Kerinduan

867 70 5
                                    

"Luapan sebuah kerinduan terkadang hanya dengan diam dan air mata"

****

"Assalamu'alaikum, ning!" Salam salah satu khadamah yang mendekat pada ning Ela.

Posisinya saat ini sedang berada di musholla santri putri dengan sebuah kitab yang masih terbuka.

"Wa'alaikum salam, wonten nopo mbak?" Tanya Ning Ela tak paham, pasalnya ning Ela sendiri merasa tak punya janji bahkan sang umi pun tak mengatakan hal penting apapun, tapi kenapa ada mbak dhalem yang mendataginya?

"Kulo dikenken nimbali panjenengan ning, wonten tamu kyai ingkang badhe kepangge njenengan" ning Ela mengangguk paham,

Pantas saja ada khadamah yang menyusulnya ke musholla. Ternyata ada tamu abi, tapi tak biasanya ning Ela dipanggil begini, sebegitu penting kah kedatangan ning Ela disana?

"Matur nuwun mbak Nita, sekedap malih kulo mriko"

Setelah ning Ela berkata begitu, sang khadamah pun pamit undur karena memang tugasnya sudah selesai.

****

"MasyaAllah bang! Lucu sekali cucunya, kenapa ndak memberi kabar kalau baru mantu bahkan sudah ada buntutnya satu" tuntut haji Rahman, ayah Alif ketika tahu dan dipertemukan dengan gus Aji dan Sania.

Sama halnya dengan ning Ela, gus Aji pun bingung karena pada awalnya beliau tak pernah dipanggil begini jika ada yang sowan, terlebih yang gus Aji tahu yang datang sowan adalah salah satu wali santri, jadi untuk apa gus Aji sampai dipanggil.

Namun ternyata dugaanya salah, ini lebih dari sekedar wali santri. Ternyata adik tingkat kyai Sulaiman ketika nyantri dulu.

"Acaranya mendadak Man, lagipula cuma walimah biasa. Kalau masalah cucu baru juga dua tahun Man. Masih kecil" sanggah kyai Sulaiman menenagkan ketidak enakan haji Rahman yang merasa tak tahu apapun tentang keluarga kyai Sulaiman.

"Ngapunten nggih bang" ucap haji Rahman tak enak.

"Ndak pa-pa, Azmi salim sama simbah ya" yang disebut namanya hanya menurut. Gus Azmi kecil yang masih polos.

"Sini le sama simbah" dengan senang hati gus Azmi mendekat bahkan sekarang sudah berada di gendongan haji Rahman.

*****

Suasana haru masih Alif rasakan, bukan Alif tak bahagia. Saking bahagianya air matanya tak mau berhenti sampai saat ini masih ada sisa sesenggukan sampai bekas merah di hidungnya pun cukup terlihat jelas.

"Bu..bunda kesini sama si..siapa?" Hebat, Alif menyelesaikan pertanyaannya dengan nafasnya yang sesenggukan.

Jika dilihat wajahnya kali ini sudah sangat berantakan, mata sembabnya tak bisa Alif sembunyikan lagi.

"Bunda sama bang Fatih sama ayah, InsyaAllah nanti nyusul" cairan bening dipelupuk mata Alif kembali mengalir, entahlah untuk saat ini bisa dikatakan Alif adalah laki-laki paling baperan sedunia.

Mendengar kata ayah saja air matanya kembali meluncur bebas, ada apa dengan Alif?

"Bunda be...beneran?" Sengkungan kecil terbit di bibir bunda Alif dengan anggukan meyakinkannya.

Ada rasa membuncah di hati Alif, ada ruang kerinduan yang sudah lama gersang kembali tersiram oleh derasnya kebahagiaan. Untuk saat ini hanya kata syukur yang Alif miliki untuk semua kebahagiaan yang telah lama Alif nantikan.

Rasa sakit karena dipisahkan perlahan mulai menutup berganti dengan kebahagiaan seorang Alif Rahman yang merindukan di sambang, untuk pertama kalinya Alif menangis separah ini.

Cinta Dalam sebait DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang