Wilastri yang masih tetap duduk bersimpuh tanpa bergeming, meskipun teman-temannya sudah meninggalkan ruangan pengap menyeramkan ini. Ratu Bukit Brambang menatap tajam pada gadis itu.
"Kalau tidak berangkat juga, Wilastri...?" dengus Ratu Bukit Brambang dingin.
"Ampun, Gusti Ratu. Hamba mohon diberi kesempatan sekali lagi," ujar Wilastri seraya memberi hormat "Kesempatan apa lagi?"
"Membawa pemuda itu ke sini."
"Percuma! Kau tidak akan mampu menghadapinya!" dengus Ratu Bukit Brambang.
"Jika Gusti Ratu memberi hamba sepuluh orang, hamba yakin mampu membawa pemuda itu ke sini."
"Jika gagal?"
Wilastri diam membisu.
"Sudahlah, Wilastri. Kau satu-satunya muridku yang tertua. Aku tidak ingin lagi kehilangan murid utamaku, Biarlah Karina menjadi korban, Hm...," Ratu Bukit Brambang memutus kata-katanya. Dan perempuan itu bergumam dengan ujung jari menggaruk-garuk pipi yang terlihat seperti tulang saja.
"Gusti Ratu punya pemikiran lain...?" Wilastri berharap.
"Tidak," sahut Ratu Bukit Brambang seraya bangkit berdiri dari singgasananya.
Wilastri juga ikut bangkit. Badannya segera dibungkukkan begitu wanita berjubah merah dan berwajah seperti tengkorak itu melangkah melewatinya. Wilastri masih membungkuk meskipun Ratu Bukit Brambang sudah meninggalkan ruangan pengap penuh tengkorak manusia bersusun itu. Sebentar Wilastri memandangi ruangan pengap itu, kemudian berjalan ke luar dengan langkah lesu. Gadis itu menarik napas dalam-dalam setelah berada di luar.
Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit wajahnya. Sejenak dia berhenti berjalan. Kepalanya lalu menengadah menatap rembulan yang menggantung penuh di langit kelam. Perlahan-lahan kakinya kembali terayun melangkah menyusuri tanah berumput halus yang dibasahi embun.
"Wilastri...!"
Wilastri menoleh ketika mendengar panggilan arah samping kanannya. Tampak tiga orang gadis berjalan cepat menghampirinya. Ketiga gadis itu masing-masing bernama Sitara, Tila, Andini. Mereka juga pernah bentrok dengan Rangga beberapa kali. Dan biasanya mereka selalu berempat, tapi yang seorang sudah tewas ketika Rangga mencoba menyelidiki Bukit Brambang ini.
Ketiga gadis itu berdiri di depan Wilastri. Dari pandangan, tampaknya mereka seperti ingin mengatakan sesuatu. Dan Wilastri paham maksudnya, meskipun ketiga temannya ini belum mengatakan apa-apa. Saat ini, nasib mereka bisa dikatakan sama. Sama-sama kehilangan seorang teman dekat yang selalu bersama-sama ke mana pun pergi dalam menjalankan tugas dari ratu mereka.
"Aku sedih dengan kematian Karina, Wilastri," ucap Andini pelan.
"Dia terlalu nekat. Padahal, aku sudah menyuruhnya pergi," kata Wilastri menyesal.
"Wilastri, kita harus membalas. Keparat itu tidak boleh terlalu lama dibiarkan hidup. Sudah banyak teman kita tewas di tangannya!" tegas Tila.
"Hhh...!" Wilastri menarik napas panjang dan berat.
"Ada apa, Wilastri?" tanya Sitara melihat kemurungan menyemburat di wajah Wilastri. Lagi-lagi Wilastri hanya mendesah panjang. Kepalanya menggeleng beberapa kali, kemudian melangkah pergi meninggalkan ketiga temannya yang jadi bengong keheranan saling berpandangan. Mereka tidak mengerti terhadap sikap Wilastri yang terasa aneh. Ketiga gadis itu mengayunkan kakinya menghampiri Wilastri yang terus berjalan perlahan-lahan, langsung mensejajarkan langkah di samping gadis itu.
"Aku berharap, kau masih menganggap kami teman, Wilastri," kata Andini. Wilastri hanya diam saja. "Kau seperti sedang mengalami kesulitan. Jika kau masih sudi menganggap kami teman, tidak ada salahnya bila mengutarakan kesulitanmu. Sekarang ini, nasib kita sama. Sama-sama kehilangan sahabat dekat," kata Andini lagi.
Wilastri menghentikan langkahnya. Langsung dipandanginya ketiga temannya. Desahan panjang kembali terhembus dari sela-sela hidungnya. "Kalian memang baik, Tapi, aku tidak tahu harus mengatakan apa pada kalian. Semua ini memang salahku, sehingga banyak teman-teman jadi korban. Kalau saja aku berhasil mengalahkan si keparat itu, tidak akan begini jadinya," kata Wilastri setengah mengeluh.
"Kalau hanya itu, bukan kesalahanmu, Wilastri. Pemuda itu memang tangguh. Tingkat kepandaiannya jauh berada di atas kita semua. Aku rasa, semua teman kita juga tidak ada yang sanggup menghadapinya. Entah kalau Gusti Ratu sendiri," sahut Andini.
"Itulah persoalannya...," desah Wilastri tanpa sadar.
"Maksudmu?" desak Andini.
Wilastri tidak segera menyahuti. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Disadari betul kalau tadi sudah keterlepasan bicara. Dan ini tidak mungkin ditarik kembali. Padahal ketiga gadis temannya itu sudah mendesaknya.
"Lupakan saja. Kalian tidak akan percaya kalau aku mengatakannya," kata Wilastri setengah mendesah.
"Katakan saja, Wilastri," desak Andini.
"Ah sudahlah...!" desah Wilastri menghindar. Wilastri kembali melangkah meninggalkan keti-ga gadis temannya, dan terus berjalan tanpa menoleh-noleh lagi. Sementara ketiga gadis itu hanya saling berpandangan saja. Mereka sama-sama mengangkat bahu, dan membiarkan Wilastri pergi entah ke mana.

81. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Bukit BrambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang