BAGIAN 8

497 21 0
                                    

Sementara itu di dalam ruangan depan bangunan istana di Bukit Brambang, Ratu Bukit Brambang tampak berang mendengar laporan ketiga gadisnya yang kembali. Ketiga gadis itulah yang tadi bertemu Wilastri. Ratu Bukit Brambang benar-benar berang, karena Wilastri jelas-jelas membangkang. Bahkan berani menguping pembicaraannya yang teramat rahasia.
Ratu Bukit Brambang berdiri, lalu menghampiri tiga gadis yang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk. Tidak ada lagi orang lain di ruangan itu selain mereka berempat, dan seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berwajah penuh brewok lebat. Laki-laki itu juga tampak berang, dan wajahnya memerah menambah keseramannya.
"Kalian memang setia padaku. Tapi, kalian sudah mengetahui siapa aku sebenarnya. Juga tentang Cakarang. Rasanya, aku tidak lagi membutuhkan kalian bertiga," kata Ratu Bukit Brambang dingin.
Ketiga gadis itu terkejut, dan langsung mengangkat kepala. Namun belum juga bisa bersuara, mendadak perempuan berjubah merah dan berwajah bagai tengkorak itu mengibaskan pedang yang selalu tergantung di pinggang. Begitu cepat kibasannya, sehingga ketiga gadis itu tidak bisa lagi bersuara. Kepala mereka kontan menggelinding, tertebas pedang. Lantai dari batu pualam putih itu jadi merah bersimbah darah yang mengucur deras dari ketiga leher yang buntung.
Ratu Bukit Brambang menyarungkan kembali pedangnya yang berwarna merah dengan gagang berbentuk kepala tengkorak manusia. Tubuhnya berbalik dan kembali duduk di kursinya. Pandangannya tertuju langsung pada laki-laki di sampingnya. Ratu Bukit Brambang kemudian menjambak rambutnya sendiri, dan mengangkatnya. Rambut putih panjang itu terangkat dan kulit wajahnya yang menyerupai tengkorak juga terangkat. Dicampakkannya benda. itu, begitu saja ke lantai. Tampak seraut wajah yang cantik terpampang. Lelaki berwajah kasar penuh brewok itu memandanginya.
"Aku tidak perlu lagi topeng itu," ujar Ratu Bukit Brambang dingin.
"Wajahmu sudah berubah cantik kembali. Tapi, suaramu masih belum sempurna, Nyai Pancalas."
"Tinggal satu pemuda lagi, Cakarang. Dan pemuda itu berada tidak jauh dari sini," kata Ratu Bukit Brambang yang sebenarnya bernama Nyai Pancalas. Suaranya masih terdengar seperti orang tua renta, meskipun wajahnya cantik seperti seorang gadis berusia delapan belas tahun.
"Pemuda itu sangat tangguh, Nyai. Kau harus ingat. Sebelum seluruhnya sempurna, kekuatanmu sedang berkurang separuh. Aku khawatir, kau tidak akan mampu menghadapinya," kata Cakarang memperingatkan.
"Kau bisa menghadapinya, Cakarang?"
"He he he...!" Cakarang terkekeh.
"Bisa saja, asal ada imbalannya."
"Setan!" rungut Nyai Pancalas.
"Bagaimana?"
"Apa imbalannya?"
"Seratus gadis lagi."
"Keparat kau, Cakarang! Dari mana aku bisa memperoleh begitu banyak...?"
"Terserah. Satu pemuda lagi kau sudah sempurna. Dan kau bisa mendapatkan seratus gadis dengan mudah. He he he.... Kita bisa menjadi pasangan serasi dan akan menguasai dunia, Nyai Pancalas. Dengan seratus gadis, aku akan bisa lebih muda lagi. Dan tentunya, lebih tampan dari seorang pangeran di dunia ini."
"Apa dua puluh lima tidak cukup?"
"Itu hanya untuk kesempurnaan ilmuku saja, Nyai. Sedangkan kau sendiri, sudah hampir mencapai seratus pemuda. Dan sekarang tinggal membutuhkan satu lagi. Setelah itu, seluruh ilmu dan tubuhmu benar-benar menjadi muda dan sempurna. Tidak ada lagi yang bisa menandingi ilmu dan kecantikanmu."
"Huh!" dengus Nyai Pancalas.
"Ingat, Nyai. Semua ini karena jasaku. Kau tidak mungkin bisa seperti ini kalau bukan karena aku. Semua itu ilmuku. Kau lihat, Aku bisa hidup lebih dari seratus tahun."
"Baiklah, aku terima syaratmu. Tapi, kau harus serahkan pemuda itu dalam keadaan hidup. Belakangan ini, aku hanya menikmati mayat. Dan sekarang aku inginkan yang masih hidup."
"He he he...," Cakarang terkekeh kesenangan.
"Dia ada di puncak bukit sebelah Utara. Kau bisa ke sana dan bawa dia ke sini," kata Nyai Pancalas lagi.
"Untuk apa repot-repot ke sana? Dia pasti datang sendiri ke sini. He he he... Tawananmu cantik sekali, Nyai. Dia pasti akan datang untuk membebaskan gadisnya."
"Dia tawananku, Cakarang. Aku tidak suka kalau kau menyentuhnya!" dengus Nyai Pancalas.
"Tentu saja tidak. Tapi, aku inginkan dia yang pertama setelah aku serahkan pemuda itu padamu."
"Terserah. Asal, kau tidak menggangguku."
"He he he...!" lagi-lagi Cakarang terkekeh.
Cakarang bangkit berdiri dan menghampiri Nyai Pancalas. Tangannya langsung diletakkan di pundak, dan segera dipeluknya wanita itu dari belakang. Dengan liar sekali, diciumi wajah dan lehernya. Nyai Pancalas menggelinjang, berusaha melepaskan pelukan itu. Dia berdiri dan berbalik, tapi Cakarang kembali memeluknya erat-erat.
Nyai Pancalas tidak bisa lagi menghindari ciuman-ciuman Cakarang yang memburu. Dia berusaha melepaskan pelukan itu, tapi Cakarang memeluknya terlalu kuat. Ciuman-ciumannya juga gencar memburu, membuat Nyai Pancalas tidak mampu lagi, membendung gairahnya. Perlahan namun pasti, dia tidak memberontak lagi. Bahkan kini malah membalasnya dengan hangat.
"Ah...!" Nyai Pancalas memekik tertahan. Tubuhnya jatuh terguling di lantai, bersamaan tubuh Cakarang. Tidak ada kesempatan lagi bagi wanita itu untuk melepaskan himpitan tubuh besar dan kekar itu. Cakarang sudah mencumbunya penuh gairah menggelegak. Tidak ada lagi kata-kata yang terdengar. Semuanya berganti erangan dan rintihan lirih, disertai dengus napas memburu. Mereka tidak lagi mempedulikan tiga mayat yang tergeletak dengan kepala buntung.

81. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Bukit BrambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang