BAGIAN 2

524 20 0
                                    

Hari terus berjalan sesuai dengan peredaran waktu. Dan waktu-waktu yang berjalan itu digunakan pengikut Ratu Bukit Brambang untuk memamerkan sepak terjangnya yang semakin merajalela. Dalam waktu singkat saja, nama Ratu Bukit Brambang telah melambung tinggi dan sangat ditakuti semua orang. Dan pengaruh yang paling terasa adalah di Desa Gedangan, yang paling dekat dengan Bukit Brambang.
Desa yang biasanya selalu ceria, kini tampak muram dan lengang. Tidak lagi terlihat anak-anak muda berkeliaran di jalan-jalan. Tidak terdengar lagi senda gurau pemuda yang menggoda gadis-gadis. Mereka semua sepertinya takut menjadi korban Ratu Bukit Brambang. Hampir tiap hari terdengar tangisan dan rintihan meratap dari rumah-rumah penduduk Desa Gedangan. Bahkan ratapan yang sama juga terdengar di desa-desa lain, di sekitar Bukit Brambang.
Hampir tiap hari, pasti ada seorang pemuda yang hilang tidak ketahuan rimbanya. Para penculik itu tidak lagi menggunakan kelembutan, tapi sudah menjurus kasar dan paksaan. Tidak sedikit orang yang tewas dibantai, karena mencoba mempertahankan anaknya. Bahkan banyak para pemuda yang mencoba melawan, terbunuh seketika itu juga. Dan tidak sedikit yang dibawa pergi dalam keadaan tertotok pingsan.
Siang itu udara di sekitar Desa Gedangan terasa lebih panas daripada biasanya. Angin bertiup keras membawa udara kering. Langit cerah tanpa sedikit pun awan menggantung. Matahari memancarkan sinarnya dengan garang, seakan-akan hendak membakar seluruh yang ada di permukaan bumi ini.
Seekor kuda hitam bertubuh tinggi tegap berotot, tampak berjalan perlahan-lahan melintasi jalan berdebu. Penunggangnya seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang meriap. Bajunya rompi putih, dengan pedang bergagang kepala burung menyembul di balik punggungnya. Kuda hitam itu berhenti di pinggir galangan pematang sawah. Penunggangnya melompat turun, lalu melangkah menghampiri seorang laki-laki tua yang sedang duduk di pematang. Pandangannya lurus menatap padi yang menguning, siap untuk dipanen.
"Kapan dituainya, Ki?" tegur pemuda itu ramah.
"Oh...!" laki-laki tua itu terkejut langsung menoleh.
"Maaf, aku mengejutkanmu."
"Tidak, Aku tadi sedang melamun, jadi tidak tahu kalau ada orang datang."
Laki-laki tua itu menggeser duduknya untuk memberi tempat. Maka pemuda itu duduk di sampingnya. Pandangannya menatap hamparan sawah yang menguning. Agak heran juga dia, karena sepanjang mata memandang tidak ada seorang pun terlihat. Burung-burung pipit tampak berpesta pora mengganyang padi yang tidak terjaga. Pemuda itu menoleh menatap laki-laki tua yang juga tengah memandang ke tengah sawah. Pandangannya kosong, dan sepasang bola mata tuanya terlihat berkaca-kaca.
"Kau kelihatan sedih, Ki. Ada apa?" tanya pemuda itu hati-hati.
"Hhh...!" laki-laki tua itu menarik napas panjang dalam-dalam. "Tidak lama lagi, padi-padi ini dituai. Tapi, tidak ada lagi yang mau mengerjakannya. Jerih payah selama berbulan-bulan ternyata harus ditinggalkan sia-sia."
"Kenapa? Sayang sekali kalau padi sebagus ini harus ditinggalkan begitu saja."
Laki-laki tua itu mendesah berat. Kepalanya kemudian menoleh, menatap pemuda di sampingnya. Begitu dalam, seakan-akan tengah menyelidik.
"Kau tentu bukan dari desa ini, atau desa-desa lain di sekitar sini. Aku belum pernah melihatmu," pelan suara laki-laki tua itu.
"Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini, Ki," sahut pemuda itu ramah, disertai senyum di bibir.
"Sebaiknya cepat tinggalkan desa ini. Terlalu berbahaya bagimu. Kau seorang pemuda tampan dan gagah. Mereka pasti menginginkanmu," agak tersendat suara laki-laki tua itu.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, sehingga sepasang alisnya yang tebal jadi bertaut. Sungguh sulit dimengerti, kenapa tiba-tiba laki-laki tua ini menyuruhnya segera pergi? Dan hal ini membuat pemuda itu jadi bertanya-tanya. Belum lagi pemuda itu sempat bertanya, mendadak laki-laki tua itu bangkit berdiri bagai terserang ribuan lebah berbisa.
Pandangannya lurus menatap ke satu arah. Melihat hal ini, pemuda tampan berbaju rompi putih itu jadi keheranan. Dia juga ikut berdiri, dan menoleh ke arah yang sama dengan laki-laki tua di sampingnya. Agak terkejut juga dia begitu melihat ada empat orang wanita berwajah cantik tahu-tahu telah berdiri agak jauh darinya.
Mereka semua mengenakan baju merah dengan sabuk berwarna kuning keemasan. Di punggung masing-masing tersandang sebilah pedang yang tangkai ujungnya berbentuk tengkorak manusia.
"Tua-tua masih suka membual! Apa kau sudah bosan hidup, heh?!" bentak salah seorang yang berdiri paling kanan.
"Ampun, Nini.... Aku..., aku.." laki-laki tua itu tergagap dengan tubuh membungkuk beberapa kali.
"Phuih! Tidak ada alasan buatmu, Pembual! Kau menyimpan seorang pemuda, tapi tidak menyerahkannya pada kami! Kau tahu, apa hukumannya, Orang Tua? Mati...!"
"Ampun, Nini.... Ampun.,.," rintih laki-laki tua itu seraya menjatuhkan diri berlutut.
"Bersiaplah untuk mampus, Tua Bangka! Hiyaaa...!"
Salah seorang dari empat wanita itu melompat sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali terjangannya. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara angin berdesir. Namun begitu mata pedang hampir memenggal leher laki-laki tua itu, mendadak dia terpekik. Seketika, tubuhnya kembali mencelat ke belakang.
Wanita berbaju merah itu terhuyung-huyung sambil memegangi tangan kanannya. Wajahnya kontan merah padam, dan bibirnya mendesis bagai ular. Sedangkan yang tiga orang lagi langsung berlompatan mengurung pemuda berbaju rompi putih yang tetap berdiri tegak di samping laki-laki tua itu.
"Keparat kau berani melawan kami, heh!" geram perempuan itu sengit.
"Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkanmu untuk membunuh orang tua yang tidak berdaya begitu saja," kalem namun bernada tantangan kata-kata pemuda itu.
"Pembual itu tidak pantas lagi hidup lebih lama. Dia harus mati. karena berani membangkang kehendak Yang Mulia Gusti Ratu Bukit Brambang!" lantang kata-kata wanita yang berada di depan pemuda itu.
"Benar itu, Ki?" tanya pemuda itu pada laki-laki tua yang tetap berlutut dengan tubuh bergetar.
"Anak muda! Sebaiknya, kau cepat pergi. Biarkan aku di sini. Mereka sangat kejam. Kau akan mati jika menuruti keinginannya," kata laki-laki tua itu.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka!"
"Hm..." gumam pemuda itu pelan. Tatapannya tajam, lurus pada wanita yang berada di sebelah kanannya. Wanita itu yang tadi mengeluarkan bentakan.
"Kisanak, sebaiknya segera ikut kami. Dan tua bangka itu akan bebas hidup," kata yang seorang lagi lebih lembut.
"Ke mana?" tanya pemuda itu.
"Menemui Yang Mulia Gusti Ratu."
"Untuk apa? Aku tidak kenal kalian. Dan aku tidak pernah mendengar ratumu. Aku baru hari ini ada di sini."
"Jangan membantah! Hanya ada dua pilihan, mati atau ikut!"
"Edan! Untuk apa harus ikut tanpa tahu urusannya? Kalian boleh membawaku asal mampu!"
"Keparat! Rupanya kau lebih senang mampus, heh!" Salah seorang wanita itu segera mencabut pedangnya, lalu melompat cepat sambil berteriak melengking. Pedangnya dikibaskan kuat-kuat. Namun hanya sedikit saja pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang, maka tebasan pedang itu luput dari sasaran. Hal ini membuat ketiga wanita lainnya jadi berang, sehingga segera berlompatan menyerang.
Sementara itu, laki-laki tua itu cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Tapi hatinya merasa penasaran, dan berhenti setelah cukup jauh. Dengan tubuh gemetaran disaksikannya pertempuran itu. Tampak empat orang wanita berbaju merah itu kewalahan juga menghadapi pemuda yang mengenakan baju rompi putih. Bahkan sampai jatuh bangun, dan tidak satu pun serangannya berhasil menyentuh lawan.
"Lepas...!" Tiba-tiba pemuda tampan itu berteriak keras. Sedangkan tangannya menyampok tangan salah seorang penyerangnya. Orang itu memekik tertahan, dan pedangnya melesat tinggi ke udara. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak satu tendangan keras mendarat di tubuhnya.
"Akh!" kembali wanita itu memekik tertahan. Pada saat wanita itu terjengkang, pemuda tampan berbaju rompi putih memutar tubuhnya. Langsung disampoknya dua orang lawan. Pekikan keras tertahan terdengar saling sahut. Kemudian satu orang lawan terakhir dibuat sampai terjungkal mencium tanah. Empat wanita pengikut Ratu Bukit Brambang sekarang mengerang kesakitan sambil berusaha bangkit. Dan pemuda itu bergerak cepat. Tahu-tahu, di tangannya sudah tergenggam pedang-pedang lawan.
"Pergilah kalian!" bentak pemuda itu keras.
Keempat wanita itu bangkit berdiri sambil meringis menahan sakit. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu berbalik.
"Nih, pedang kalian!" pemuda itu melemparkan pedang yang dirampasnya.
Empat batang pedang itu melayang, dan jatuh tepat di ujung kaki mereka. Cepat-cepat keempat wanita cantik berbaju merah itu memungutnya, kemudian melompat cepat dan berlari masuk ke dalam hutan.
Pemuda itu berbalik setelah keempat wanita itu tidak terlihat lagi. Dihampirinya laki-laki tua yang masih berdiri memandanginya dengan rasa kagum.
"Kau tidak apa-apa, Ki?" tanya pemuda itu ramah.
"Oh, tidak,... Tidak apa-apa" sahut lelaki tua itu. "Terima kasih, Raden. Kau telah mengusir mereka."
"Jangan panggil aku raden, Ki. Panggil saja Rangga," ujar pemuda itu memperkenalkan diri. Dia memang Rangga yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku Ki Kusha, penduduk Desa Gedangan ini," laki-laki tua itu juga memperkenalkan diri.
"Hm.... Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki? Tampaknya mereka sudah mengenalmu," selidik Rangga.
"Ceritanya panjang, Rangga. Dan sebaiknya, segera kita tinggalkan tempat ini. Mari ke rumahku saja," ajak Ki Kusha.
"Dengan senang hati, Ki," sambut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Lalu melangkah menuntun kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan Ki Kusha berjalan di samping kanannya. Mereka melangkah tanpa berkata-kata lagi.

81. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Bukit BrambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang