04

2.4K 343 9
                                        


Sudah lewat tiga hari, dan Malvin sama sekali tidak menghubungiku. Jangankan memberiku kabar, membalas pesan yang ku kirim saja tidak pernah. Semarah itukah dia?

Itu juga yang membuatku sedih dan tidak bersemangat sekarang. Seringkali aku berpapasan dengannya, tapi ia sama sekali tidak melirikku. Sampai-sampai aku berpikiran untuk menghampirinya dan langsung menjelaskan tentang Rama yang memegang tanganku tempo hari.

Tapi aku urung, aku harus pura-pura tidak tahu atau nanti Avin akan marah. Bahkan sekarang aku bingung hendak memanggilnya Avin atau Malvin. Huh.

Saat ini aku masih berjalan menuju ruang musik menyusul Hana, tadi aku meminta ia pergi duluan karena hari ini aku sama sekali tidak bersemangat. Setelah merasa cukup puas meratapi hari ini, aku segera menyusul Hana.

Samar-samar aku mendengar suara teriakan heboh dari arah lapangan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku, baru saja aku menoleh tiba-tiba saja sebuah bola basket langsung menghantam dahiku tepat di jidat sebelah kiri membuat rasa pusing langsung mendera.

Tubuhku ambruk dengan kesadaran yang masih tersisa aku duduk dan memegangi dahiku, aku menatap ke depan samar-samar terlihat seorang pemuda berjersey basket berlari ke arahku, belum sampai di dekatku ia langsung ditarik ke samping dan mendapat bogeman kencang di wajahnya.

Aku mengerutkan dahi tak percaya saat melihat Malvin yang tiba-tiba mengamuk. "KALAU GAK BISA MAIN BASKET GAK USAH MAIN!!!" Teriaknya lalu segera menghampiriku.

Kepalaku masih berdenyut dan pandanganku semakin memburam saat merasakan tubuhku digendong dan semuanya gelap.

...................................


Aku mendengar suara-suara beberapa orang yang sedang berbincang dan aku mendengar suara mesin AC yang cukup nyaring. Aku membuka mataku, lalu mendesis saat merasakan kepalaku berdenyut nyeri.

"Jangan banyak gerak, Qi!"

Aku kembali berbaring dan menoleh ke arah sumber suara. Hana sedang menatap cemas ke arahku. Ia memegang sebuah kain yang basah dan di dalamnya ada benda yang kuyakini adalah es batu.

Aku menghela nafas kemudian menatap ke arah Malvin yang berdiri diam di belakang Hana sambil menatapku. Cukup lama kami bertatapan hingga akhirnya ia berbalik lalu pergi dari UKS tanpa berkata apapun.

Mataku berkaca-kaca, kemudian tangisanku tak dapat aku tahan lagi. Aku menutup wajahku lalu tidur membelakangi Hana yang semakin cemas melihatku mengis.

"Heh kenapa nangis? Kepala lo sakit banget ya??"

Aku tidak menjawab pertanyaan Hana, tapi aku tetap menumpahkan rasa kesalku pada Malvin dengan terus menangis. Masa bodoh dengan mata bengkak. Biarkan orang-orang mengira aku menangis karena kepalaku sakit.

Setelah puas menangis aku menghapus air mataku, menghela nafas panjang dan berbalik menatap Hana yang ternyata masih setia di sampingku. Ia tersenyum hangat.

"Udah puas nangisnya?"

Aku tersenyum dengan wajah sembabku lalu mengangguk, rasa pusing di kepalaku sudah tidak terlalu terasa, aku duduk dan menghadap ke arah Hana.

"Yang angkat gue kesini, siapa?" Tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Malvin, dia juga yang nyuruh gue ngompres kepala lo pake es batu." Jawab Hana sambil mengangkat es berbalut kain yang dipegangnya.

Aku memegang kepalaku lagi yang terasa berdenyut. "Tau gak Malvin pergi ke mana sekarang?"

Aku langsung menatap Hana, menaikkan sebelah alisku tanda bertanya.
Hana terlihat menghembuskan nafas sambil menaruh es batunya.
"Lagi ke ruang BK dia."

MY UNKNOWN BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang