Waktu yang Menjawab

882 89 4
                                    

"Teruslah menatap kedepan, lihatlah senyum beberapa orang yang mengharapkanmu bahagia dimasa depan"

#$$$#

Tiga tahun terlewati dengan berbagai hal. Tentang kesederhanaan, kebahagiaan hingga kesedihan. Jangan lupakan kerinduan dengan orang terkasih.

Alif melewati waktu yang terasa begitu cepat itu dengan menikmatinya, pesantren tak semenakutkan awal ketika baru saja Alif sampai. Kenyataannya banyak sekali tantangan yang harus Alif lewati, bukan hanya tentang mengaji, ataupun menghafal. Ingat tentang kedisiplinan dan kesederhanaan yang tak luput dari perhatian pengurus. Sekali terlambat jangan salahkan akan mendapat setumpuk takzir yang menanti.

Alif paham, semakin hari semakin terbiasa dengan yang namanya bangun pagi, salat sunnah qiamul lail, mandi pagi berebut kamar mandi sampai berebut sarapan pagi agar tidak hanya makan dengan kuah sup saja. Namun semua dilalui dengan penuh keikhlasan hingga terasa menyenangkan, mungkin suatu saat nanti jika sudah lulus akan ada kenangan tersendiri.

Beberapa hari lagi Alif akan menghadapi ujian kelulusannya, ada beberapa yang di ujikan salah satunya adalah kemampuannya mengajin dan juga kemampuannya dibidang umum seperti ujian matematika juga bahasa Indonesia.

Bukan perkara yang sulit untuk Alif hadapi, hanya saja apa bisa dirinya menjadi seseorang yang bisa dibanggakan oleh kedua orang tuanya. Meski kedua orang tuanya tak pernah menuntut agar Alif selalu menjadi nomor satu tapi tetap saja Alif ingin membuktikan jika dirinya berhak menjadi anak yang memang benar-benar membanggakan.

Tiga tahun ini hubungannya dengan ning Ela terasa lebih renggang ketika temannya Agam menganggap Alif musuh. Awalnya Alif mengira jika Agam bercanda mengatakan jika Agam menginginkan Alif menjauhi ning Ela karena ia juga mencintainya. Namun sayangnya Alif tak mengindahkan semua itu, ia masih menemui ning Ela yang saat itu bermaksud akan mengembalikan sapu tangan yang ning Ela pinjamkan, namun gagal dan sampai saat ini sapu tangan itu masih tersimpan rapi dengan beberapa lembar daun yang kala itu menjadi saksi semangatnya menjalani hidup di pesantren Al Furqan.

"Ngelamun aja, ada masalah?" Selalu dan selalu Rifki tahu akan apa gelagat Alif yang akhir-akhir ini lebih banyak diam.

Bukan sih, lebih tepatnya semenjak Alif jauh dari ning Ela sikapnya jadi dingin dan acuh pada siapapun mungkin kecuali Rifki. Walaupun Rifki masih merasakan bahwa Alif yang dia kenal sudah berubah dan sangat pandai saat ini.

"Gak ada" singkat padat dan sangat jelas.

"Aku ndak yakin, ceritalah siapa taau membantu"

"Aku gak yakin aja Rif"

"Maksudnya?" Rifki tak paham, apa yang di galaukan sahabatnya ini?

"Ya aku gak yakin aku bisa jadi kebanggaan bunda dan ayah sama abang" Rifki menepuk pundak Alif, menyalurkan semangat dan keyakinan.

"Belum dicoba, jangan menyerah dulu. Lagipula sampean kan pandai dalam segala hal. Aku aja kalah"

"Jangan merendah" sanggah Alif tak mau kalah ketika Rifki sahabat yang sering membantunya ini bersikap seolah dia bukan siapa-siapa.

"Hahah ayolah jangan kaya gini, sampean bisa. Kita bisa sama-sama kok. Aku yakin dan sampean harus lebih yakin" lagi-lagi Rifki menyemangati Alif dengan menepuk bahunya.

"Bismillah, bantu gue ya" keduanya tergelak. Entah rasa-rasanya aneh ketika mendengar Alif kembali berkata lo-gue.

*****

Di kediaman kyai Sulaiman sudah ramai. Sepertinya ramai terus di dhalem. Ada beberapa santri yang setor hafalan dengan nyai Latifah dan jangan lupakan ning Sania.

Cinta Dalam sebait DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang