PBG | 01

4.7K 54 2
                                    

Vote-nya jangan pelit-pelit, dong.

😚

.

Dilara Bunga Handoko, perempuan penggemar bulu tangkis sejak beberapa bulan yang lalu, kini sedang menonton pertandingan amatiran di sekolahnya.

Dua siswa laki-laki sedang beradu kemampuan di tengah lapangan. Mengayunkan raket untuk menangkis pukulan sang lawan, sekaligus membalas pukulan untuk meraih point. Sudah hampir tiga puluh menit, perempuan itu duduk seorang diri di pinggir lapangan.

Sedangkan di sisi lain, gerombolan siswa yang bergabung ke dalam ekskul bulu tangkis nampak sedang melakukan pemanasan. Meregangkan badan, tangan dan juga kaki-kaki mereka, serta melakukan gerakan mengayun raket dengan berbagai teknik.

Sebagai orang awam, Dilara hanya sekadar menikmati saja. Tanpa merasa perlu untuk mengetahui apa-apa saja nama atau cara untuk melakukan itu.

"Arung ganteng banget! Bikin gue pengen jadi raket yang bisa dipegang erat-erat sama dia! Duh, berarti nanti gue juga bisa nampolin cewek-cewek yang kegenitan, dong!"

Suara peluit dari pelatih membubarkan lamunan Dilara. Mata bulatnya dengan setia mengikuti gerak-gerik dari laki-laki berkaus merah yang tengah mengelap keringatnya dengan handuk kecil. Memori otaknya pun ikut merangkum cara laki-laki itu meneguk air mineral dari botol kemasan yang sempat Dilara berikan. Pun dengan tawa renyahnya yang terasa seperti oase di gurun pasir bagi seorang Dilara.

Ditemani langit mendung Jakarta dan sebuah ponsel keluaran paling anyar produksi Korea Selatan, perempuan berambut pendek itu mengisi sore hari dengan kegiatan rutinnya selama beberapa bulan belakangan. Menonton seorang Arung Kunto Aji, atlet bulu tangkis kebanggaan sekolahnya. Biarpun belum menjadi atlet profesional yang berlaga hingga luar negeri, nyatanya, laki-laki itu berhasil membobol medali emas saat kejuaraan daerah, tiga pekan yang lalu.

Pak Hendra, pelatih yang dibayar oleh pihak sekolah untuk melatih anak-anak yang berminat pada bidang bulutangkis, sedang memberikan pengarahan. Tiga hari lagi, akan ada pertandingan persahabatan antara SMA Kartanegara dengan beberapa sekolah di sekitarnya.

Dilara pun sudah mengosongkan jadwal bermainnya, agar bisa hadir dan menjadi penghidup suasana. Bahkan, ia telah membeli beberapa produk perawatan wajah dan kulit, agar wajahnya tetap glowing.

Siapa tahu, Arung yang sudah menjadi gebetannya sejak dua bulan terakhir, tiba-tiba menggandengnya dan mengajaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari teman dan gebetan. Apalagi kalau bukan pacaran.

Ngimpi sedikit, nggak apa-apa, 'kan?

"La, pulang!"

Adam, laki-laki yang sejak TK menjadi teman bermainnya, menyangklong ransel hitam di pundaknya. Seragam putih abu-abu yang sejak pagi membalut tubuh tegapnya, kini sudah lenyap. Digantikan oleh kaus hitam polos dan celana basket merah. Beberapa titik keringat nampak bergulir membasahi dahi laki-laki itu.

"Ngaso dulu, Dam. Tanggung," ujar Dilara sambil menarik Adam agar duduk di sebelahnya. Namun, laki-laki itu menangkisnya. "Kalau masih mau di sini, gue tinggal."

Dilara berdecak sebal. "Nggak sabaran banget, sih!" Sambil bersungut-sungut, ia membenarkan seragamnya. Tangannya melambai pada Arung yang sedang curi-curi pandang ke arahnya. Bibirnya menggumamkan kata "Pulang" tanpa mengeluarkan suara. Dan saat mendapati anggukan dari sang gebetan, ia akhirnya menyusul Adam.

"Harusnya gue minta beliin motor. Lo suka rese kalau ngajakin pulang," kata Dilara kesal.

"Heh, Dilarata dadanya. Sebelum mangap itu, otak lo diputar dulu tuasnya. Yang dulu jejeritan karena nyungsep ke parit pas latihan naik motor itu siapa?"

Adam melirik Dilara lewat ekor matanya. "Bedain rem sama gas, aja, lo kesusahan."

Dilara mendelik mendengar perkataan Adam. "Itu, 'kan, karena lo juga nggak becus waktu ngajarin."

"Mana ada?!"

"Mini idi. Hilih!"

Adam mendengus. Seandainya perempuan itu memiliki rambut panjang dan diikat ekor kuda, sudah pasti tangannya akan dengan senang hati menarik ikatan itu. Sayangnya, perempuan itu justru memotong pendek rambut hitamnya.

Karena gemas, Adam pun meraih kepala Dilara ke dalam pelukannya. "Nih, rasain tuh jurus ketek maut pembawa bencana." Ia tertawa lepas sambil mengempit leher Dilara di ketiaknya yang basah.

"Anjing! Bau banget, sat! Lepasin gueeee..." Dilara meronta-ronta. "Sialan lo, Dam!" Bibirnya megap-megap, berusaha mencari pasokan oksigen. Dengan brutal, tangannya memukuli punggung lebar Adam.

"Sssttt... Diam, La. Nanti gue lepasin, kok. Tapi nunggu lo akrab sama bulu ketek gue dulu," ujar Adam santai.

"Kampret! Nih, gue bales pake jurus jambakan rasa kameha-meha!"

Tangan Dilara pindah ke belakang kepala Adam. Dengan sekuat tenaga, ia menarik rambut hitam Adam. Membuat sang korban kesakitan dan akhirnya melepaskan dirinya.

Adam mendesis sambil mengelus bekas keganasan Dilara. "Sakit, La."

"Bodo."

Mata Adam menyipit. Dilara berjalan di depan, memimpin keduanya ke arah parkiran. Otaknya dengan cepat menyusun rencana pembalasan. Kekalahan adalah hal terakhir yang diinginkan Adam di sore hari ini. Maka dari itu, saat melihat parkiran benar-benar sepi, ia segera memanfaatkan keadaan. Sebelum Dilara berbalik dan kembali mengoceh, ia menarik perempuan itu dan mengecup cepat sudut bibirnya. "2-1," bisiknya sambil meremas bokong Dilara.

"Adamesum, bangsat!"

.

Tbc...

Btw, ini cerita pertama yang diketik dan diunggah lewat hp 😂

Makanya, per chapter-nya nanti pendek-pendek.

Oke, see you.. 💕💕

.

Adam dan Lala 👩‍❤️‍💋‍👨

Adam dan Lala 👩‍❤️‍💋‍👨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PACARKU BUKAN GEBETANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang