Part 01 - Pertemuan Pertama

37.3K 1.5K 28
                                    

Halo, semuaaaa.
Kali ini aku mau ngerepost ceritanya Rere & Nolan.
Oh iya, cerita ini udah ada novelnya juga. Bagi yang mau beli, silakan dm aku ya!

Happy reading, gaesss.

_

01 - Pertemuan Pertama

Sebelum keluar dari kamar, gue menyempatkan diri menatap dress cantik yang sengaja Mama persiapkan untuk acara makan malam yang akan kami hadiri. Tetapi, dress itu malah gue abaikan di atas ranjang, dan sebagai gantinya gue memakai atasan ruffled top berwarna putih yang dipadukan dengan skinny jeans. Gue lebih nyaman memakai pakaian kayak sekarang ini, ketimbang dress pilihan Mama yang menurut gue ... enggak banget itu.

Karena enggak mau membuang-buang waktu, Mama akhirnya pasrah saja dengan penampilan gue yang seperti sekarang, tapi Beliau tetap mengomel selama di perjalanan.

Selain karena cara gue berpakaian, dia juga mengomel tentang wajah gue yang cuma diaplikasikan dengan bedak tabur doang. Bahkan enggak memakai pewarna bibir sama sekali.

Memangnya sejak kapan sih gue suka memakai lipstik?

Dan menurut gue, memakai lipstik itu cuma membuat bibir terasa lebih tebal saja. Enggak lebih. Rasanya juga enggak enak, makanya gue enggak suka pakai lipstik dan sebangsanya.

Sebelum keluar dari mobil, Mama menyuruh gue buat menyisir rambut sekali lagi. Padahal gue merasa kalau rambut gue sudah rapi, tapi ... ya sudahlah, cuma disuruh menyisir rambut doang. Jadi, gue mengikuti saja apa maunya Mama.

“Inget ya, kamu jangan malu-maluin keluarga kita.”

“Hmm,” gumam gue dengan nada malas. Membuat Mama langsung memukul lengan gue dengan cukup kencang. Sehingga gue menampilkan raut wajah sebal.

“Jangan hmm-hmm doang kamu,” kata Mama yang tak kalah kesal.

“Ya ampun, iya, Mamaku Sayangggg.”

Papa langsung tertawa begitu melihat ekspresi ogah-ogahan yang sedang gue tampilkan.

Pertanyaannya: siapa sih yang senang, dan akan terlihat sangat semringah jika dijodohkan dengan orang yang tak dikenal?

Jawabannya, jelas bukan gue, Maemunah! Kadang-kadang gue memang suka dikasih kejutan, tapi bukan kejutan yang seperti ini juga.

Setelah memasuki area restoran, dan Papa berbicara sebentar dengan Resepsionis yang sedang berjaga di dekat pintu masuk restoran, kami bertiga langsung diantar menuju ke private room yang terletak di area paling ujung. 

Begitu pintu sudah dibuka, dan gue masuk paling terakhir, gue langsung menebak-nebak laki-laki mana yang akan dijodohkan sama gue. Karena gue melihat ada empat lelaki berbeda usia yang sudah menunggu kehadiran kami di dalam sana.

Errr.... Tolong jangan bilang kalau kakek-kakek yang langsung tersenyum lebar, dan berdiri dari tempat duduknya itu yang akan dijodohkan dengan gue.

Dih, amit-amit.

Mama langsung menoleh, lalu melotot garang ke arah gue sambil mendesis ‘apa-apaan kamu’ dengan nada tajamnya yang khas seperti ibu tiri yang kejam di TV.

Lah, memangnya gue salah apa?

Sekarang giliran gue yang mencium tangan si Kakek sekaligus memperkenalkan diri, kemudian Papa memperkenalkan Om Tama, dan juga Tante Dera sebelum gue mencium tangan mereka berdua.

Lalu Tante Dera memeluk gue secara tiba-tiba, dan menghadiahi satu kecupan di pucuk kepala. Sebenarnya gue mau protes karena perlakuan dia, tapi enggak enak. Makanya gue cuma bisa mingkem doang.

Kemudian wanita itu menyebutkan nama kedua anak lelakinya, dan kami semua bersalaman ala kadarnya. Sehingga membuat beberapa orang di dalam sana tertawa, termasuk Mama dan Papa.

By the way, apanya sih yang lucu?

Gue duduk di samping Mama. Selama menunggu makanan kami tiba, gue sama sekali enggak membuka suara. Lagi pula, hal penting apa sih yang harus gue bahas bersama mereka semua?

Gue tahu kalau salah satu anaknya Tante Dera sedang membicarakan gue sekarang, karena dia lagi berbisik-bisik di dekat telinga saudaranya sambil sesekali melirik ke arah gue yang duduk di seberang meja. Meski gue enggak suka dilirik begitu sama dia, tapi gue sama sekali enggak melepaskan pandangan dari mereka berdua. Khususnya lelaki yang sedari tadi sedang melirik ke arah gue. Lagi pula kami memang duduk berseberangan, dan posisinya benar-benar sejajar. Jadi, otomatis pandangan gue memang jatuh ke arah sana.

Lalu secara tiba-tiba, lelaki yang sedang berbisik tadi malah membalas tatapan gue sambil tersenyum dengan raut wajah jail.

Bah! Apa maksudnya?!

Oh, I know. Pasti dia kegeeran, karena tatapan yang gue berikan.

***

Gue kira Andrew—atau yang disapa Dru—yang akan dijodohkan dengan gue.

Namun, perkiraan gue itu salah, karena Nolan-lah laki-laki yang dimaksud oleh Mama dan Papa.

Seketika gue merasa enggak terima.

Sekali lihat saja gue sudah tahu kalau Nolan bukan tipe ideal gue, dan dia juga yang tadi tersenyum jail ke arah gue.

Terus dengan sok akrabnya, dia minta izin untuk membawa gue keluar dari private room setelah Kakek Damar mengatakan bahwa kami berdualah yang akan dijodohkan oleh kedua keluarga.

“Jadi, Joy Ceramics itu punya kamu ya?”

Gue cuma mengangguk singkat sebagai jawaban.

Saat ini kami berdua sudah duduk di bagian teras samping restoran dengan posisi berhadap-hadapan. Kalau sedang berduaan seperti ini, gue baru merasa kurang nyaman dengan aksi flirting-flirting yang dia lakukan.

Dari tampang, dan kelakuannya saja sudah kelihatan sekali kalau Nolan ini cowok playboy yang penuh percaya diri. Well, gue enggak suka sama cowok playboy kayak si Nolan ini.

“Wah hebat, sudah berapa lama kamu buka Joy Ceramics? Saya pernah beli guci di sana, tapi enggak pernah lihat kamu yang melayani pelanggan.”

Gue kontan menaikkan sebelah alis, karena kalimat terakhirnya terdengar kurang meyakinkan di telinga. Lalu gue segera menjawab pertanyaannya, “Lupa.”

Sebenarnya Joy Ceramics resmi dibuka saat gue berumur sembilan belas tahun, dan sekarang umur gue mau masuk dua puluh tiga tahun. Hitung sendiri deh itu toko sudah berapa lama eksis di Jakarta.

Nolan malah tersenyum lebih lebar, dan kepalanya tampak manggut-manggut dengan gerakan pelan. “Kayaknya udah lama banget ya? Makanya kamu sampai lupa.”

Gue cuma membalasnya dengan gumaman.

“Gimana kalau Minggu depan saya mampir ke sana?”

“Mau ngapain?!” tanya gue yang refleks, hingga bersuara dengan intonasi seperti orang yang ingin mengajak ribut seorang lawan.

“Belajar bikin guci, mungkin?”

Baru saja gue mau menolak usulannya barusan, tapi kalah cepat sama omongan dia yang langsung membuat gue menganga di tempat.

“Atau ... apa pun itu. Hitung-hitung sebagai salah satu langkah supaya kita berdua bisa lebih dekat, dan jadi cepat akrab.” Tak lupa, dia mengedipkan sebelah matanya di akhir kalimat.

Damn! Gue semakin enggak suka sama dia.

*****

Jangan lupa vote, komen, & share!

Terus follow juga akun 👇
1. Instagram: @_ruangbicara_
2. Wattpad, Dreame/Innovel, & KBM App: ruangbicara

Makasih ya :)

Something About You (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang